Oleh: Maryati
Pukul 09.30 WIB, Sekolah Luar Biasa Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) di Jl Hang Lekiu III/19, Jakarta Selatan sudah terlihat sibuk. Beberapa orang dewasa terlihat duduk di ruang tunggu dan sebagian hilir mudik mendorong anak-anak berseragam Pramuka yang duduk di kursi roda. Di lantai dua bangunan sekolah yang dibangun awal tahun 1960-an itu, sekitar dua puluh siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) Luar Biasa sedang latihan Pramuka. Mereka duduk di kursi dan kursi roda yang disusun melingkar. Enam guru berseragam Pramuka--baju coklat susu, celana panjang coklat tua, dan hasduk berwarna merah putih-- berdiri ditengahnya, memandu mereka bertepuk tangan, meneriakkan yel-yel dan menyanyi, "Ini bajukuu..Ini sepatukuu..."
Di antara anak-anak itu ada Marcello Wisnu Aryateja, yang biasa disapa Teja, pelajar di kelas tiga SMA Luar Biasa YPAC. Ia duduk di kursi roda karena kedua kakinya bahkan tidak cukup kuat untuk menahan tubuhnya yang kecil dan ramping. Teja, yang kini berusia 24 tahun, pindah ke Sekolah Luar Biasa YPAC setelah menyelesaikan kelas enam Sekolah Dasar (SD). Sebelumnya dia belajar di SD inklusi, sekolah dasar umum yang juga menerima pelajar dengan kebutuhan khusus di Bekasi Timur, Jawa Barat. "Enakan di sini, di sana tidak banyak teman senasib," kata putra kedua pasangan Yosephine dan Isnugroho itu serta tertawa. "Ia jadi tidak merasa sendirian. Jadi, lebih bersemangat belajar dan mengikuti kegiatan sekolah," kata Yosephine.
Selama belajar di sekolah luar biasa itu, Teja juga banyak mendulang prestasi. Tahun lalu anak laki-laki berkacamata itu menjadi juara kedua kompetisi Ilmu Pengetahuan Alam antar penyandang cacat se-DKI Jakarta dan tahun ini dia menjuarai lomba balap kursi roda se-DKI Jakarta. "Dia tiap pagi, sebelum masuk sekolah, selalu latihan, keliling sekolah dulu dengan kursi roda sampai jam masuk sekolah tiba," kata Yosephine.
Selain berprestasi di bidang ilmu dan olah raga, Teja juga aktif mengikuti kegiatan seni, seperti menari dan menyanyi, baik di sekolah maupun di luar sekolah. "Dia ikut kursus vokal di rumah, ikut bengkel seni Ibu Lis juga. Dia suka menyanyi," kata Yosephine serta menambahkan, di rumah Teja suka berkaraoke, menyanyikan lagu-lagu pop kesukaannya. Teja, yang menganggap semua gurunya sebagai guru favorit, pun sering diminta menjadi penampil atraksi seni dalam berbagai kegiatan di sekolah dan di luar sekolah.
Bersama kelompok vokalnya, dia pernah tampil menyanyi dalam sebuah konser amal untuk korban gempa Yogyakarta di Universitas Pelita Harapan (Jakarta). Dia juga pernah ikut menampilkan tarian Saman di Istana Negara dan menyanyi dihadapan Ibu Negara dan tamu negara. Saat ini Teja belum memutuskan, akan kemana dan melakukan apa setelah lulus SMA nanti. Dia hanya akan fokus berusaha melakukan yang terbaik untuk menyelesaikan sekolah serta menikmati pelajaran seni dan ketrampilan di sekolah. "Belum tahu, pokoknya lulus dulu deh," kata Teja serta tersenyum, menatap Yosephine yang duduk di depannya.
Dan Yosephine yang siang itu mengenakan baju kaus putih bergaris biru muda mengatakan, semua terserah kepada Teja. Apapun keinginan Teja, ia akan tetap setia menemani perjalanan sang putra, seperti yang selama ini dia lakukan. Meski sejak enam tahun lalu dia harus berjuang sendiri karena sang suami meninggal dunia, Yosephine tak pernah lelah menemani setiap kegiatan putra keduanya. "Anaknya selalu penuh semangat, jadi kita juga ikut bersemangat terus," kata perempuan berambut ikal sebahu itu tentang putra keduanya.
Pada hari sekolah, setiap pukul 05.10 WIB pagi Yosephine meninggalkan rumahnya di Bekasi Timur untuk mengantar Teja ke YPAC Jakarta, menunggui Teja belajar hingga pukul 13.30 WIB dan tiba kembali di rumahnya sekitar pukul 15.00 WIB. Sorenya, pada hari-hari tertentu Yosephine akan mengantar putranya mengikuti kursus vokal atau belajar menari dan menyanyi di bengkel seni. "Dan kalau sekolah pulang cepat, kami pergi ke Rumah Sakit Fatmawati, Teja ikut fisioterapi di sana," kata perempuan berkulit kuning langsat itu.
