Home » » Buktikan Janjimu Hai Pemimpin

Buktikan Janjimu Hai Pemimpin

Oleh : Pak Oles
Di zaman yang serba gonjang-ganjing ini, hidup di negeri Indonesia semakin susah. Yang dimaksud dengan kemiskinan sudah semakin tidak dimengerti oleh pemimpin dan orang kaya, karena mereka sudah terbiasa. Kelompok masyarakat miskin sudah terbiasa hidup miskin, dan kelompok masyarakat kaya sudah terbiasa hidup kaya. Kalau ada kelompok masyarakat yang menganggap hidupnya miskin, dan kemiskinan itu bisa diturunkan seperti genetik, tentu ada sebabnya. Pemimpin mungkin bingung mengenyahkan penyebabnya, karena kadang-kadang kemiskinan itu juga diperlukan untuk bisa dibuat proyek oleh pemimpin.

Dalam jangka pendek mungkin bantuan kemiskinan itu bisa diberikan secara langsung oleh pemerintah, tetapi sampai kapan pemerintah bisa dan sanggup memberikan bantuan langsung itu. Bukan bantuan ecek-ecek itu yang diharapkan untuk menolong masyarakat miskin, tetapi bagaimana tercipta lapangan pekerjaan dan mengurangi pengangguran. Dengan cara demikian kemiskinan akan berkurang.

Bolehlah kita sebagai masyarakat awam bertanya, kenapa sekelompok masyarakat bisa miskin. Dan tentunya saya mencoba menjawab sendiri. Apakah kemiskinan timbul karena kemalasan? Belum tentu. Karena banyak kelompok masyarakat miskin harus bekerja sangat keras dan rajin untuk bertahan hidup. Apakah masyarakat miskin tumbuh karena mereka tidak berpendidikan atau bodoh? Ya. Karena tidak ada orang bodoh hidupnya kaya, dan tidak ada orang pintar hidupnya miskin. Apakah masyarakat miskin hidupnya karena terpencil atau terisolasi? Ya. Karena hidupnya yang terisolasi dan terpencil itulah yang membuat mereka menjadi miskin.

Kenapa hidup jadi miskin? Jawabannya bisa jadi banyak dan bisa dikombinasikan, sehingga menjadi semakin banyak, yaitu: karena malas, sakit, judi, serakah, bodoh, kondisi alam kritis, terisolasi, dan masih banyak lagi penyebabnya. Apakah masyarakat miskin bisa dibantu dengan bantuan langsung tunai seratus ribu rupiah per bulan? Pasti jawabannya tidak bisa. Mungkin bantuan senilai itu cukup untuk hidup lima hari sekeluarga dalam taraf hidup orang miskin.

Pemimpin yang mengaku peduli terhadap pengentasan kemiskinan ternyata belum peduli, atau dalam bahasa spiritualnya belum memiliki rasa, mungkin karena dia belum pernah menjalani hidup sebagai orang miskin. Betapa sakitnya hidup miskin perlu juga dirasakan secara lahir batin oleh pemimpin, sehingga mereka bisa cepat dan tanggap untuk mencari jalan keluar, yaitu bagaimana agar bisa membantu masyarakat lepas dari belitan kemiskinan. Kemiskinan ibarat penyakit kanker yang harus dibongkar penyebabnya dan dicari obatnya. Bukan seperti memberi obat sakit kepala bagi penderita kanker, yang hanya memberikan kesembuhan sesaat, padahal sakitnya masih sangat parah.

Berkali-kali pemilu diadakan secara berkala. Setiap lima tahun caleg (calon legislatif) dan juga capres (calon presiden) menjual kemiskinan sebagai produk yang perlu diselesaikan dan dicabut akarnya. Akan tetapi, setelah mereka itu duduk menjabat sebagai anggota DPRD, DPR, menteri, kepala dinas, bupati, gubernur atau presiden justru mereka lupa akan produk jualannya. Memang melupakan janji itu gampang, bahkan sangat gampang. Lupa bisa dilakukan secara berpura-pura atau benar-benar lupa.

