Pameran Pertama 46 Tahun Lalu
Oleh: Agus Salam
Pameran Seni Rupa II Sanggar Bumi Tarung di Galeri Nasional, 19-29 Juni lalu, mengenang peristiwa 1965 yang kelam dan tragis. Gonjang-ganjing politik pasca Gerakan 30 September tahun itu tak hanya merenggut hidup para politikus yang tersangkut Partai Komunis Indonesia, tetapi juga melindas banyak pelukis yang terkait Lembaga Kebudayaan Rakyat. Dalam sejarah yang gelap itu, mereka jadi korban.
Pagelaran dengan kurator Bambang Subarnas ini menampilkan karya 11 seniman Sanggar Bumi Tarung (SBT). Mereka adalah Amrus Natalsya, Djoko Pekik, Misbach Tamrin, Isa Husada, Adrianus Gumelar, Hardjija Pujanadi, Sudiyono SP, Sabri Djamal, Dj M Gultom, Muryono, dan Sudjatmoko.
Para seniman ini adalah anggota sanggar yang bisa bertahan setelah dirundung kemalangan politik dan kegetiran hidup sebagai tahanan Orde Baru. ‘’Sungguh tak terbayangkan, akhirnya kami bisa berpameran bersama lagi seperti ini,’’ kata Djoko Pekik, pelukis anggota SBT tersebut.
Kini, mereka menggelar pameran kedua setelah pameran pertama tahun 1962. Dengan selang waktu 46 tahun, pameran ini penting karena menyajikan catatan sejarah kelam dunia seni rupa.
Pergelaran ini membuktikan etos para seniman sepuh itu belum padam. Dalam katalog pameran, 11 seniman itu bersuara lantang. ‘’Kami masih hidup, melewati lika-liku pengalaman hidup yang getir. Kami bisa lalui itu semua. Betapapun kemudian masih menggumpal tantangan yang kami hadapi, dari lontaran berbagai isu, represi, diskriminasi dan stigmatisasi selama perjalanan sejarah,” katanya.
Apa yang dialami Djoko Pekik dan kawan-kawan jelas menyisakan traumatik yang berkepanjangan. Bahkan, sampai dalam era reformasi saat ini, para seniman itu masih trauma sekalipun seniman lain sudah bebas mengekspresikan perasaannya di atas kanvas.
Pengalaman-pengalaman getir serta gejolak perasaan yang pernah dan masih dialami anggota Sanggar Bumi Tarung itulah yang menjadi titik balik kembalinya orang-orang ‘terlarang’.
Pameran Sanggar Bumi Tarung memiliki arti sangat penting dalam sejarah seni rupa Indonesia. Tidak bisa dipungkiri bahwa para seniman anggota Sanggar Bumi Tarung yang berdiri tahun 1961 ini, merupakan pelaku sejarah seni rupa Indonesia, meskipun nama-nama dan keberadaan mereka tidak ada sama sekali dalam buku sejarah mengenai seni rupa Indonesia karena dianggap sebagai pemberontak.
Bagi para seniman Sanggar Bumi Tarung, pameran di Galeri Nasional Indonesia ini adalah yang kedua kalinya. Sebelumnya, mereka menggelar pameran pertama berlangsung pada tahun 1962 di Galeri Budaya, Jakarta.
Oleh: Agus Salam
Pameran Seni Rupa II Sanggar Bumi Tarung di Galeri Nasional, 19-29 Juni lalu, mengenang peristiwa 1965 yang kelam dan tragis. Gonjang-ganjing politik pasca Gerakan 30 September tahun itu tak hanya merenggut hidup para politikus yang tersangkut Partai Komunis Indonesia, tetapi juga melindas banyak pelukis yang terkait Lembaga Kebudayaan Rakyat. Dalam sejarah yang gelap itu, mereka jadi korban.
Pagelaran dengan kurator Bambang Subarnas ini menampilkan karya 11 seniman Sanggar Bumi Tarung (SBT). Mereka adalah Amrus Natalsya, Djoko Pekik, Misbach Tamrin, Isa Husada, Adrianus Gumelar, Hardjija Pujanadi, Sudiyono SP, Sabri Djamal, Dj M Gultom, Muryono, dan Sudjatmoko.
Para seniman ini adalah anggota sanggar yang bisa bertahan setelah dirundung kemalangan politik dan kegetiran hidup sebagai tahanan Orde Baru. ‘’Sungguh tak terbayangkan, akhirnya kami bisa berpameran bersama lagi seperti ini,’’ kata Djoko Pekik, pelukis anggota SBT tersebut.
Kini, mereka menggelar pameran kedua setelah pameran pertama tahun 1962. Dengan selang waktu 46 tahun, pameran ini penting karena menyajikan catatan sejarah kelam dunia seni rupa.
Pergelaran ini membuktikan etos para seniman sepuh itu belum padam. Dalam katalog pameran, 11 seniman itu bersuara lantang. ‘’Kami masih hidup, melewati lika-liku pengalaman hidup yang getir. Kami bisa lalui itu semua. Betapapun kemudian masih menggumpal tantangan yang kami hadapi, dari lontaran berbagai isu, represi, diskriminasi dan stigmatisasi selama perjalanan sejarah,” katanya.
Apa yang dialami Djoko Pekik dan kawan-kawan jelas menyisakan traumatik yang berkepanjangan. Bahkan, sampai dalam era reformasi saat ini, para seniman itu masih trauma sekalipun seniman lain sudah bebas mengekspresikan perasaannya di atas kanvas.
Pengalaman-pengalaman getir serta gejolak perasaan yang pernah dan masih dialami anggota Sanggar Bumi Tarung itulah yang menjadi titik balik kembalinya orang-orang ‘terlarang’.
Pameran Sanggar Bumi Tarung memiliki arti sangat penting dalam sejarah seni rupa Indonesia. Tidak bisa dipungkiri bahwa para seniman anggota Sanggar Bumi Tarung yang berdiri tahun 1961 ini, merupakan pelaku sejarah seni rupa Indonesia, meskipun nama-nama dan keberadaan mereka tidak ada sama sekali dalam buku sejarah mengenai seni rupa Indonesia karena dianggap sebagai pemberontak.
Bagi para seniman Sanggar Bumi Tarung, pameran di Galeri Nasional Indonesia ini adalah yang kedua kalinya. Sebelumnya, mereka menggelar pameran pertama berlangsung pada tahun 1962 di Galeri Budaya, Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar