Oleh: Khozien*
Guru merupakan sosok manusia yang berberan mencetak generasi masa depan dan pengukir peradaban. Di tangan gurulah, nasib sebuah bangsa ini ditentukan. Begitu besar dan berat tanggung jawab yang harus dipikul seorang guru. Namun, ketika melihat berbagai fenomena yang terjadi pada saat sekarang, mampukah amanat tersebut diemban oleh guru?
Dalam perjalanan sejarah pendidikan di negeri ini, guru memiliki makna yang cukup luas dan komprehensif.
Istilah guru diberikan kepada siapapun yang mampu memberikan “pengajaran” terhadap masyarakat dan negara secara umum. Makna pengajaran di sini tidak hanya saja sebatas pengajaran baca-tulis, berhitung, atau ilmu-ilmu yang lainnya. Tetapi lebih universal, yakni siapapun yang mampu memberi pelajaran tentang bagaimana memahami hidup yang sesungguhnya.
Pelajaran tentang hidup terutama yang berkaitan dengan sikap, pola pikir, dan moralitas dalam menjalani kehidupan. Sangat jelas, peran guru tak ubahnya seperti rohaniwan yang dapat memberi solusi dalam segala persoalan. Dengan demikian, di tangan seorang gurulah, kedamaian dan keselarasan hidup mampu tercapai. Oleh karena itu, tak salah jika dalam pepatah Jawa, guru dikatakan sebagai sosok yang digugu (diteladani) dan ditiru.
Ketika dilihat dari fungsi guru dalam ranah masyarakat, maka guru idealnya harus mampu selalu tampil inspiratif dan penuh aura untuk memberi kebijakan bagi lingkungannya. Peran guru menjadi lebih penting dalam tatanan masyarakat yang masih kental dengan nilai-nilai dan tradisi. Tak aneh jika kemudian ada yang mengatakan, kalau tak ada guru, masyarakat menjadi apatis, arogan dan sebagainya. Di sinilah sangat tampak bahwa guru mampu menjadi motor penggerak untuk membangkitkan daya juang dalam masyarakat.
Ada tiga fungsi dasar seorang tenaga pendidik atau guru, yakni ing ngarso sung tuladha (di depan memberi contoh), ing madya mangun karso (di tengah memberi motivasi), dan tut wuri handayani (di belakang memberi semangat). Ketiganya merupakan kerangka dasar yang menjadi metode kerja seorang guru.(Ki Hajar Dewantara)
Tetapi seiring dengan perkembangan jaman, peran dan fungsi guru pun mengalami distorsi. Bahkan makna guru-pun juga kian mengalami penyempitan. Sekarang ini sosok guru hanya sebagai representasi dari seseorang yang mengajar di depan kelas. Atau lebih tepatnya orang yang bisa menyampaikan materi pelajaran sesuai tuntutan kurikulum.
Berbicara lebih jauh tentang penyempitan makna guru disini karena hilangnya ruang bagi guru untuk memberikan pendidikan moral bagi siswa-siswinya. Ketidak adaan ruang ini, lambat-laun mengubah pola dan cara perilaku guru. Sehingga, muncul persepsi dalam masyarakat secara umum, jika ingin menjadi guru, bekalnya hanya cukup dengan berbekal penguasaan disiplin ilmu yang telah mereka geluti. Ketika sosok Guru, telah terjadi penyempitan fungsi, maka peran guru hanya sebatas menyampaikan materi pelajaran. Apalagi kini beban seorang guru ditambah dengan tugas-tugas administratif lainnya.
Bukan hanya sebatas itu, pendidikan yang dijalankan guru dalam gedung-gedung persekolahan ternyata tidak memberikan solusi apa-apa. Pendidikan yang diberikan guru tidak mampu menyiapkan bangsa ini menjadi bangsa yang bermutu, sekaligus pendidikan juga gagal dalam memberdayakan bangsa untuk menghormati perbedan dan memecahkan pertikaian secara beradab.
