Citra umat Islam ke depan perlu diperbaiki, lebih santun dan berpenampilan menarik. Hal tersebut menjadi tugas umat Islam di masa mendatang untuk menampilkan wajah Islam yang lebih simpatik, lebih santun, elegan dan demokratis. Demikian diungkapkan Ketua umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Pamekasan, Madura, Jawa Timur, Sulaisi Abdurrazak kepada Antara.
"Kasus bom Bali yang dilakukan oleh Amrozi CS telah menyebabkan wajah Islam tampil dengan garang. Seolah-olah Islam membenarkan adanya kekerasan atas nama jihad. Padahal Islam agama yang santun dan penuh kedamaian," kata Sulaisi, di Pamekasan, Minggu (9/11).
Tragedi bom Bali I yang menewaskan sebanyak 202 beberapa waktu lalu, seolah membenarkan anggapan masyarakat internasional terutama yang non-Islam, bahwa agama yang disampaikan Nabi Muhammad SAW pada 14 abad yang lalu itu, adalah agama yang identik dengan kekerasan. Padahal semua itu sama sekali bukan ajaran Islam.
Sesuai dengan kata dasarnya "Islam" adalah agama yang cinta damai dan membawa keselamatan bagi seluruh umat manusia. Meskipun ada perintah bahkan ada sebagian kalangan menganggap jihad kewajiban, cara yang diperintahkan menurut Islam adalah dengan cara yang santun (bil-mauidzatil hasanah) dan berdialog (mujadalah).
"Jika orang Islam sendiri tidak bisa menjalankan metode dakwah Islamiah secara Islami, maka jangan salahnya jika ada anggapan bahwa Islam adalah agama tidak toleran dan disyiarkan dengan jalan kekerasan sebagaimana telah dilakukan Amrozi CS itu," katanya.
Lanjut Sulaisi, hal yang perlu dilakukan umat Islam di masa yang akan datang adalah bagaimana menampilkan wajah Islam yang lebih simpatik, lebih santun, elegan dan demokratis.
"Secara universal Islam memang satu. Yakni ajaran yang disampaikan Allah melalui Rasulnya, Muhammad. Tapi bentuk dan pemahamannya berbeda-beda. Paling tidak ke depan, kita perlu memiliki pandangan sama bahwa Islam kita adalah Islam yang meng-Indonesia. Artinya, dalam menerapkan `amar makruf nahi munkar` tentunya harus melihat konteks sosial budaya yang ada di Indonesia, bukan Mesir atau Arab Saudi," katanya.
Tetapi, ia juga menduga bahwa cara-cara kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok umat Islam semisal Amrozi CS itu sebagai bagian dari konspirasi global dunia barat terhadap Islam.
"Saya curiga kekerasan yang terjadi dan dilakukan oleh segelintir umat Islam akhir-akhir ini, karena memang dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang menginginkan Islam tampil dengan citra negatif. Musuh barat pasca perang dingin sebagaimana dinyatakan analis Samuel Huntington kan Islam," ujarnya.
Sementara pernyataan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Masdar Farid Mas`udi bahwa tindakan sejumlah kalangan yang mengelu-elukan pelaku Bom Bali I, yang telah dieksekusi yakni Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudra sebagai mujahid (pejuang di jalan Allah), merupakan tindakan salah kaprah.
Kepada wartawan di Jakarta, Senin (10/11), Masdar mengatakan, boleh jadi Amrozi, Mukhlas, dan Imam bercita-cita agar Islam dan umat Islam dihormati dunia, terutama kalangan Barat, namun cara yang ditempuh ketiganya tidak tepat. "Jelas tidak masuk akal jika untuk mencapai kehormatan hanya ditempuh dengan modal teriakan Allahu Akbar dan bahan peledak," katanya.
Justru, kata Masdar, tindakan teroristik semacam itu malah semakin menyudutkan Islam. Kalangan non-Islam akan semakin sangsi bahwa Islam merupakan agama yang mengajarkan kedamaian.
Menurut Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) itu, cara membangun martabat Islam adalah dengan membangun kesejahteraan, kecerdasan dan keluhuran akhlak umatnya. "Jika ini dimiliki, tanpa teriak-teriak maupun ledakan bom, dunia akan menghormati kita. Inilah tanggung jawab segenap pemimpin umat dan negara-negara Islam," katanya.
Terorisme yang menjadi paham para pelaku teror seperti Amrozi dan kawan-kawan merupakan ekses dari pemahaman agama yang literalistik, kondisi kemiskinan yang terjadi, dan pengaruh situasi global yang terjadi di negara-negara Islam. Ekstremisme pemahaman berbuntut pada tindakan radikalisme. Semua dinilai hitam-putih. Paham literalistik bukan monopoli agama, melainkan juga ideologi lainnya, seperti sosialisme, kapitalisme, ataupun ideologi Pancasila," kata intelektual Nahdlatul Ulama Masdar Farid Mas`udi, seperti dikutip Media Indonesia.
