Home » » Menjadi Generasi Pembaca

Menjadi Generasi Pembaca

Mana yang lebih penting di jaman ini: bekerja tekun mencari uang atau menghabiskan banyak waktu produktif untuk membaca? Benarkah seorang kutu buku yang duduk diam menikmati bacaannya selama berjam-jam bisa menghasilkan uang? Dengan kata lain, apa manfaat langsung yang bisa kita timba dari kegiatan membaca? Rentetan pertanyaan di atas amat sederhana, namun mengguncang daya nalar dan membongkar konstruksi budaya instan.
Membangun kebiasaan membaca setiap hari tidaklah mudah. Memang untuk membaca membutuhkan sebuah komitmen yang lahir dari hasrat untuk mengisi, menambah, memperdalam dan memperluas pengetahuan. Semakin seseorang keranjingan membaca, semakin dia sadar banyak hal yang belum diketahuinya. Kehausan intelektual hanya menimpa pribadi-pribadi yang gemar membaca bacaan bermutu!
Secara tidak langsung kebiasaan membaca membuat seseorang semakin rendah hati. Daya refleksinya kian tajam. Ia mulai melihat hidup dari berbagai sisi. Sebuah keputusan yang akan diambil biasanya telah dipertimbangkan dengan matang. Ia sudah memperhitungkan untung rugi. Atau setidaknya, ia mampu memilah mana yang baik dan mana yang harus dihindari.
Demikian pula berbagai fenomena kehidupan dan persoalan kemanusiaan mudah dikupas, ditelaah dan diambil hikmahnya. Ia mudah merancang rekayasa sistem yang absurd menjadi sebuah ornamen kehidupan organisasi, keluarga, masyarakat, dan termasuk bangsa. Orang yang rajin membaca biasanya mulai mengkonstruksi budaya pikirnya, meretas filsafat hidup yang dianutnya dan mulai merumuskan tujuan hidupnya. Jangan kaget, rancang bangun peradaban kerap dimulai dengan tumbuhnya sebuah paradigma pemikiran baru. Semuanya diawali dengan kebiasaan membaca bacaan bermutu!
Sebaliknya, orang yang jarang membaca akan kehilangan daya imajinasi. Daya pikirnya kerdil, sempit dan terbatas. Sebab berbagai kategori pengetahuan dasar di bidang tertentu tidak “singgah” di benaknya. Meski banyak berbicara atau bercuap-cuap, jalan pikiran orang yang malas membaca sering meloncat-loncat dan tidak “berisi”. Alur bicaranya serampangan, tidak teratur dan membosankan lawan bicara. Karena topik pembicaraannya kerap tidak terarah. Bahkan, pengetahuan yang terbatas kerap membuat orang itu dengan amat mudah melihat kehidupan dalam dua pilihan: hitam atau putih. Padahal ada warna: hijau, merah, kuning, coklat, jingga, oranye, biru, abu-abu, dll.
Orang yang berjuang keras untuk selalu membaca setiap hari, setiap saat, atau setiap ada waktu luang, lebih mudah menulis dan menerangkan jalan pikirannya. Orang lain yang membacanya amat mudah menangkap isi hati atau pikiran terdalam si penulis. Bahkan, pembaca yang rajin menulis, lama-kelamaan akan menjadi seniman kata yang bisa menggugah perasaan pembaca lewat karya tulisnya.
Memang benar bahwa aktivitas membaca tidak serta merta mendatangkan uang dalam waktu sekejab. Sejarah telah menggariskan kebenarannya. Hanya orang yang rajin membacalah yang bisa menjadi pemimpin. Setidaknya kehadiran orang itu di sebuah lingkungan tempat tinggal “terlihat” berbeda. Tak heran, orang kaya sering menggaji orang yang gemar membaca untuk menjadi guru, tutor, pendamping bagi anak-anak mereka dalam mendalami bidang pengetahuan tertentu. Contoh terkini adalah figur Barack Obama yang gemar membaca dan menulis untuk menuangkan gagasannya sejak remaja.
Kisah-kisah hebat dan menakjubkan di masa lalu diketahui dan dipelajari lewat warisan naskah-naskah kuno yang ditemukan. Bahkan, ayat-ayat suci buku keagamaan yang diwariskan lintas generasi berasal dari papirus, lontar, atau prasasti. Begitu juga berbagai kearifan leluhur dan warisan pengetahuan pengobatan tradisional banyak dipelajari dari lontar-lontar tua. Sebuah bukti bahwa aktivitas menulis dan membaca adalah tiang penyangga peradaban sebuah masyarakat maupun eksistensi suatu institusi keagamaan.
Di negeri ini, aktivitas membaca sering dianggap sebagai aktivitas pengisi waktu kosong. Setidaknya hal ini bisa kita jumpai di ruang tunggu rumah sakit, loket terminal bus, atau di ruang tunggu bandar udara. Begitu juga di rumah, budaya membaca tergusur oleh budaya menonton sinetron.
Hal yang sungguh disayangkan minat membaca remaja kian menurun. Padahal, prasyarat dasar untuk meraih prestasi atau mencetak kualitas SDM mumpuni dimulai dengan kebiasaan membaca. Kita melihat cara berbahasa kaum remaja amat dipengaruhi oleh bahasa-bahasa iklan maupun sinetron.
Spirit baru kepahlawanan diretas dengan kesadaran menjadi bagian dari generasi pembaca. Membaca itu penting untuk makanan jiwa (otak). Membaca sebagai pengabdian kepada bangsa karena bagian dari proses menuju generasi yang cerdas dan berkualitas. Dan, membaca adalah ibadah karena karya-karya ilahi dikerjakan dengan penuh kesadaran oleh mereka yang tahu untuk apa mereka bernapas; bangun pagi-pagi dan tidur larut malam. Hidup harus berguna untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa. Hanya orang yang gemar membaca mudah menyerap saripati kehidupan yang tersembunyi.
KPO/EDISI 163/NOVEMBER 2008
Thanks for reading Menjadi Generasi Pembaca

0 komentar:

Posting Komentar