Pada hari libur, selain main play station beberapa waktu, Teja biasanya berjalan-jalan di pusat perbelanjaan atau tempat hiburan bersama ibu dan kakaknya. Dan tentu saja, paginya ke gereja dulu pada hari Minggu. "Kalau ke gereja, dia tidak pakai sepatu roda, saya selalu papah dia, supaya bisa rileks setelah setiap hari berkursi roda," katanya.
Wakil Kepala Sekolah Luar Biasa YPAC Jakarta Drs Andiek Soemarno menuturkan, selepas SMA anak-anak dengan kebutuhan khusus, bahkan yang berprestasi seperti Teja, tidak punya banyak pilihan. Tidak semua anak punya kebutuhan khusus bisa masuk ke perguruan tinggi dan mengambil jurusan apapun yang mereka sukai karena sebagian dari mereka tidak dikaruniai kemampuan fisik dan akademik yang memungkinkan mereka untuk itu. "Di sini jam belajarnya sama dengan sekolah umum, kurikulumnya ada, tapi sejak SMP kurikulum ketrampilan lebih diperbanyak," katanya.
Bahkan pada jenjang yang setara SMA, pelajaran yang diberikan lebih banyak didominasi oleh pelajaran ketrampilan seperti pertanian dan pembuatan barang kerajinan. "Kalau sudah tingkat SMA, beban akademiknya dikurangi dan ketrampilan diperbanyak karena kemampuan akademiknya dianggap sudah optimal, jadi perbandingan akademik dan ketrampilan 40:60," kata Andiek.
Sekolah, katanya, juga menyediakan bengkel kerja bagi para siswa untuk mengembangkan kemampuan mereka dalam bidang ketrampilan di bidang pertanian dan pembuatan kerajinan. Pemberian lebih banyak pelajaran ketrampilan, diharapkan bisa menjadi bekal para siswa sekolah luar biasa untuk hidup dengan mandiri, tidak bergantung kepada orang lain. "Meski demikian, tidak semuanya bisa. Banyak yang mengalami gangguan motorik sehingga susah menguasai ketrampilan tertentu. Bahkan ada anak-anak yang meski sudah lulus dari SMA tetap tidak bisa melakukan apa-apa, masih tergantung pada orang lain," katanya.
Pukul 09.30 WIB, Sekolah Luar Biasa Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) di Jl Hang Lekiu III/19, Jakarta Selatan sudah terlihat sibuk. Beberapa orang dewasa terlihat duduk di ruang tunggu dan sebagian hilir mudik mendorong anak-anak berseragam Pramuka yang duduk di kursi roda. Di lantai dua bangunan sekolah yang dibangun awal tahun 1960-an itu, sekitar dua puluh siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) Luar Biasa sedang latihan Pramuka. Mereka duduk di kursi dan kursi roda yang disusun melingkar. Enam guru berseragam Pramuka--baju coklat susu, celana panjang coklat tua, dan hasduk berwarna merah putih-- berdiri ditengahnya, memandu mereka bertepuk tangan, meneriakkan yel-yel dan menyanyi, "Ini bajukuu..Ini sepatukuu..."
Di antara anak-anak itu ada Marcello Wisnu Aryateja, yang biasa disapa Teja, pelajar di kelas tiga SMA Luar Biasa YPAC. Ia duduk di kursi roda karena kedua kakinya bahkan tidak cukup kuat untuk menahan tubuhnya yang kecil dan ramping. Teja, yang kini berusia 24 tahun, pindah ke Sekolah Luar Biasa YPAC setelah menyelesaikan kelas enam Sekolah Dasar (SD). Sebelumnya dia belajar di SD inklusi, sekolah dasar umum yang juga menerima pelajar dengan kebutuhan khusus di Bekasi Timur, Jawa Barat. "Enakan di sini, di sana tidak banyak teman senasib," kata putra kedua pasangan Yosephine dan Isnugroho itu serta tertawa. "Ia jadi tidak merasa sendirian. Jadi, lebih bersemangat belajar dan mengikuti kegiatan sekolah," kata Yosephine.
Selama belajar di sekolah luar biasa itu, Teja juga banyak mendulang prestasi. Tahun lalu anak laki-laki berkacamata itu menjadi juara kedua kompetisi Ilmu Pengetahuan Alam antar penyandang cacat se-DKI Jakarta dan tahun ini dia menjuarai lomba balap kursi roda se-DKI Jakarta. "Dia tiap pagi, sebelum masuk sekolah, selalu latihan, keliling sekolah dulu dengan kursi roda sampai jam masuk sekolah tiba," kata Yosephine.
