Home » » Tulisanku, Tombak Kemajuan Bangsaku

Tulisanku, Tombak Kemajuan Bangsaku

‘’Candu Itu Bernama Membaca’’
Oleh: Albert Kin Ose Moruk
fukafehan@yahoo.net.id

Adalah fakta bahwa sangat jarang terlihat, wisatawan Indonesia saat menikmati liburan wisata dapat membawa apalagi membaca sebuah buku. Adalah fakta bahwa jarang orang Indonesia naik bus antar kota antar propinsi atau antar kota dalam propinsi dapat membuka sebuah buku untuk dibaca. Adalah fakta bahwa sangat jarang tampak penumpang pesawat asal Indonesia dapat membaca buku saat berada di tempat duduk. Adalah fakta-fakta bahwa sangat jarang terlihat orang Indonesia sedang membaca buku kala menanti sebuah angkutan di terminal keberangkatan.
Memang sangat dan sangat langka panorama tersebut dapat disaksikan bagi yang sering bepergian keluar kota. Ada sedikit yang bisa membaca media cetak (harian, majalah, tabloid), selain utak-atik HP, berbicara, tertawa dan banyak yang tidur. Potret ini tidak hanya menghinggapi kaum terpelajar, juga para pendidik dan apalagi masyarakat umum.
Di Yogyakarta, awal November lalu, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar seminar Tulisanku, Tombak Kemajuan Bangsaku. Tampil sebagai pembicara antara lain; Hernowo Hasyim, Fadjroel Rachman, Marwan Asri dan Amien Rais. Sebagai pembicara kunci, Amien Rais yang juga Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UGM itu meminta agar generasi muda harus memperbanyak membaca dan setidaknya mampu menguasai salah satu bahasa asing untuk meluaskan wawasan dan menambah kearifan. ‘’Menjadi kaum intelektual, syaratnya adalah banyak-banyak membaca," tegas Amien.
Menurut Amien, membaca harus menjadi sebuah candu bagi kaum intelektual seperti kaum perokok yang akan merasa tidak nyaman bila sehari saja tidak mengisap rokok. ‘’Membaca seharusnya juga begitu. Jika sehari saja tidak membaca atau jika sampai dua minggu tidak membaca buku apapun, maka sebaiknya jadi petani saja,’’ katanya.
Pengertian membaca, lanjut Amien, tidak hanya membaca buku (reading materials) namun membaca gejala lingkungan termasuk di dalamnya gejala sosial, ekonomi dan politik yang tengah terjadi. Contoh beberapa figur pemimpin bangsa yang gemar membaca sehingga memiliki wawasan luas adalah Soekarno dan HOS Cokroaminoto.
Selain membaca dan menguasai bahasa asing, Amien menyatakan, menjadi intelektual muda juga harus dapat menyampaikan gagasan melalui tulisan yang mendasar pada logika sederhana yang disampaikan dalam bahasa yang mudah dimengerti. ‘’Banyak intelektual muda yang kurang bisa menulis. Mungkin ini disebabkan kurangnya motivasi. Dalam menulis, seorang penulis harus mampu menemukan inti masalah yang disampaikan sehingga dalam proses penulisan berjalan lancar. Kalau sedikit sok menggurui, itu tidak apa-apa,’’ ujarnya.
Sementara Hernowo Hasyim menegaskan, menulis justru menjadi jembatan untuk mengungkapkan pikiran dan menampakkan secara jelas dan tertata tentang apa yang ada di dalam diri seseorang. ‘’Mengungkapkan cerita yang ada dalam benak menjadi lebih mudah bila dibantu dengan kata-kata yang tertuang dalam tulisan atau menulis yang bercerita,’’ katanya.
Direktur Mizan Learning Center itu mengakui bahwa diri baru mulai menulis saat usia 40. Hasyim menilai, menulis yang bercerita belum dapat dilakukan dengan senang hati oleh masyarakat di Indonesia termasuk mahasiswa. Sifat tulisan yang sering dibebankan kepada mahasiswa adalah tulisan tentang hal-hal yang bersifat ilmiah, teknis dan rumit. ‘’Inilah masalahnya, mereka melewati fase menulis yang bercerita dan langsung menulis sesuatu yang ilmiah sehingga yang terjadi mereka cenderung benci menulis. Jika mereka suka, mereka belum bisa benar-benar menikmatinya,’’ ujar Hasyim.
Beberapa tokoh nasional yang telah bisa menulis yang bercerita antara lain RA Kartini dengan surat-suratnya yang diterbitkan sebagai buku Habis Gelap Terbitlah Terang, Ki Hajar Dewantara dengan buku Seandainya Aku Seorang Belanda, Mohamad Hatta dengan buku Alam Pikiran Yunani dan Buya Hamka dengan buku Tenggelamnya Kapal Van der Wijk. Disebutkan, hambatan yang juga dihadapi saat akan menulis adalah kurangnya perbendaharaan kata. Karena itu, membaca adalah salah satu cara yang bisa dilakukan untuk menambah perbendaharaan kata bagi penulis. Membaca dan menulis harus bisa dilakukan bersamaan, karena kegiatan yang satu akan turut mengefektifkan kegiatan lain.
Hal senada diungkap Dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Marwan Asri. Menurut Asri, kemampuan lisan dan tulisan harus saling mengimbangi. ‘’Kalau hanya berwujud lisan maka gaungnya besar tetapi tidak bertahan lama. Tetapi dalam tulisan yang diam dan tidak gegap gempita, bisa bertahan lama. Jika kedua kegiatan tersebut berjalan seiring, akan bisa menjadi nilai tambah pada kekuatan kaum muda untuk menulis,’’ ujarnya.
KPO/EDISI 163/NOVEMBER 2008
Thanks for reading Tulisanku, Tombak Kemajuan Bangsaku

0 komentar:

Posting Komentar