Lowongan CPNS selalu dibanjiri peminat. Semangat masyarakat mengikuti seleksi CPNS didorong oleh persepsi bahwa menjadi pegawai negeri masih identik dengan investasi masa depan yang cemerlang. Mereka tak lagi dirisaukan oleh ancaman PHK sebagaimana bekerja di instansi swasta.
“Penyakit” menjadi pegawai negeri yang diidap masyarakat mengindikasikan lemahnya independensi dan konfidensi mereka terhadap dirinya sendiri. Mereka belum sepenuhnya percaya bahwa dalam dirinya terdapat potensi yang menjanjikan untuk dikembangkan secara maksimal. Sehingga mereka belum berani unjuk gigi dengan mengatakan, “tanpa menjadi pegawai negeri pun, sebenarnya kami bisa mandiri”.
Akar dari fenomena ini tak lain adalah minimnya wawasan kewirausahaan dikembangkan dalam sektor pendidikan. Bukti bahwa mutu pendidikan kita memang kurang menggembirakan. Sehingga tidak mengejutkan bila Human Development Index (HDI) Indonesia menduduki peringkat 102 dari 106 negara yang disurvai. Survai The Political Economic Risk Consultation (PERC) menemukan bahwa mutu pendidikan Indonesia menempati posisi juru kunci dari 12 negara yang disurvai. Atau studi paling mutakhir yang dilakukan The Third International Mathematics and Science Study-Repeat (TIMSS-R) sekitar dua tahunan berjalan menemukan bahwa siswa SLTP Indonesia menempati peringkat 32 untuk IPA dan 34 untuk Matematika, dari 38 negara yang dikaji di Asia, Australia, dan Afrika.
Karena itu, mereformulasi konsep pendidikan berwawasan kewirausahaan (education concept of entrepreneurship) di masa depan adalah kebutuhan yang sangat mendesak. Dunia pendidikan harus mampu berperan aktif menyiapkan sumberdaya manusia terdidik yang siap menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Hingga demikian, peserta didik bukan hanya lihai menguasai seabrek teori-teori keilmuan, melainkan juga mampu mencari jalan keluar (problem solving) atas berbagai persoalan yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk mengaktualisasikan konsep ini, tidak bisa tidak orientasi pendidikan harus diarahkan pada pembentukan jiwa entrepreneurship, yakni jiwa yang penuh dengan muatan keberanian dan kemauan menghadapi problema hidup dan mencari solusi atas problema tersebut (Munawir Yusuf, 1997). Intinya, jiwa entrepreneurship adalah jiwa yang mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Dan, salah satu prasyarat utama ke arah ini adalah menumbuhkan mental kecakapan hidup (life skill mentality) terutama sejak usia dini.
Komentar: Saiful Amin Ghofur, Direktur Eksekutif Carpediem Institute Yogyakarta.
Koran Pak Oles/Edisi 164/Desember 2008
“Penyakit” menjadi pegawai negeri yang diidap masyarakat mengindikasikan lemahnya independensi dan konfidensi mereka terhadap dirinya sendiri. Mereka belum sepenuhnya percaya bahwa dalam dirinya terdapat potensi yang menjanjikan untuk dikembangkan secara maksimal. Sehingga mereka belum berani unjuk gigi dengan mengatakan, “tanpa menjadi pegawai negeri pun, sebenarnya kami bisa mandiri”.
Akar dari fenomena ini tak lain adalah minimnya wawasan kewirausahaan dikembangkan dalam sektor pendidikan. Bukti bahwa mutu pendidikan kita memang kurang menggembirakan. Sehingga tidak mengejutkan bila Human Development Index (HDI) Indonesia menduduki peringkat 102 dari 106 negara yang disurvai. Survai The Political Economic Risk Consultation (PERC) menemukan bahwa mutu pendidikan Indonesia menempati posisi juru kunci dari 12 negara yang disurvai. Atau studi paling mutakhir yang dilakukan The Third International Mathematics and Science Study-Repeat (TIMSS-R) sekitar dua tahunan berjalan menemukan bahwa siswa SLTP Indonesia menempati peringkat 32 untuk IPA dan 34 untuk Matematika, dari 38 negara yang dikaji di Asia, Australia, dan Afrika.
Karena itu, mereformulasi konsep pendidikan berwawasan kewirausahaan (education concept of entrepreneurship) di masa depan adalah kebutuhan yang sangat mendesak. Dunia pendidikan harus mampu berperan aktif menyiapkan sumberdaya manusia terdidik yang siap menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Hingga demikian, peserta didik bukan hanya lihai menguasai seabrek teori-teori keilmuan, melainkan juga mampu mencari jalan keluar (problem solving) atas berbagai persoalan yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk mengaktualisasikan konsep ini, tidak bisa tidak orientasi pendidikan harus diarahkan pada pembentukan jiwa entrepreneurship, yakni jiwa yang penuh dengan muatan keberanian dan kemauan menghadapi problema hidup dan mencari solusi atas problema tersebut (Munawir Yusuf, 1997). Intinya, jiwa entrepreneurship adalah jiwa yang mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Dan, salah satu prasyarat utama ke arah ini adalah menumbuhkan mental kecakapan hidup (life skill mentality) terutama sejak usia dini.
Komentar: Saiful Amin Ghofur, Direktur Eksekutif Carpediem Institute Yogyakarta.
Koran Pak Oles/Edisi 164/Desember 2008
0 komentar:
Posting Komentar