Oleh: Masuki M Astro
Upaya menghapus pekerja di Indonesia merupakan masalah pelik yang jumlahnya mencapai 2.865.073 sesuai data Suvey Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) BPS tahun 2004. Dari jumlah itu, Jawa Timur menempati rangking tertinggi, yaitu terdapat 414.554 pekerja anak. Mereka yang berusia antara 10 hingga 17 tahun itu terdiri atas 265.043 anak perempuan dan 149.511 anak laki-laki.
Ajun Pengawas Ketenagakerjaan Madya Disnakertrans Jatim, Sigit Priyanto dalam seminar yang digelar Depkum HAM di Surabaya mengatakan, upaya penegakan hukum bagi pengusaha yang mempekerjakan anak ibarat makan buah simalakama. Pihaknya mengaku, komitmen menerapkan UU 23/2002 tentang Pekerja Anak dan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, namun di sisi lain justru menimbulkan masalah lebih besar. "Kalau praktek itu ditindak, terus yang mau ngasih makan ribuan orang dari keluarga pekerja anak itu siapa. Itulah masalahnya," katanya.
Masalah terletak pada orang tua si anak yang rela melepaskan hak-hak anaknya karena bagi mereka yang terpenting adalah bagaimana bisa bekerja dan kemudian keluarganya bisa makan. "Jadi upaya penegakan hukum yang kami lakukan baru sebatas pembinaan. Karena kalau kami tindak, maka kami bisa diprotes oleh orangtua anak itu. Ini merepotkan sehingga bagi kami ibarat makan buah simalakama," katanya.
Ia menjelaskan, sampai saat ini, belum ada pengusaha di Jatim yang ditindak oleh Disnakertrans terkait mempekerjakan anak di bawah umur. Namun demikian, pihaknya bersedia meniru daerah lain jika memang ada solusi dari langkah tegas dalam masalah itu. "Ini memang sangat kontradiktif karena sesuai UU No 13 tahun 2003, sanksi terberat adalah mempekerjakan anak, yakni bisa dipenjara dua hingga lima tahun atau denda Rp 200 juta hingga Rp500 juta," katanya.
Sigit menegaskan bahwa persoalannya bukan masalah berani atau tidak untuk menindak pengusaha yang melanggar aturan itu. Karena sebetulnya menurut dia, para pengusaha itu sudah takut jika mereka diperiksa sesuai proses hukum. "Hanya masalahnya, kami berfikir bagaimana keluarga anak-anak itu. Makanya kami ambil jalan tengah dengan mengatur agar jam kerja anak-anak itu tidak mengganggu jam sekolah mereka dan perlakuannya diatur," ujarnya.
Selain itu juga ada ketentuan pelarangan anak dipekerjakan pada tempat yang banyak berhubungan dengan bahan kimia berbahaya atau berdebu dan lainnya. Sementara Anwar Sholihin mengemukakan bahwa masalah pekerja anak ini bukan sekedar masalah kemiskinan, melainkan juga banyak faktor, antara lain tradisi yang menganggap anak bekerja sebagai bentuk pengabdian kepada orangtua. "Ada juga anak orang kaya yang bekerja dan ada juga anak orang miskin yang tetap sekolah, bahkan hingga perguruan tinggi," katanya.
Faktor lain yang menjadi penyebab banyaknya pekerja anak adalah masalah pendidikan. Meskipun saat ini sudah ada BOS (bantuan operasional sekolah), namun masih ada biaya-biaya lain yang membebani orangtua. "Ada juga daerah yang tidak memiliki fasilitas pendidikan setelah SD. Ini yang perlu ada sekolah satu atap dengan SMP. Jadi menurut saya, Dinas Pendidikan di kabupaten atau kota memiliki kontribusi besar untuk mencegah anak bekerja di usia dini," katanya.
Selain itu, katanya, juga diperlukan suasana agar anak lama berada di sekolah dalam pengertian masa studinya. Salamun, salah seorang pejabat di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jatim mengemukakan bahwa saat ini sudah 143 unit SD dan SMP satu atap yang dirintis sejak tahun 2005 di daerah-daerah terpencil. "Di SD tersebut ada tiga lokal atau kelas yang dimanfaatkan untuk SMP. Guru dan kepala sekolahnya juga diambil dari SD setempat. Selain itu kami juga mengirimkan guru SMP negeri terdekat ke SMP satu atap tersebut," katanya.
