Home » , » Kontes Bakat Anak, Eksploitasi Industrialisme

Kontes Bakat Anak, Eksploitasi Industrialisme

Oleh: Desy Saputra
Kontes bakat anak yang banyak digelar di ranah publik, sering lebih diamini para orang tua dan para pelaku industri, terutama industri televisi. Geliat industri ini mendapat sorotan tajam dari Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto Mulyadi. Bahkan pria yang diakrabi Kak Seto ini menilai, pelaku industri televisi dan orang tua sering tidak menyadari bahwa mereka sudah melakukan eksploitasi terhadap anak lewat dunia hiburan di layar lebar. Apalagi ada unsur instruksi dan tekanan psikologis, jelas terkategori praktek eksploitasi dan penyalahgunaan hak anak.
Sebagai contoh, sebut Kak Seto, kontes bakat menyanyi dan sinetron yang marak di sejumlah stasiun televisi. Anak-anak tampil dengan riasan wajah yang tebal, baju seperti orang dewasa, jam siaran melebihi tiga jam serta menyanyikan lagu-lagu orang dewasa yang ditentukan produser. Semua itu demi kepentingan televisi dan orang tua, bukan keinginan anak-anak. Anak-anak berhak untuk bermain dengan gembira, tanpa ada tekanan atau paksaan harus begini dan begitu. Keinginan tampil di televisi, sebenarnya bukan sepenuhnya keinginan anak. Ambisi dan keinginan orang tua yang biasanya lebih dominan mendorong anak-anak tampil dalam kontes menyanyi atau sinetron di televisi. "Sebenarnya itu keinginan orang tua melihat anaknya bisa tampil dan dipuji banyak orang. Padahal kalau ditanyakan pada anak itu sendiri, belum tentu dia merasakan kebahagiaan seperti orang tuanya," ujar Seto.
Hal senada diungkap salah satu orang tua penyanyi cilik, Butet Trivyantini. Menurut Butet, ada banyak cara untuk menjadikan anak-anak terkenal dan sebagai idola. Cara yang paling cepat dan sangat diminati kalangan orang tua saat ini memang melalui kontes atau menempuh jalur seni peran lewat sinetron. "Siapa sih yang tidak bangga melihat anaknya tampil di atas panggung, menyanyi dan menari, mendapat tepuk tangan penonton dan apresiasi yang positif dari tim juri," katanya.
Hanya saja, banyak resiko yang harus ditanggung anak dan orang tua demi mengejar ketenaran. "Dulu Kanya meminta untuk ikut kontes Idola Cilik di RCTI. Teman-teman saya yang melihat bakat menyanyi Kanya juga menyarankan hal yang sama, tapi saya dan suami sebagai orang tua menolak," katanya.
Ibunda dari Ratnakanya Annisa Pinandita (Kanya) ini menilai, anak akan kehilangan masa bermain dan belajar dengan adanya jadwal syuting ketat plus ragam aturan yang ditetapkan produser. "Anak-anak yang tampil dalam kontes bakat kehilangan keceriaan khas anak-anak yang polos dan wajar. Mereka terlihat lebih dewasa dari usia yang sesungguhnya karena riasan, kostum dan lagu-lagu yang dibawakan, semuanya seperti orang dewasa. Saya tidak mau Kanya seperti itu," ujarnya prihatin.
Komedian dan penyanyi, Ronal Surapradja berpendapat sangat sulit melawan industri televisi terkini. Mereka menentukan apa dan siapa yang boleh tampil, sedangkan pelaku di dunia hiburan seperti dia atau anak-anak tidak punya pilihan lain kecuali menuruti keinginan industri televisi. Ronal yang sebelumnya dikenal lewat acara komedi Ekstravaganza di Trans TV mengatakan, ketika seseorang sudah memasuki bisnis hiburan di televisi, tidak banyak yang bisa memegang teguh idealisme. Pekerja seni dan pekerja di dunia hiburan mau tidak mau harus mengikuti apa yang diinginkan produser.
