Oleh: Qodrat Asyraf R*
Angka kemiskinan Indonesia mencapai angka 20% atau sekitar 40 juta jiwa. Pengangguran masih dilihat sebagai penyebab utama kemiskinan. Ironisnya angkatan pengangguran sebagian kalangan terdidik atau berijasah sarjana. Penggangguran terididik di Jawa Timur saja mencapai angka 9,9%. Angka itu kebanyakan dihuni oleh lulusan SMA (Jawa Pos, 13/12/2007). Apakah ini merupakan bukti kegagalan pendidikan SMA? Tentu tidak. Sebab orientasi pendidikan SMA adalah menyiapkan siswa ke jenjang perguruan tinggi. Namun masih ada sekolah kejuruan setingkat SMA yaitu sekolah menengah kejuruan (SMK) yang mencetak siswa dengan ketrampilan khusus dan siap diserap lapangan kerja. Sayangnya sebagian besar lulusan SMK masih ikut menyumbang angka pengangguran.
Menurut John W. Santrock, sekolah memegang peran yang cukup penting bagi perkembangan intelektual, ketrampilan sosial, dan menunjang dunia profesi yang ingin kita geluti. Ada tiga terobosan menata kualitas dan eksistensi SMK. Pertama, mereformasi kurikulum. Kenapa SMK kurang mampu menarik minat kebanyakan anak lulusan SMP? Banyak siswa lebih memilih ke SMA, padahal hanya 30-40% saja yang mampu untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Setidaknya ada 60% siswa berpotensi untuk menambah angka pengangguran. Apakah kelemahannya karena tidak adanya jaminan lulusan SMK mampu berkompetisi di dunia kerja? Kurikulum SMK masih belum mampu mengimbangi cepatnya perkembangan dunia kerja. Menakertans Erman Suparno meminta sekolah-sekolah agar segera merapat ke dunia industri guna mempersiapkan tenaga kerja yang siap pakai layak diapresiasi sebagai acuan kurikulum yang berotonomi. Apabila di kota X banyak industri sepatu mestinya SMK X ada jurusan pembuatan sepatu. Jika kota Y terdapat pariwisata, maka SMK Y juga ada jurusan pariwisata.
Kedua, saatnya SMK mere-branding diri. Dalam dunia marketing menurut Kotler ditegaskan bahwa kepuasan pelanggan adalah hal terpenting untuk menuju repeat purchase (pembelian kembali) yang apabila itu berlangsung terus menerus maka terciptalah konsumen yang loyal.
Di sini sekolah dapat dikelompokkan dalam industri jasa. Usaha pertama kali adalah menarik konsumen lewat promosi branding dan services. Brand adalah meningkatkan nilai produk dari segi emotional. Sedangkan faktor penting rebranding “produk” SMK adalah kepuasan user. Sebuah SMK harus mampu memberikan sevices yang baik untuk menjaga kualitas lulusannya. Sehingga baik orang tua-siswa sebagai users maupun dunia industri sebagai penerima out put sekolah akan meminta jaminan mutu lulusan.
Dalam prinsip pengendalian mutu kita mengenal 1) conformance to requirements (sesuai dengan persyaratan) yang sudah ada. Dalam hal ini adalah permintaan standar mutu dari pelaku industri. 2) Melakukan usaha-usaha untuk meminimalkan resiko dalam memenuhi persyaratan. 3) Komitmen untuk memenuhi persyaratan yang sudah ditetapkan di awal. Dan, 4) sadar dengan adanya price of nonconformance adalah harga yang akan dibayar apabila gagal memenuhi standar baik segi biaya dan waktu semisal akan memberikan training tambahan bagi lulusannya yang belum mencapai standar. Dengan begitu reformasi kurikulum memudahkan sebuah SMK “memasarkan” lulusannya ke bursa dunia industri.
Ketiga, revitalisasi fungsi Bimbingan Konseling (BK) SMP. Tidak dapat dipungkiri lagi pilihan pendidikan menengah atas sangat tergantung pada pendidikan menengah pertama. Kurangnya pemahaman kepada siswa tentang berbagai pilihan lanjut setelah lulus SMP meliputi macam jalur studi atau persiapan dunia kerja akan mengakibatkan siswa keliru dalam memilih. Siswa yang ingin langsung bekerja tentu jangan memilih SMA. Atau sebaliknya jika ingin kuliah disarankan ke SMA.
Untuk memilih jalur studi lanjut yang tepat, peran Bimbingan Konseling sangat penting membantu, membimbing, dan memfasilitasi siswa dan orang tua siswa dalam menentukan sekolah menengah umum atau kejuruan. Sebab tidak sedikit orangtua yang memiliki pemahaman keliru tentang SMK. Ada orangtua yang menganggap anaknya akan memiliki masa depan cerah bila masuk SMA disbanding bersekolah di SMK.
BK SMP akan kesulitan melaksanakan branding SMK apabila reposisi SMK tidak berubah. Alvin Tofler telah mengatakan bahwa buta huruf abad 21 bukan lagi tidak bisa baca dan tulis namun yang tidak mampu belajar, tidak belajar, dan tidak kembali belajar. Semoga kita terus belajar dari pengalaman.
