Home » » Semua Warga Miliki Hak Berobat

Semua Warga Miliki Hak Berobat

Oleh: Ella Syafputri
Sebuah kabupaten yang berjarak tempuh sekitar sembilan jam berkendara mobil dari Jakarta tengah bertekad menjadi daerah yang pertama menerapkan amanah Undang-Undang (UU) Sistem Jaminan Sosial Nasional alias SJSN. Undang 40 tahun 2004 tentang SJSN, yang disahkan pemerintah pada 19 Oktober 2004 mengamanatkan agar pemerintah dapat memberikan jaminan sosial kepada seluruh masyarakat terutama yang miskin dan kurang mampu.
Namun hingga empat tahun bergulir, kemantapan sistem jaminan sosial di skala nasional belum juga tampak. Tarik ulur tentang bagaimana sistem ini berorientasi non-profit dan bisa mencakupi semua masyarakat miskin seolah tak kunjung menjadi benang lurus. Sementara di kabupaten yang berjarak tempuh ratusan kilometer dari Jakarta, yakni Purbalingga, sudah mematok target 100 persen penduduknya bakal tergabung dengan asuransi kesehatan sehingga tidak perlu khawatir lagi bila harus berobat.
Kebijakan pembangunan bidang kesehatan di Kabupaten Purbalingga diarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, agar kualitas sumber daya manusia sebagai modal utama pembangunan semakin kuat. Seperti dikutip dari buku "Best Practice; Kebijakan Pembangunan Purbalingga", untuk mendapatkan derajat kesehatan masyarakat yang tinggi, setidaknya dibutuhkan pemenuhan terhadap empat aspek; demografi, lingkungan, perilaku, dan pelayanan kesehatan yang berkualitas.
Sedangkan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas, setidaknya ada tiga aspek yang harus diperhatikan yakni ketersediaan sarana prasarana kesehatan yang berkualitas, ketersediaan sumber daya manusia bidang kesehatan yang berkapasitas, dan sistem pelayanan kesehatan yang mantap. Namun dalam prakteknya, sistem kesehatan masih dirasa tidak efisien dan efektik, baik dari sisi upaya, pembiayaan, pemberdayaan masyarakat, dan mutu pelayanannya. “Ini akibat belum terpadunya peran pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat dalam penyelenggaraan upaya layanan kesehatan,” kata Bupati Purbalingga Triyono Budi Sasongko menjelaskan.
Menurut dia, berbagai nama untuk program layanan kesehatan di Indonesia seperti Kartu Sehat dan Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) kurang optimal jangkauannya terhadap masyarakat miskin. “Justru program ini kurang dapat membangun kemandirian masyarakat, dan tidak terjamin pula kelestariannya terutama jika di tengah jalan pemerintah tidak punya uang untuk membiayainya,” kata dia.
Selain itu, banyak terjadi di daerah alokasi dana pemerintah yang terbatas untuk bidang kesehatan diutamakan hanya untuk upaya-upaya kuratif, sementara alokasi dana masyarakat masih bersifat perseorangan dan dirasakan mahal sebab dijadikan pos biaya servis. Padahal, di tingkat nasional pemerintah sudah mematok sasaran Indonesia Sehat 2010. Berangkat dari kendala-kendala penyediaan layanan kesehatan bagi masyarakat, Pemerintah Kabupaten Purbalingga sejak tahun 2001 pun mulai memberlakukan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM). “JPKM merupakan upaya membangun pelayanan kesehatan yang berkualitas dan berkelanjutan dengan filosofi si kaya membantu si miskin dan si sehat menolong si sakit (subsidi silang),” ujar Bupati Triyono.
JPKM adalah sistem asuransi kesehatan yang menargetkan semua warga Purbalingga menjadi anggota. Masyarakat yang ikut dalam program ini dibagi menjadi tiga strata, disesuaikan dengan kemampuan ekonomi mereka. Nilai premi JPKM dari tahun ke tahun terus berubah. Pada tahun 2001 premi untuk Strata III adalah Rp25.000 per tahun, Strata II Rp10.000 dan pemerintah memberi subsidi Rp 15.000, sementara Strata I preminya Rp 25.000 sepenuhnya dibayari oleh pemerintah. Pada tahun 2002 angka premi penuh ditetapkan di angka Rp 30.000. Tahun 2003 premi dinaikkan menjadi Rp40.000, tahun 2004 dinaikkan lagi jadi Rp 50.000 dan tahun 2007 menjadi Rp 100.000.