Untuk saling mengingatkan, pemimpin antar lawan politik, antara yang dikalahkan dan yang mengalahkan bisa saling bersilat lidah agar masyarakat tetap lupa dan juga tetap ingat akan janji pemimpin yang sudah diikrarkan, yaitu: mengentaskan kemiskinan. Pemimpin yang satu dituduh memakai jurus poco-poco, karena masyarakat tetap di tempat kemiskinan walaupun pejabat sudah sibuk bergerak. Pemimpin yang lain dibilang memakai jurus tebar pesona, karena pemimpin itu terlihat ikhlas membantu mengentaskan kemiskinan, padahal tujuannya adalah untuk bisa terpilih di pemilu nanti, dan hasilnya tetap saja masyarakat miskin. Pemimpin yang lain dibilang memakai jurus undur-undur, yaitu sejenis serangga yang terbangnya mundur, karena masyarakat miskin jumlahnya bertambah banyak semakin tahun, artinya kesejahteraan masyarakat semakin mundur.

Jika antar pemimpin saling menyalahkan mungkin masyarakat menjadi bingung. Memang itu jurus yang paling ampuh untuk melempar tanggung jawab, yaitu dengan membuat semua bingung. Apakah tidak ada jurus yang lain? Mungkin tidak ada. Budaya tidak tahu malu dan pengecut memang masih mendarah daging di dalam tubuh pemimpin. Semuanya itu membuat masyarakat muak, sakit perut karena terlalu sering muntah. Mereka sakit hati karena terlalu sering ditipu. Mereka tidak bisa tidur karena selalu menunggu janji-janji palsu pemimpin.

Saat menjelang pemilu, jumlah partai dan jumlah caleg tumbuh ibarat jamur di musim hujan, semuanya dengan visi dan misi yang sama, hanya kalimatnya saja lain, yaitu: untuk menciptakan kesejahteraan rakyat, mengubur kemiskinan. Semuanya itu dibungkus dengan bahasa mantap dan puitis, retorika, patriotis, dengan foto cerah terpampang di baliho jalanan, berwajah tulus, rendah hati, dan tatapan mata bersemangat memperjuangkan nasib masyarakat, agar bebas dari kemiskinan. Apakah masyarakat percaya dengan model bunglon itu?

Saya yakin tidak. Kenapa? Karena janjinya telah membikin hatinya muak dan sakit hati. Masyarakat bertanya, kenapa janji yang dulu belum kau tepati tapi kau tega berjanji lagi? Masyarakat menjadi apatis dan pragmatis, ogah-ogahan, patah semangat dan ingin cepat panen. Masyarakat berpikir, “Boleh kau berjanji, tapi bayar tanda jadi dulu dong! Ada hal yang harus diingat, tanda jadi itu juga belum berarti aku memilih kau. Soalnya janji kamu palsu sih! Perutku mules makan janji –janji busukmu!”

Lantas apa mau dikata? Masyarakat kita sakit karena pemimpinnya sakit. Pemimpin yang sakit muncul dari masyarakat yang sakit. Ibarat ayam dan telor, mana yang lebih dulu? Diantara telor-telor yang busuk dan prematur masih bisa dipilih yang baik untuk bisa melahirkan anak ayam yang baik. Demikian juga di antara masyarakat yang sakit masih ada juga masyarakat yang sehat. Dari sanalah harapan kita untuk bisa melahirkan pemimpin yang baik. Kesadaran itulah yang harus dimunculkan. Kesadaran masyarakat akan kemampuannya melahirkan pemimpin yang baik, dan ketidaksadaran masyarakat untuk bisa melahirkan pemimpin yang buruk.

Nasib suatu bangsa ada di tangan pemimpinnya. Maka hati-hatilah memilih pemimpin, yang bukan hanya berjanji, tetapi terbukti dalam karya, yaitu mengentaskan kemiskinan, mewujudkan kesejahteraan rakyat dan kemandirian bangsa, yang bukan asal omong dan asal nampang! Memang banyak yang mau menjadi pemimpin, tapi belum tentu mereka sadar, tahu, mampu, dan bertanggung jawab. Semoga selamat dan sukses menjalani pemilu 2009.
Koran Pak Oles/Edisi 164/Desember 2008
Thanks for reading Buktikan Janjimu Hai Pemimpin

0 komentar:

Posting Komentar