*) Peneliti LKAS (Lembaga Kajian Agama dan Sosial) Surabaya
Angka kemiskinan Indonesia mencapai angka 20% atau sekitar 40 juta jiwa. Pengangguran masih dilihat sebagai penyebab utama kemiskinan. Ironisnya angkatan pengangguran sebagian kalangan terdidik atau berijasah sarjana. Penggangguran terididik di Jawa Timur saja mencapai angka 9,9%. Angka itu kebanyakan dihuni oleh lulusan SMA (Jawa Pos, 13/12/2007). Apakah ini merupakan bukti kegagalan pendidikan SMA? Tentu tidak. Sebab orientasi pendidikan SMA adalah menyiapkan siswa ke jenjang perguruan tinggi. Namun masih ada sekolah kejuruan setingkat SMA yaitu sekolah menengah kejuruan (SMK) yang mencetak siswa dengan ketrampilan khusus dan siap diserap lapangan kerja. Sayangnya sebagian besar lulusan SMK masih ikut menyumbang angka pengangguran.
Menurut John W. Santrock, sekolah memegang peran yang cukup penting bagi perkembangan intelektual, ketrampilan sosial, dan menunjang dunia profesi yang ingin kita geluti. Ada tiga terobosan menata kualitas dan eksistensi SMK. Pertama, mereformasi kurikulum. Kenapa SMK kurang mampu menarik minat kebanyakan anak lulusan SMP? Banyak siswa lebih memilih ke SMA, padahal hanya 30-40% saja yang mampu untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Setidaknya ada 60% siswa berpotensi untuk menambah angka pengangguran. Apakah kelemahannya karena tidak adanya jaminan lulusan SMK mampu berkompetisi di dunia kerja? Kurikulum SMK masih belum mampu mengimbangi cepatnya perkembangan dunia kerja. Menakertans Erman Suparno meminta sekolah-sekolah agar segera merapat ke dunia industri guna mempersiapkan tenaga kerja yang siap pakai layak diapresiasi sebagai acuan kurikulum yang berotonomi. Apabila di kota X banyak industri sepatu mestinya SMK X ada jurusan pembuatan sepatu. Jika kota Y terdapat pariwisata, maka SMK Y juga ada jurusan pariwisata.
Kedua, saatnya SMK mere-branding diri. Dalam dunia marketing menurut Kotler ditegaskan bahwa kepuasan pelanggan adalah hal terpenting untuk menuju repeat purchase (pembelian kembali) yang apabila itu berlangsung terus menerus maka terciptalah konsumen yang loyal.
Di sini sekolah dapat dikelompokkan dalam industri jasa. Usaha pertama kali adalah menarik konsumen lewat promosi branding dan services. Brand adalah meningkatkan nilai produk dari segi emotional. Sedangkan faktor penting rebranding “produk” SMK adalah kepuasan user. Sebuah SMK harus mampu memberikan sevices yang baik untuk menjaga kualitas lulusannya. Sehingga baik orang tua-siswa sebagai users maupun dunia industri sebagai penerima out put sekolah akan meminta jaminan mutu lulusan.
Dalam prinsip pengendalian mutu kita mengenal 1) conformance to requirements (sesuai dengan persyaratan) yang sudah ada. Dalam hal ini adalah permintaan standar mutu dari pelaku industri. 2) Melakukan usaha-usaha untuk meminimalkan resiko dalam memenuhi persyaratan. 3) Komitmen untuk memenuhi persyaratan yang sudah ditetapkan di awal. Dan, 4) sadar dengan adanya price of nonconformance adalah harga yang akan dibayar apabila gagal memenuhi standar baik segi biaya dan waktu semisal akan memberikan training tambahan bagi lulusannya yang belum mencapai standar. Dengan begitu reformasi kurikulum memudahkan sebuah SMK “memasarkan” lulusannya ke bursa dunia industri.
Ketiga, revitalisasi fungsi Bimbingan Konseling (BK) SMP. Tidak dapat dipungkiri lagi pilihan pendidikan menengah atas sangat tergantung pada pendidikan menengah pertama. Kurangnya pemahaman kepada siswa tentang berbagai pilihan lanjut setelah lulus SMP meliputi macam jalur studi atau persiapan dunia kerja akan mengakibatkan siswa keliru dalam memilih. Siswa yang ingin langsung bekerja tentu jangan memilih SMA. Atau sebaliknya jika ingin kuliah disarankan ke SMA.
Untuk memilih jalur studi lanjut yang tepat, peran Bimbingan Konseling sangat penting membantu, membimbing, dan memfasilitasi siswa dan orang tua siswa dalam menentukan sekolah menengah umum atau kejuruan. Sebab tidak sedikit orangtua yang memiliki pemahaman keliru tentang SMK. Ada orangtua yang menganggap anaknya akan memiliki masa depan cerah bila masuk SMA disbanding bersekolah di SMK.
BK SMP akan kesulitan melaksanakan branding SMK apabila reposisi SMK tidak berubah. Alvin Tofler telah mengatakan bahwa buta huruf abad 21 bukan lagi tidak bisa baca dan tulis namun yang tidak mampu belajar, tidak belajar, dan tidak kembali belajar. Semoga kita terus belajar dari pengalaman.
*) Peneliti LKAS (Lembaga Kajian Agama dan Sosial) Surabaya
0 komentar:
Posting Komentar