Sementara kriteria keluarga miskin JPKM mengacu kepada Surat Edaran Bupati No. 460/453 tahun 2001. Keluarga dikategorikan miskin bila penghasilan keluarga di bawah Rp5.000 per hari, karena alasan ekonomi keluarga tidak dapat makan dua kali sehari, karena alasan ekonomi terdapat anggota keluarga yang kurang gizi, karena alasan ekonomi anggota keluarga tidak mempunyai sedikitnya tiga stel pakaian yag layak, dan karena alasan ekonomi terhadap anak usia wajib belajar 9 tahun sekolah tidak bersekolah atau putus sekolah. ‘’Tidak seperti program BLT (Bantuan Langsung Tunai) atau Kartu Sehat, JPKM sama sekali tidak melibatkan kepala dusun, kepala desa, atau lurah,” kata Triyono.
JPKM didukung 5.500 kader kesehatan desa yang tidak dibayar alias tanpa honor. “Kader kesehatan desa inilah yang menentukan siapa yang masuk ke kategori Strata I, II, atau III. Dalam JPKM, tidak ada layanan di pusat kesehatan yang digratiskan. Semua layanan di Puskesmas tidak ada yang gratis, tapi pembayarannya dilakukan menurut sistem subsidi silang. “Mekanisme pelayanan JPKM dimulai dari peserta yang berobat ke Polindes/Pustu atau Puskesmas, kemudian dari Pustu atau Puskesmas memberi rujukan ke RSUD Purbalingga,” katanya.
Peserta JPKM bisa mendapatkan pelayanan kesehatan dasar di semua Polindes/PKD dan Puskesmas sesuai dengan stratanya. Pelayanan kesehatan yang dijamin oleh JPKM adalah rawat jalan dan rawat inap di PPK I. Untuk persalinan peserta JPKM Strata I dijamin penuh, Strata II dijamin Rp80.000, dan strata III Rp90.000.
Namun untuk kasus gawat darurat, peserta JPKM bisa langsung berobat ke RSUD Purbalingga sebagai pengecualian. Pengembangan JPKM di Kabupaten Purbalingga dibagi menjadi empat tahap. Tahap pertama yang merupakan sosialisasi dan inisiasi dilakukan pada tahun 2001-2005. Tahap berikutnya adalah penguatan instalasi pada tahun 2006-2009, tahap kemantapan tahun 2010-2012, dan tahap kemandirian sejak tahun 2012 hingga seterusnya. Sejak dimulai pada tahun 2001, cakupan pesertaan JPKM terus bertumbuh. Pada tahun pertama, 35,8 persen warga Purbalingga menjadi peserta program, dengan rincian 67.707 Kepala Keluarga (KK) dari 189.943 KK yang ada di kabupaten tersebut.
Tahun kedua, yakni 2002, angka kepesertaan meningkat jadi 38 persen. Tahun 2003 menjadi 50,1 persen dari total 199.920 KK. “Hingga saat ini kepesertaan JPKM telah mencapai 52 persen penduduk. Apabila ditambah dengan kepesertaan Asuransi Kesehatan lainnya seperti Jamsostek, Askes, dan Pepabri maka sekitar 72 persen masyarakat Purbalingga telah memiliki jaminan sosial berupa asuransi kesehatan,” kata dia. Lewat program JPKM, Triyono ingin menggugah agar pemerintah tidak tumpul memperdayakan masyarakat yang mampu untuk membayar premi kesehatan. Sementara masyarakat yang tidak mampu, bukan lantas artinya tidak berdaya sama sekali sehingga harus selalu mendapat segala layanan secara gratis. “Saya mau rakyat saya tidak cengeng, mereka bisa menyelesaikan masalah mereka sendiri bila disediakan mekanismenya,” ujar Triyono penuh keyakinan.
Mekanisme JPKM yang berazaskan subdisidi silang ini pun mulai terbukti bisa mandiri dari dana pemerintah pusat. “Pada tahun 2008 dana dari masyarakat yang terkumpul untuk program JPKM sudah mencapai 3,726 miliar rupiah, sementara APDB Rp2,876 miliar. Dan dana dari APBN sudah 0 persen sama sekali. JPKM menargetkan pada tahun 2012 dana JPKM bisa dipenuhi semuanya dari dana masyarakat, bukan lagi dibantu dana APBD apalagi APBN.
Ia menilai saat ini kebijakan-kebijakan pemerintah di bidang kesehatan hanyalah kebijakan yang populis dan terlalu meninabobokan masyarakat baik yang miskin maupun yang kaya. Apakah orang miskin itu benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa Harus menunggu program gratis dari pemerintah. Bagaimana bila pemerintah tidak punya uang untuk membayar program tersebut. ‘’Memang..kita mempunyai masyarakat yang miskin. Tapi jangan anggap mereka sama sekali tidak berdaya. Mereka punya kemampuan,’’ ujarnya. “Lihatlah di Purbalingga, tiap Januari mereka yang miskin dan yang mampu berbondong-bondong membayar premi JPKM. Kenapa karena mereka merasa terjamin bila kelak sakit, ada dana yang akan meringankan beban berobat mereka,” sambungnya.
Koran Pak Oles/Edisi 164/Desember 2008
Thanks for reading Semua Warga Miliki Hak Berobat

0 komentar:

Posting Komentar