Selain berprestasi di bidang ilmu dan olah raga, Teja juga aktif mengikuti kegiatan seni, seperti menari dan menyanyi, baik di sekolah maupun di luar sekolah. "Dia ikut kursus vokal di rumah, ikut bengkel seni Ibu Lis juga. Dia suka menyanyi," kata Yosephine serta menambahkan, di rumah Teja suka berkaraoke, menyanyikan lagu-lagu pop kesukaannya. Teja, yang menganggap semua gurunya sebagai guru favorit, pun sering diminta menjadi penampil atraksi seni dalam berbagai kegiatan di sekolah dan di luar sekolah.
Bersama kelompok vokalnya, dia pernah tampil menyanyi dalam sebuah konser amal untuk korban gempa Yogyakarta di Universitas Pelita Harapan (Jakarta). Dia juga pernah ikut menampilkan tarian Saman di Istana Negara dan menyanyi dihadapan Ibu Negara dan tamu negara. Saat ini Teja belum memutuskan, akan kemana dan melakukan apa setelah lulus SMA nanti. Dia hanya akan fokus berusaha melakukan yang terbaik untuk menyelesaikan sekolah serta menikmati pelajaran seni dan ketrampilan di sekolah. "Belum tahu, pokoknya lulus dulu deh," kata Teja serta tersenyum, menatap Yosephine yang duduk di depannya.
Dan Yosephine yang siang itu mengenakan baju kaus putih bergaris biru muda mengatakan, semua terserah kepada Teja. Apapun keinginan Teja, ia akan tetap setia menemani perjalanan sang putra, seperti yang selama ini dia lakukan. Meski sejak enam tahun lalu dia harus berjuang sendiri karena sang suami meninggal dunia, Yosephine tak pernah lelah menemani setiap kegiatan putra keduanya. "Anaknya selalu penuh semangat, jadi kita juga ikut bersemangat terus," kata perempuan berambut ikal sebahu itu tentang putra keduanya.
Pada hari sekolah, setiap pukul 05.10 WIB pagi Yosephine meninggalkan rumahnya di Bekasi Timur untuk mengantar Teja ke YPAC Jakarta, menunggui Teja belajar hingga pukul 13.30 WIB dan tiba kembali di rumahnya sekitar pukul 15.00 WIB. Sorenya, pada hari-hari tertentu Yosephine akan mengantar putranya mengikuti kursus vokal atau belajar menari dan menyanyi di bengkel seni. "Dan kalau sekolah pulang cepat, kami pergi ke Rumah Sakit Fatmawati, Teja ikut fisioterapi di sana," kata perempuan berkulit kuning langsat itu.
Pada hari libur, selain main play station beberapa waktu, Teja biasanya berjalan-jalan di pusat perbelanjaan atau tempat hiburan bersama ibu dan kakaknya. Dan tentu saja, paginya ke gereja dulu pada hari Minggu. "Kalau ke gereja, dia tidak pakai sepatu roda, saya selalu papah dia, supaya bisa rileks setelah setiap hari berkursi roda," katanya.
Wakil Kepala Sekolah Luar Biasa YPAC Jakarta Drs Andiek Soemarno menuturkan, selepas SMA anak-anak dengan kebutuhan khusus, bahkan yang berprestasi seperti Teja, tidak punya banyak pilihan. Tidak semua anak punya kebutuhan khusus bisa masuk ke perguruan tinggi dan mengambil jurusan apapun yang mereka sukai karena sebagian dari mereka tidak dikaruniai kemampuan fisik dan akademik yang memungkinkan mereka untuk itu. "Di sini jam belajarnya sama dengan sekolah umum, kurikulumnya ada, tapi sejak SMP kurikulum ketrampilan lebih diperbanyak," katanya.
Bahkan pada jenjang yang setara SMA, pelajaran yang diberikan lebih banyak didominasi oleh pelajaran ketrampilan seperti pertanian dan pembuatan barang kerajinan. "Kalau sudah tingkat SMA, beban akademiknya dikurangi dan ketrampilan diperbanyak karena kemampuan akademiknya dianggap sudah optimal, jadi perbandingan akademik dan ketrampilan 40:60," kata Andiek.
Sekolah, katanya, juga menyediakan bengkel kerja bagi para siswa untuk mengembangkan kemampuan mereka dalam bidang ketrampilan di bidang pertanian dan pembuatan kerajinan. Pemberian lebih banyak pelajaran ketrampilan, diharapkan bisa menjadi bekal para siswa sekolah luar biasa untuk hidup dengan mandiri, tidak bergantung kepada orang lain. "Meski demikian, tidak semuanya bisa. Banyak yang mengalami gangguan motorik sehingga susah menguasai ketrampilan tertentu. Bahkan ada anak-anak yang meski sudah lulus dari SMA tetap tidak bisa melakukan apa-apa, masih tergantung pada orang lain," katanya.
0 komentar:
Posting Komentar