Dengan sangat tegas, penulis ungkapkan bahwa pergeseran peran guru dari “pendidik” menjadi “pengajar” membawa dampak serius terhadap perkembangan sosio-kultural siswa. Dalam catatan forum diskusi sosial di Surabaya menunjukkan, kalau angka kejahatan yang dilakukan anak pada usia sekolah cenderung meningkat selama putaran tahun terakhir. Pendapat juga diperkuat dari catatan Direktur Reserse Kriminal Polda Jatim yang menyatakan bahwa angka kriminal di Jawa Timur yang dilakukan anak pada usia sekolah selalu mengalami peningkatan.
Kenyataan ini merupakan bukti bahwa moralitas siswa makin memprihatinkan. Seiring dengan kondisi tersebut, catatan lembaga independen pemantau pendidikan di Jawa Timur, dari sekian pelanggaran disiplin yang dilakukan pegawai negeri baik sipil maupun negeri, pelanggaran yang dilakukan guru terbilang paling banyak. Nah, dari data-data ini, pendidikan kita dapat disimpulkan dengan tiga kata: jelek, buruk dan memprihatinkan.
Apabila penulis analisis, fenomena merosotnya pendidikan adalah akibat dari cara pandang yang pragmatis terhadap kegiatan belajar-mengajar (KBM). Cara pandang yang pragmatis disini, katena mereka cenderung melihat peran guru sebatas mengajar. Menyampaikan materi pelajaran hingga dipahami siswa dan saat ujian akhir lulus seluruhnya. Padahal, cara pandang ini hanya membuat siswa tidak mandiri serta berorientasi pada hasil ujian semata tanpa peduli dengan proses yang ditempuh.
Sedangkan menurut para pakar pendidikan, kegiatan belajar-mengajar (KBM) seharusnya berorientasi pada proses. Di sinilah letak peran guru yang sebenarnya. Dengan menggunakan metode pendekatan keterampilan proses, seorang guru diharapkan mampu memberikan pelajaran moral terhadap siswanya. Disinilah letak peran guru sebagai pendidik. Memberikan teladan dan pelajaran moral pada siswa.
Sementara itu, munculnya kesadaran untuk menjadi guru yang ‘sebenarnya’ tidak didukung oleh perangkat dan mekanisme pengajaran yang memadai. Ambil contoh, terlalu banyak beban akademik yang diberikan kepada guru. Akibatnya, kurang ada ruang yang leluasa untuk sharing dengan siswa-siswinya dalam konteks pendidikan moral, di mana siswa dan guru mampu ‘duduk sejajar’ saling bertukar pikiran, membahas segala problema, dan guru mampu menjadi sosok yang solutif.
Rupanya, di tengah beban akademik yang cukup berat, ditambah model kurikulum yang selalu kontak ganti, guru dituntut mampu memberikan output yang bagus. Sayang, output tersebut sebatas kompetensi keilmuan semata tanpa disertai kompetensi moralitas yang bagus. Oleh karena itu, dalam momentum Hari Guru, 25 Nopember ini, sangat tepat kiranya apabila kita renungkan kembali arti atau peran guru terhadap siswa dan masyarakat pada umunnya. Mampukah guru menjadi penjaga moral?
*)Pustakawan kutub yang sekarang aktif di Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta (LKKY) dan menempuh studi di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Widya Wiwaha Yogyakarta.
Koran Pak Oles/Edisi 164/Desember 2008
Guru merupakan sosok manusia yang berberan mencetak generasi masa depan dan pengukir peradaban. Di tangan gurulah, nasib sebuah bangsa ini ditentukan. Begitu besar dan berat tanggung jawab yang harus dipikul seorang guru. Namun, ketika melihat berbagai fenomena yang terjadi pada saat sekarang, mampukah amanat tersebut diemban oleh guru?
Dalam perjalanan sejarah pendidikan di negeri ini, guru memiliki makna yang cukup luas dan komprehensif.
Istilah guru diberikan kepada siapapun yang mampu memberikan “pengajaran” terhadap masyarakat dan negara secara umum. Makna pengajaran di sini tidak hanya saja sebatas pengajaran baca-tulis, berhitung, atau ilmu-ilmu yang lainnya. Tetapi lebih universal, yakni siapapun yang mampu memberi pelajaran tentang bagaimana memahami hidup yang sesungguhnya.
