Home » , » Balada Laskar Asongan

Balada Laskar Asongan

OASE
Oleh: Albert Kin Ose Moruk
Hari itu Jumat siang, tanggal 25 Juli 2008. Panas matahari di pelataran Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, terus membakar kulit para pengunjung, --dalam maupun luar negeri. Nafas gadis usia remaja itu masih naik turun akibat terpaan terik mentari yang cukup menyengat. Biji keringat tampak mengalir agak deras seakan ingin me-lap riasan bedak di wajahnya. Sepintas dari raut wajahnya, terekam fakta bahwa ia harus berjuang ekstra untuk bisa menggaet pembeli, yang adalah para wisatawan dalam dan luar negeri.
Seraya menahan napas, gadis cantik ini melempar senyum dan memperkenalkan diri, ‘’Aku Desi,’’ ujarnya sambil menyodorkan aneka kaos bertulis dan bergambar Borobudur kepada saya dan teman yang baru saja turun dari puncak Candi Borobudur.
‘’Terima kasih, terima kasih. Tenangkan diri dulu. Saya masih capek dan ingin minum air,’’ jawab saya kepada Desi yang sudah didampingi lima orang pedagang, sesama teman sejawatnya. ‘’Beli lima kaos hanya 100 ribu rupiah. Ya…, buat pelaris. Dari pukul 10.00 WIB, belum ada yang laku Pak’’ ucap Desi tanpa menggubris butiran keringat yang kian deras mengucur di wajahnya. Saya dan teman saya coba jalan terus menuju areal parkir, namun terus dikerubuti para pedagang yang mayoritas kaum wanita.
Karena terus diikuti, kembali saya menawar, ’’Boleh enam kaos 100 ribu rupiah?,’’ kata saya sambil jalan. Mendengar tawaran ini, tanpa basah basih lagi, Desi langsung mengeluarkan enam kaos sesuai permintaan saya. Desi pun pergi meninggalkan kerumunan rekan seprofesinya yang lain menuju sasaran pembeli berikutnya.
Begitulah potret Desi bersama kaumnya melakoni sebuah rutinitas kehidupan saban hari, dari pukul 10.00 sampai 17.00 di setiap ruas jalan. Antar sesama rekan pedagang, tetap berselimut senyum ramah dan akrab meski barang yang dijejali di tangan kiri dan kanan tidak semua dibeli pengunjung.
Rezeki yang diperoleh setiap orang untuk setiap lakon hidup dan kehidupan saban hari, jelas berbeda-beda. Tidak sama. Candi Borobudur, bagi Desi dan sekitar 1000 lebih kaumnya jelas menjadi ladang, tambang garapan dan sandaran utama mempertahankan kehidupan. Berani, semangat pantang menyerah dan rajin berbicara (menawar) barang dagangan, ternyata menjadi perabas cela untuk menuai rezeki. Bisu dan sunyi apalagi diam, lupa tampak di sekitar areal bangunan peninggalan sejarah terindah dan terbaik di dunia itu.
Potret profesi seorang gadis Desi menggugah daya reflektif saya akan perjuangan maha hebat para seniman tempoe doeloe dalam mendesain dan menghadirkan sebuah bangunan maha karya di tanah Jawa, Indonesia. Lebih dari itu, semangat pantang menyerah yang diperankan setiap pedagang asong kebanyakan menyiratkan kesan bahwa hidup harus terus berbuat (bergerak), dan rajin berbicara (komunikasi) itu sangat penting untuk hidup.
Informasi yang sempat saya himpun menyebut, setiap hari ada sekitar 1000 orang pedagang asongan seperti Desi yang mengadu nasib untuk bertahan hidup dengan menjajakan aneka cinderamata khas Borobudur kepada para tamu, termasuk jasa semir sepatu dan sandal kulit. Jumlah pedagang asong tersebut belum terhitung pedagang di kios-kios pakaian, sandal, sepatu, makanan dan minuman yang berjejer di sekitar areal parkir sampai pintu masuk candi yang menjadi salah satu dari tujuh keajaiban di dunia.
Meski harus mandi matahari dan bersahabat dengan iklim lainnya, kegigihan para pedagang di pinggiran lini-lini Borobudur yang dibangun sekitar abad ke-8 pada Raja Samaratungga dari Dinasti Syailendra tersebut, seakan-akan menyiratkan guratan daya kreatif dari setiap jengkal pahatan ornamen candi. Bukankah relief-relief yang terukir di setiap dinding candi menawarkan kesan hidup yang harmonis, tanpa harus diberi batasan kaya miskin, kelas bawah, menengah dan atas?
Thanks for reading Balada Laskar Asongan

0 komentar:

Posting Komentar