Home » » Bencana Alam Dan Ulah Manusia

Bencana Alam Dan Ulah Manusia

Oleh: Heri Kurniawan*
Dewasa ini kita banyak melihat bencana alam terjadi di negeri ini. Jika musim kemarau banyak terjadi kebakaran hutan, maka di musim penghujan ini banyak terjadi banjir, dan tanah longsor. Apakah ini yang dinamakan takdir Tuhan?
Pertanyaan ini wajib kita refleksikan bersama. Kalau memang takdir Tuhan, mengapa itu terjadi di negeri ini? Adakah yang tidak sesuai dengan ketentuan Tuhan, perbuatan yang kita lakukan sehari-hari hingga Tuhan melimpahkan banyak bencana?
Jika menengok kembali pada ayat Al Qur'an benarkah "kerusakan di daratan dan di lautan, adalah karena tangan-tangan manusia?". Jika begitu maka kita sendirilah yang menjadi sebab musababnya. Entah disadari atau tidak. Karena ini adalah hukum sunatullah (causalitas).
Paradigma yang keliru
"Mungkin alam mulai bosan, bersahabat dengan kita," begitu Ebiet G Ade menyatakan dalam salah satu lagunya. Coba kita telusuri bersama, munculnya bencana seperti banjir dan tanah longsor yang terjadi di musim penghujan ini. Adakah intervensi dari kita?
Disadari atau tidak, ternyata manusia kini mulai melupakan eksistensi alam. Alam dipandang hanya sebagai objek eksploitasi manusia. Alam tidak lagi dipandang sebagai bagian dari manusia yang butuh dijaga eksistensinya. Ini yang menjadi salah satu sebab terjadinya bencana alam di negeri ini. Manusia telah keliru dalam memandang alam.
Kita perlu menengok kembali pada sejarah, di mana nenek moyang kita pernah menjalanani proses hidupnya. Mengapa bencana jarang terjadi di sana, tidak sebagaimana dewasa ini. Ini karena, nenek moyang kita khususnya di wilayah bagian Jawa, mereka memandang alam tidak hanya sebagai objek, tetapi dipandang juga sebagai subjek.
Dalam buku 'Islam Pesisir, Memahami Konstruksi Sosial Tradisi Islam Lokal, disebutkan bahwa masjid, makam, dan sumur adalah lokus penting dalam prosesi upacara pada masyarakat pesisir. Ketiganya menjadi tempat-tempat penting di dalam kehidupan masyarakat. Sebagai medan budaya, ketiganya memiliki keunikan sendiri, yakni sebagai tempat yang memiliki nuansa atau aura yang berbeda dengan yang profan atau duniawi. Di sinilah masyarakat melakukan kegiatan ritual untuk memperoleh barokah (dalam bahasa Arab) yang mengalami desimilasi menjadi berkah (dalam bahasa Jawa).
Tradisi ini dapat kita cermati bahwa nenek moyang kita memandang alam tidak hanya sebagai objek yang hanya diperuntukkan manusia belaka, tetapi mereka pun memiliki hak untuk dijaga dan disakralkan, dengan harapan mereka akan memperoleh barokah berupa kedamaian, kesejahteraan, dan jauh dari marabahaya atau bencana.
Nenek moyang kita tahu bahwa sumur adalah sumber penghidupan. Jika tidak dilestarikan maka air sumur akan mudah dicemari oleh tangan manusia. Karena itulah mereka kemudian mensakralkan sumur walaupun sifatnya mitos belaka. Namun dari hal-hal yang sifatnya mitos tersebut, mereka ternyata berhasil melestarikan alam. Mereka sukses menjaga alam agar tidak mencelakai dirinya.