Pelajaran tentang hidup terutama yang berkaitan dengan sikap, pola pikir, dan moralitas dalam menjalani kehidupan. Sangat jelas, peran guru tak ubahnya seperti rohaniwan yang dapat memberi solusi dalam segala persoalan. Dengan demikian, di tangan seorang gurulah, kedamaian dan keselarasan hidup mampu tercapai. Oleh karena itu, tak salah jika dalam pepatah Jawa, guru dikatakan sebagai sosok yang digugu (diteladani) dan ditiru.
Ketika dilihat dari fungsi guru dalam ranah masyarakat, maka guru idealnya harus mampu selalu tampil inspiratif dan penuh aura untuk memberi kebijakan bagi lingkungannya. Peran guru menjadi lebih penting dalam tatanan masyarakat yang masih kental dengan nilai-nilai dan tradisi. Tak aneh jika kemudian ada yang mengatakan, kalau tak ada guru, masyarakat menjadi apatis, arogan dan sebagainya. Di sinilah sangat tampak bahwa guru mampu menjadi motor penggerak untuk membangkitkan daya juang dalam masyarakat.
Ada tiga fungsi dasar seorang tenaga pendidik atau guru, yakni ing ngarso sung tuladha (di depan memberi contoh), ing madya mangun karso (di tengah memberi motivasi), dan tut wuri handayani (di belakang memberi semangat). Ketiganya merupakan kerangka dasar yang menjadi metode kerja seorang guru.(Ki Hajar Dewantara)
Tetapi seiring dengan perkembangan jaman, peran dan fungsi guru pun mengalami distorsi. Bahkan makna guru-pun juga kian mengalami penyempitan. Sekarang ini sosok guru hanya sebagai representasi dari seseorang yang mengajar di depan kelas. Atau lebih tepatnya orang yang bisa menyampaikan materi pelajaran sesuai tuntutan kurikulum.
Berbicara lebih jauh tentang penyempitan makna guru disini karena hilangnya ruang bagi guru untuk memberikan pendidikan moral bagi siswa-siswinya. Ketidak adaan ruang ini, lambat-laun mengubah pola dan cara perilaku guru. Sehingga, muncul persepsi dalam masyarakat secara umum, jika ingin menjadi guru, bekalnya hanya cukup dengan berbekal penguasaan disiplin ilmu yang telah mereka geluti. Ketika sosok Guru, telah terjadi penyempitan fungsi, maka peran guru hanya sebatas menyampaikan materi pelajaran. Apalagi kini beban seorang guru ditambah dengan tugas-tugas administratif lainnya.
Bukan hanya sebatas itu, pendidikan yang dijalankan guru dalam gedung-gedung persekolahan ternyata tidak memberikan solusi apa-apa. Pendidikan yang diberikan guru tidak mampu menyiapkan bangsa ini menjadi bangsa yang bermutu, sekaligus pendidikan juga gagal dalam memberdayakan bangsa untuk menghormati perbedan dan memecahkan pertikaian secara beradab.
Dengan sangat tegas, penulis ungkapkan bahwa pergeseran peran guru dari “pendidik” menjadi “pengajar” membawa dampak serius terhadap perkembangan sosio-kultural siswa. Dalam catatan forum diskusi sosial di Surabaya menunjukkan, kalau angka kejahatan yang dilakukan anak pada usia sekolah cenderung meningkat selama putaran tahun terakhir. Pendapat juga diperkuat dari catatan Direktur Reserse Kriminal Polda Jatim yang menyatakan bahwa angka kriminal di Jawa Timur yang dilakukan anak pada usia sekolah selalu mengalami peningkatan.
Kenyataan ini merupakan bukti bahwa moralitas siswa makin memprihatinkan. Seiring dengan kondisi tersebut, catatan lembaga independen pemantau pendidikan di Jawa Timur, dari sekian pelanggaran disiplin yang dilakukan pegawai negeri baik sipil maupun negeri, pelanggaran yang dilakukan guru terbilang paling banyak. Nah, dari data-data ini, pendidikan kita dapat disimpulkan dengan tiga kata: jelek, buruk dan memprihatinkan.