Direktur Program Idola Cilik RCTI, Harsiwi mengatakan, program yang menampilkan kontes menyanyi anak ditujukan untuk mencari bibit-bibit baru penyanyi anak-anak dan menggali bakat. Sejak program itu diluncurkan, sebut Harsiwi, animo masyarakat dibuktikan dengan hasil pemeringkatan yang cukup tinggi. Idola Cilik mendapat 25% dari semua penonton di Indonesia dengan share di atas 30% dan pemeringkatan mencapai 4%. Artinya, program Idola Cilik sebagai tontonan dominan masyarakat Indonesia dibanding program yang lain.
Dampak Psikologis
Berbagai tayangan kontes anak seperti Idola Cilik di RCTI, Dai Cilik di TPI dan sinetron yang menggunakan anak-anak sebagai bintang utama secara terus menerus akan berdampak buruk bagi anak-anak termasuk anak-anak yang menonton. Seto mengungkapkan anak-anak belajar tentang banyak hal dari proses imitasi (meniru) apa yang mereka lihat. Tayangan yang tidak sesuai perkembangan usia anak seperti riasan wajah yang tebal, baju yang tidak sesuai, dialog yang tidak sepantasnya diucapkan anak, menyanyi lagu-lagu orang dewasa, hal tersebut akan dicontoh anak-anak di rumah sebagai penonton. "Karena mereka melihat itu di televisi berkali-kali maka anak-anak di rumah yang menonton cenderung meniru, dan mereka menganggap hal itu sedang menjadi tren," katanya.
Bagi anak-anak yang menjadi bintang televise (idola baru), juga timbul dampak buruk. Keterkenalan yang datangnya tiba-tiba belum tentu bisa diantisipasi dengan baik oleh orang dewasa, apalagi anak-anak. Popularitas yang luar biasa belum cukup mampu dipikul anak-anak. Anak-anak akan mengalami cultural shock (kejutan budaya) dari kehidupan mereka yang sebelumnya biasa-biasa saja berubah seketika dengan adanya sorotan kamera infotainment, permintaan wawancara wartawan atau dikerubuti penggemar yang minta tanda tangan.
"Mereka juga harus menghadapi hidup yang serba diatur dan menjadi beban. Mereka harus selalu tersenyum dan tidak boleh terlihat lelah di depan kamera, di depan penggemar dan wartawan. Padahal sebagai anak mereka punya kebebasan. Secara perlahan, kondisi tersebut mendorong pada perubahan psikologi anak. Banyak tindakan yang berubah seperti anak jadi sombong, susah diarahkan orang tua, membangkang dan kecerdasan emosi tidak berjalan baik. Jangan heran bahwa banyak selebritis di dunia yang terkenal sejak anak-anak tetapi ketika dewasa perilakunya sangat buruk. Seperti Michael Jackson dan Lindsay Lohan," katanya.
Menyoal upaya pencegahan, Sekjen Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait mengungkapkan perlu kesadaran dari pelaku industri televisi bahwa mereka juga memikul tanggung jawab edukasi dalam setiap tayangan. "Orang tua juga harus sadar bahwa anak-anak memiliki hak bermain dan belajar seperti diatur dalam UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Kalau sudah terjadi eksploitasi anak, maka itu sudah termasuk tindakan pidana," kata Sirait.
Komnas Perlindungan Anak, sedang melakukan kunjungan (roadshow) ke sejumlah stasiun televisi dengan memberikan himbauan agar memperbaiki tayangan kontes bakat atau sinetron-sinetron anak yang ditayangkan agar tetap mempertimbangkan hak-hak anak. "Memang tidak mudah melawan industri kapitalisme, tapi kita harus terus membangun kesadaran masyarakat meskipun ada banyak benturan. Ini semua demi anak-anak kita nantinya," pinta Sirait. (Antara/Spektrum)
Thanks for reading Kontes Bakat Anak, Eksploitasi Industrialisme

0 komentar:

Posting Komentar