Upaya menghapus pekerja di Indonesia merupakan masalah pelik yang jumlahnya mencapai 2.865.073 sesuai data Suvey Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) BPS tahun 2004. Dari jumlah itu, Jawa Timur menempati rangking tertinggi, yaitu terdapat 414.554 pekerja anak. Mereka yang berusia antara 10 hingga 17 tahun itu terdiri atas 265.043 anak perempuan dan 149.511 anak laki-laki.
Ajun Pengawas Ketenagakerjaan Madya Disnakertrans Jatim, Sigit Priyanto dalam seminar yang digelar Depkum HAM di Surabaya mengatakan, upaya penegakan hukum bagi pengusaha yang mempekerjakan anak ibarat makan buah simalakama. Pihaknya mengaku, komitmen menerapkan UU 23/2002 tentang Pekerja Anak dan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, namun di sisi lain justru menimbulkan masalah lebih besar. "Kalau praktek itu ditindak, terus yang mau ngasih makan ribuan orang dari keluarga pekerja anak itu siapa. Itulah masalahnya," katanya.
Masalah terletak pada orang tua si anak yang rela melepaskan hak-hak anaknya karena bagi mereka yang terpenting adalah bagaimana bisa bekerja dan kemudian keluarganya bisa makan. "Jadi upaya penegakan hukum yang kami lakukan baru sebatas pembinaan. Karena kalau kami tindak, maka kami bisa diprotes oleh orangtua anak itu. Ini merepotkan sehingga bagi kami ibarat makan buah simalakama," katanya.
Ia menjelaskan, sampai saat ini, belum ada pengusaha di Jatim yang ditindak oleh Disnakertrans terkait mempekerjakan anak di bawah umur. Namun demikian, pihaknya bersedia meniru daerah lain jika memang ada solusi dari langkah tegas dalam masalah itu. "Ini memang sangat kontradiktif karena sesuai UU No 13 tahun 2003, sanksi terberat adalah mempekerjakan anak, yakni bisa dipenjara dua hingga lima tahun atau denda Rp 200 juta hingga Rp500 juta," katanya.
Sigit menegaskan bahwa persoalannya bukan masalah berani atau tidak untuk menindak pengusaha yang melanggar aturan itu. Karena sebetulnya menurut dia, para pengusaha itu sudah takut jika mereka diperiksa sesuai proses hukum. "Hanya masalahnya, kami berfikir bagaimana keluarga anak-anak itu. Makanya kami ambil jalan tengah dengan mengatur agar jam kerja anak-anak itu tidak mengganggu jam sekolah mereka dan perlakuannya diatur," ujarnya.
Selain itu juga ada ketentuan pelarangan anak dipekerjakan pada tempat yang banyak berhubungan dengan bahan kimia berbahaya atau berdebu dan lainnya. Sementara Anwar Sholihin mengemukakan bahwa masalah pekerja anak ini bukan sekedar masalah kemiskinan, melainkan juga banyak faktor, antara lain tradisi yang menganggap anak bekerja sebagai bentuk pengabdian kepada orangtua. "Ada juga anak orang kaya yang bekerja dan ada juga anak orang miskin yang tetap sekolah, bahkan hingga perguruan tinggi," katanya.
Faktor lain yang menjadi penyebab banyaknya pekerja anak adalah masalah pendidikan. Meskipun saat ini sudah ada BOS (bantuan operasional sekolah), namun masih ada biaya-biaya lain yang membebani orangtua. "Ada juga daerah yang tidak memiliki fasilitas pendidikan setelah SD. Ini yang perlu ada sekolah satu atap dengan SMP. Jadi menurut saya, Dinas Pendidikan di kabupaten atau kota memiliki kontribusi besar untuk mencegah anak bekerja di usia dini," katanya.
Selain itu, katanya, juga diperlukan suasana agar anak lama berada di sekolah dalam pengertian masa studinya. Salamun, salah seorang pejabat di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jatim mengemukakan bahwa saat ini sudah 143 unit SD dan SMP satu atap yang dirintis sejak tahun 2005 di daerah-daerah terpencil. "Di SD tersebut ada tiga lokal atau kelas yang dimanfaatkan untuk SMP. Guru dan kepala sekolahnya juga diambil dari SD setempat. Selain itu kami juga mengirimkan guru SMP negeri terdekat ke SMP satu atap tersebut," katanya.
0 komentar:
Posting Komentar