Oleh: Mulyo Sunyoto
Di depan layar kaca, dengan remote control di tangan, Toro (9) menghabiskan Minggu pagi hingga siang, menyaksikan tayangan teve dari satu saluran ke saluran lain. Begitu film kartun yang ditonton diselingi iklan, seketika jempol Toro menekan tombol, melompat ke tayangan kuis anak-anak. Saat ‘yang satu ini lewat’, Toro melompat ke tayangan non iklan. Begitu seterusnya.
Jika nonton teve sudah membosankan, anak pindah ke meja komputer, menghidupkan PC dan layar monitor. Permainan yang seru ‘online games’ dimulai. Toro agaknya bisa mewakili generasi digital yang hidup dalam gelombang distraksi, pengalihan fokus yang terus-menerus. Kenyataan itu tak terjadi 30 tahun lalu ketika anak-anak hanya hidup dalam pilihan tunggal menikmati hiburan layar kaca. Di era TVRI sebagai pemain solo di ranah pertelevisian, perhatian anak-anak terhujam ke satu acara--dalam satu atau dua jam tayangan.
Begitu drama Rumah Masa Depan ternikmati, anak-anak harus menunggu sampai tuntas sebelum menyimak dendang tembang bocah yang riang atau dagelan yang jenaka. Tak ada distraksi, dalam hitungan menit, kalaupun ada, tak sedramatis saat ini. Dalam pemupukan bakat, distraksi pun terjadi, juga tak kalah intens dengan yang terjadi di dunia tontonan. Tengoklah pengalaman keluarga-keluarga kelas menengah di kota-kota besar. Mereka tak puas dengan prestasi sang anak di sekolah. Mereka ingin bocah-bocah itu bukan cuma jago matematika di sekolah, tapi juga super menggesek biola, trengginas di kolam renang atau berlaga bela diri.
Anak-anak diberi kursus matematika, bahasa Inggris, musik, renang atau taekwondo. Mereka tak boleh hanya punya satu fokus, harus banyak fokus. Mereka terdistraksi. Andaikan kedua orang tua Irving Finkle seperti orang tua masa kini, dunia mungkin tak akan tahu jawaban atas misteri dan asal-usul permainan catur, yang konon pada mulanya merupakan permainan kalangan bangsawan Ur, Mesopotamia, sekitar 4.600 SM.
Finkle (57), kurator Museum London yang bercambang awut-awutan dan kurang peduli dengan adat zaman modern itu, tergugah perhatiannya pada permainan bangsawan Ur sejak ia berusia 7 tahun. Bapak dan ibu Finkle tak membelah fokus sang anak dengan menyuruhnya mendalami bidang lain. Pada usia 11, Finkle begitu terpesona oleh buku yang mengupas permainan bangsawan Ur itu. Dia menulis surat pada sang penulis buku dan tinggal bersamanya. Ini menjadi tonggak yang berpengaruh pada hidup Finkle di kemudian hari.
Dengan minat yang terfokus pada satu bidang yang ditekuni secara intens itulah, Finkle berhasil membaca rahasia permainan kuno yang menjadi cikal permainan catur masa kini. Dia menulis tesis Ph.D tentang sihir pengusir roh jahat di zaman Mesopotamia kuno. Haruskah anak-anak saat ini meneladani jalan hidup Finkle. Tidak, begitu kira-kira jawaban Randy Pausch, guru besar dari lembaga pendidikan Carnegie Mellon. Pausch kini menunggu ajalnya setelah mengidap kanker pankreas stadium akhir.
Kuliah terakhir yang menggugah jutaan pengunjung situs YouTube antara lain menekankan; anak-anak harus didorong untuk mengambil kursus di luar bidang pelajaran utamanya. Impian akan muncul dengan memperluas wawasan sang anak. Mereka juga harus bergaul dengan beragam manusia yang berbeda. Jadi tidak keliru kalau para orangtua masa kini memborbardir anak-anak dengan segala macam kursus untuk memperluas wawasan dan mengenalkan anak pada beragam manusia?
Sejauh para orang tua itu tidak mendiktekan impian mereka pada sang anak, itu masih bisa ditenggang. Suara Pausch berikut ini, yang seolah menggaungkan kembali puisi Khalil Gibran, agaknya pantas didengar: "Saya tak punya impian khusus buat anak-anak saya. Saya sangat berharap mereka punya impian sendiri bahwa mereka akan kerja keras mengejar impian mereka dan mereka akan coba melakukan sesuatu yang bernilai dalam hidup mereka".
Syahdan, dunia Irving Finkle, yang menolak distraksi sejak dini adalah realita yang ganjil bagi anak-anak masa kini. Itu sebabnya, para orang tua mendorong anak-anak mereka untuk menggeluti bidang ilmu, seni dan ketangkasan olah raga sekaligus. Inilah era di mana anak-anak hidup dalam gelombang distraksi.
Di depan layar kaca, dengan remote control di tangan, Toro (9) menghabiskan Minggu pagi hingga siang, menyaksikan tayangan teve dari satu saluran ke saluran lain. Begitu film kartun yang ditonton diselingi iklan, seketika jempol Toro menekan tombol, melompat ke tayangan kuis anak-anak. Saat ‘yang satu ini lewat’, Toro melompat ke tayangan non iklan. Begitu seterusnya.
Jika nonton teve sudah membosankan, anak pindah ke meja komputer, menghidupkan PC dan layar monitor. Permainan yang seru ‘online games’ dimulai. Toro agaknya bisa mewakili generasi digital yang hidup dalam gelombang distraksi, pengalihan fokus yang terus-menerus. Kenyataan itu tak terjadi 30 tahun lalu ketika anak-anak hanya hidup dalam pilihan tunggal menikmati hiburan layar kaca. Di era TVRI sebagai pemain solo di ranah pertelevisian, perhatian anak-anak terhujam ke satu acara--dalam satu atau dua jam tayangan.
Begitu drama Rumah Masa Depan ternikmati, anak-anak harus menunggu sampai tuntas sebelum menyimak dendang tembang bocah yang riang atau dagelan yang jenaka. Tak ada distraksi, dalam hitungan menit, kalaupun ada, tak sedramatis saat ini. Dalam pemupukan bakat, distraksi pun terjadi, juga tak kalah intens dengan yang terjadi di dunia tontonan. Tengoklah pengalaman keluarga-keluarga kelas menengah di kota-kota besar. Mereka tak puas dengan prestasi sang anak di sekolah. Mereka ingin bocah-bocah itu bukan cuma jago matematika di sekolah, tapi juga super menggesek biola, trengginas di kolam renang atau berlaga bela diri.
Anak-anak diberi kursus matematika, bahasa Inggris, musik, renang atau taekwondo. Mereka tak boleh hanya punya satu fokus, harus banyak fokus. Mereka terdistraksi. Andaikan kedua orang tua Irving Finkle seperti orang tua masa kini, dunia mungkin tak akan tahu jawaban atas misteri dan asal-usul permainan catur, yang konon pada mulanya merupakan permainan kalangan bangsawan Ur, Mesopotamia, sekitar 4.600 SM.
Finkle (57), kurator Museum London yang bercambang awut-awutan dan kurang peduli dengan adat zaman modern itu, tergugah perhatiannya pada permainan bangsawan Ur sejak ia berusia 7 tahun. Bapak dan ibu Finkle tak membelah fokus sang anak dengan menyuruhnya mendalami bidang lain. Pada usia 11, Finkle begitu terpesona oleh buku yang mengupas permainan bangsawan Ur itu. Dia menulis surat pada sang penulis buku dan tinggal bersamanya. Ini menjadi tonggak yang berpengaruh pada hidup Finkle di kemudian hari.
Dengan minat yang terfokus pada satu bidang yang ditekuni secara intens itulah, Finkle berhasil membaca rahasia permainan kuno yang menjadi cikal permainan catur masa kini. Dia menulis tesis Ph.D tentang sihir pengusir roh jahat di zaman Mesopotamia kuno. Haruskah anak-anak saat ini meneladani jalan hidup Finkle. Tidak, begitu kira-kira jawaban Randy Pausch, guru besar dari lembaga pendidikan Carnegie Mellon. Pausch kini menunggu ajalnya setelah mengidap kanker pankreas stadium akhir.
Kuliah terakhir yang menggugah jutaan pengunjung situs YouTube antara lain menekankan; anak-anak harus didorong untuk mengambil kursus di luar bidang pelajaran utamanya. Impian akan muncul dengan memperluas wawasan sang anak. Mereka juga harus bergaul dengan beragam manusia yang berbeda. Jadi tidak keliru kalau para orangtua masa kini memborbardir anak-anak dengan segala macam kursus untuk memperluas wawasan dan mengenalkan anak pada beragam manusia?
Sejauh para orang tua itu tidak mendiktekan impian mereka pada sang anak, itu masih bisa ditenggang. Suara Pausch berikut ini, yang seolah menggaungkan kembali puisi Khalil Gibran, agaknya pantas didengar: "Saya tak punya impian khusus buat anak-anak saya. Saya sangat berharap mereka punya impian sendiri bahwa mereka akan kerja keras mengejar impian mereka dan mereka akan coba melakukan sesuatu yang bernilai dalam hidup mereka".
Syahdan, dunia Irving Finkle, yang menolak distraksi sejak dini adalah realita yang ganjil bagi anak-anak masa kini. Itu sebabnya, para orang tua mendorong anak-anak mereka untuk menggeluti bidang ilmu, seni dan ketangkasan olah raga sekaligus. Inilah era di mana anak-anak hidup dalam gelombang distraksi.
0 komentar:
Posting Komentar