Ini adalah hubungan timbal balik yang hakikatnya justru menguntungkan manusia itu sendiri (simbiosis mutualisme). Apakah manusia sekarang seperti itu? Ternyata faktanya tidak, manusia sekarang justru hanya mementingkan dirinya sendiri (egois). Hutan yang merupakan sumber kehidupan manusia dan hewan, tempat penyerapan air, dan penguat struktur lapisan tanah (soil structure) oleh manusia justru ditebangi secara liar. Akibatnya setiap musim hujan terjadi banjir dan tanah longsor. Apakah ini takdir? Ya ini adalah takdir yang dibuat oleh manusia sendiri. Siapa yang kemudian dipersalahkan?
Benar apa yang difirmankan Tuhan bahwa segala kerusakan di daratan dan lautan adalah ulah manusia. Dan itu disebabkan, manusia telah mengalami pergeseran paradigma berpikir. Alam sudah tidak dianggap sebagai wilayah yang sakral (desakralisasi).
Menumbuhkan kesadran
Manusia modern perlu memperbaiki sikap dan menata kembali paradigma berpikir kita dalam menyikapi alam ini. Dalam buku Islam Pesisir, dikatakan, manusia sekarang perlu mengadakan gerakan resakralisasi. Artinya, tempat-tempat yang sangat penting dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia harus kembali disakralkan.
Seperti pada zaman nenek moyang Jawa, untuk memperoleh keselamatan mereka mengadakan berbagai upacara, mulai dari upacara lingkaran hidup, upacara kelendrikan, upacara tolak balak, dan upacara-upacara hari penting lainya. Upacara kelendrikan dan sebagian upacara lingkaran hidup, biasanya dilakukan di masjid. Sedangkan upacara kalendrikan kebanyakan dilakukan di masjid. Sedangkan upacara tolak balak, biasanya dilakukan di rumah atau sumur dan makam. Ini yang kemudian memunculkan upacara adat nyadran atau sedekah bumi.
Upacara ini dilakukan ketika mereka sedang mengalami masa panen besar-besaran. Sebagai rasa syukur, mereka mengadakan upacara nyadran. Upacara ini biasa dilakukan di makam, sumur atau tempat-tempat lain yang dianggap sakral seperti pohon besar atau grumbul (kerumunan pohon yang dianggap sakral). Namun hal ini akan terasa amat sulit lantaran benturan terhadap besarnya arus modernisasi yang menilai segala hal dari sudut pandang ilmiah.
Mitos bukanlah fenomena yang ilmiah atau tidak logis lagi. Karena hal ini telah terbentuk dari generasi kegenerasi. Walaupun seperti itu, kita dapat mencoba menggunakan cara lain yang sifatnya ilmiah, seperti halnya mengadakan penelitian dan observasi lapangan. Setelah mendapatkan hasilnya bahwa ulah manusialah yang sebenarnya menjadi sebab musabab hadirnya bencana seperti yang terjadi dewasa ini, selanjutnya kita publikasikan kepada masyarakat. Bisa melalui seminar, kajian-kajian ilmiah, kajian-kajian budaya dan sejenisnya.
Dengan begitu kesadaran akan eksistensi alam ini semakin menjadi hal yang sangat urgen. Karena bagaimanapun juga, manusia tidak akan mampu menciptakan sumber kehidupannya. Mereka hanya mampu mengolah dan memanfaatkannya. Jika alam ini telah enggan menyediakan sumber kehidupan manusia, maka akan ke mana manusia mencari sumber kehidupannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya seperti makan, minum, dan tempat tinggal. Mau minum, air telah banyak yang tercemari limbah-limbah. Mau makan, hasil panen selalu gagal. Dan, mau membuat tempat berteduh, hutan-hutan telah habis ditebangi (deforestisasi). Kesadaran ini yang perlu ditanamkan kembali kepada manusia sekarang.
*)Pengamat sejarah sosial dan budaya pada 'Lembah Kajian Peradaban Bangsa' (LKPB) UIN Sunan Kalijaga, tinggal di Yogyakarta.
Koran Pak Oles/Edisi 164/Desember 2008

Thanks for reading Bencana Alam Dan Ulah Manusia

0 komentar:

Posting Komentar