Apabila penulis analisis, fenomena merosotnya pendidikan adalah akibat dari cara pandang yang pragmatis terhadap kegiatan belajar-mengajar (KBM). Cara pandang yang pragmatis disini, katena mereka cenderung melihat peran guru sebatas mengajar. Menyampaikan materi pelajaran hingga dipahami siswa dan saat ujian akhir lulus seluruhnya. Padahal, cara pandang ini hanya membuat siswa tidak mandiri serta berorientasi pada hasil ujian semata tanpa peduli dengan proses yang ditempuh.
Sedangkan menurut para pakar pendidikan, kegiatan belajar-mengajar (KBM) seharusnya berorientasi pada proses. Di sinilah letak peran guru yang sebenarnya. Dengan menggunakan metode pendekatan keterampilan proses, seorang guru diharapkan mampu memberikan pelajaran moral terhadap siswanya. Disinilah letak peran guru sebagai pendidik. Memberikan teladan dan pelajaran moral pada siswa.
Sementara itu, munculnya kesadaran untuk menjadi guru yang ‘sebenarnya’ tidak didukung oleh perangkat dan mekanisme pengajaran yang memadai. Ambil contoh, terlalu banyak beban akademik yang diberikan kepada guru. Akibatnya, kurang ada ruang yang leluasa untuk sharing dengan siswa-siswinya dalam konteks pendidikan moral, di mana siswa dan guru mampu ‘duduk sejajar’ saling bertukar pikiran, membahas segala problema, dan guru mampu menjadi sosok yang solutif.
Rupanya, di tengah beban akademik yang cukup berat, ditambah model kurikulum yang selalu kontak ganti, guru dituntut mampu memberikan output yang bagus. Sayang, output tersebut sebatas kompetensi keilmuan semata tanpa disertai kompetensi moralitas yang bagus. Oleh karena itu, dalam momentum Hari Guru, 25 Nopember ini, sangat tepat kiranya apabila kita renungkan kembali arti atau peran guru terhadap siswa dan masyarakat pada umunnya. Mampukah guru menjadi penjaga moral?
*)Pustakawan kutub yang sekarang aktif di Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta (LKKY) dan menempuh studi di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Widya Wiwaha Yogyakarta.
Koran Pak Oles/Edisi 164/Desember 2008
Kegagalan pendidikan di Indonesia, tidak hanya disebabkan oleh peran guru, akan tetapi banyak sekali faktor yang menyebabkan moral anak didik menjadi merosot. Lingkungan anak sangat besar perannya akan perkembangan anak itu sendiri.
BalasHapusAdapun faktor tersebut juga dipengaruhi terhadap lingkungan sekitar, seperti halnya, tayangan televisi, banyak hal yang tidak seharusnya dikonsumsi oleh anak usia belajar, tayangan tersebut tidak mencerminkan budaya Indonesia, tapi sudah tercampur oleh budaya asing,dalam hal ini kebijakan pemerintah masih lemah dalam menyeleksi tayangan televisi,
Peran serta orang tua dalam pendidikan juga sangat besar, karena anak didik lebih banyak menghabisakan waktu bersama orang tua dibandingkan di sekolah. Banyak di lapangan orang tua yang sibuk bekerja kurang menghiraukan pendidikan anaknya,
Dalam memberikan suatu pendapat atau opini, kita tidak boleh memandang terlalu sempit dan data yang seminim mungkin. Beberapa sekolah sudah menerapkan moralitas terhadap anak didik sejak dahulu, meskipun dalam kurikulum tidak ada.
contohnya,
1. Siswa setiap bertemu dengan gurunya, selalu mencium tangan gurunya,
2. Bagi siswa beragama islam, setiap seminggu sekali diadakan sholat dhuhur bersama,
3. Guru juga mengaitkan ilmu pengetahuan dengan kehidupan sehari-hari, contohnya : dalam memupuk nasionalisme, anak-anak diperdengarkan Lagu-lagu Nasional sebelum bel masuk, dan guru memberikan beberapa cerita sejarah perjuangan para pahlawan untuk menumbuhkan semangat anak didik dalam mempertahankan kemerdekaan 5 menit sebelum pelajaran dimulai,
4. dan masih banyak contoh yang lainnya,
e-mail kami,
a_achomadin@yahoo.co.id