KPO/EDISI 163/NOVEMBER 2008
"Kasus bom Bali yang dilakukan oleh Amrozi CS telah menyebabkan wajah Islam tampil dengan garang. Seolah-olah Islam membenarkan adanya kekerasan atas nama jihad. Padahal Islam agama yang santun dan penuh kedamaian," kata Sulaisi, di Pamekasan, Minggu (9/11).
Tragedi bom Bali I yang menewaskan sebanyak 202 beberapa waktu lalu, seolah membenarkan anggapan masyarakat internasional terutama yang non-Islam, bahwa agama yang disampaikan Nabi Muhammad SAW pada 14 abad yang lalu itu, adalah agama yang identik dengan kekerasan. Padahal semua itu sama sekali bukan ajaran Islam.
Sesuai dengan kata dasarnya "Islam" adalah agama yang cinta damai dan membawa keselamatan bagi seluruh umat manusia. Meskipun ada perintah bahkan ada sebagian kalangan menganggap jihad kewajiban, cara yang diperintahkan menurut Islam adalah dengan cara yang santun (bil-mauidzatil hasanah) dan berdialog (mujadalah).
"Jika orang Islam sendiri tidak bisa menjalankan metode dakwah Islamiah secara Islami, maka jangan salahnya jika ada anggapan bahwa Islam adalah agama tidak toleran dan disyiarkan dengan jalan kekerasan sebagaimana telah dilakukan Amrozi CS itu," katanya.
Lanjut Sulaisi, hal yang perlu dilakukan umat Islam di masa yang akan datang adalah bagaimana menampilkan wajah Islam yang lebih simpatik, lebih santun, elegan dan demokratis.
"Secara universal Islam memang satu. Yakni ajaran yang disampaikan Allah melalui Rasulnya, Muhammad. Tapi bentuk dan pemahamannya berbeda-beda. Paling tidak ke depan, kita perlu memiliki pandangan sama bahwa Islam kita adalah Islam yang meng-Indonesia. Artinya, dalam menerapkan `amar makruf nahi munkar` tentunya harus melihat konteks sosial budaya yang ada di Indonesia, bukan Mesir atau Arab Saudi," katanya.
Tetapi, ia juga menduga bahwa cara-cara kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok umat Islam semisal Amrozi CS itu sebagai bagian dari konspirasi global dunia barat terhadap Islam.
"Saya curiga kekerasan yang terjadi dan dilakukan oleh segelintir umat Islam akhir-akhir ini, karena memang dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang menginginkan Islam tampil dengan citra negatif. Musuh barat pasca perang dingin sebagaimana dinyatakan analis Samuel Huntington kan Islam," ujarnya.
Sementara pernyataan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Masdar Farid Mas`udi bahwa tindakan sejumlah kalangan yang mengelu-elukan pelaku Bom Bali I, yang telah dieksekusi yakni Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudra sebagai mujahid (pejuang di jalan Allah), merupakan tindakan salah kaprah.
Kepada wartawan di Jakarta, Senin (10/11), Masdar mengatakan, boleh jadi Amrozi, Mukhlas, dan Imam bercita-cita agar Islam dan umat Islam dihormati dunia, terutama kalangan Barat, namun cara yang ditempuh ketiganya tidak tepat. "Jelas tidak masuk akal jika untuk mencapai kehormatan hanya ditempuh dengan modal teriakan Allahu Akbar dan bahan peledak," katanya.
Justru, kata Masdar, tindakan teroristik semacam itu malah semakin menyudutkan Islam. Kalangan non-Islam akan semakin sangsi bahwa Islam merupakan agama yang mengajarkan kedamaian.
Menurut Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) itu, cara membangun martabat Islam adalah dengan membangun kesejahteraan, kecerdasan dan keluhuran akhlak umatnya. "Jika ini dimiliki, tanpa teriak-teriak maupun ledakan bom, dunia akan menghormati kita. Inilah tanggung jawab segenap pemimpin umat dan negara-negara Islam," katanya.
Terorisme yang menjadi paham para pelaku teror seperti Amrozi dan kawan-kawan merupakan ekses dari pemahaman agama yang literalistik, kondisi kemiskinan yang terjadi, dan pengaruh situasi global yang terjadi di negara-negara Islam. Ekstremisme pemahaman berbuntut pada tindakan radikalisme. Semua dinilai hitam-putih. Paham literalistik bukan monopoli agama, melainkan juga ideologi lainnya, seperti sosialisme, kapitalisme, ataupun ideologi Pancasila," kata intelektual Nahdlatul Ulama Masdar Farid Mas`udi, seperti dikutip Media Indonesia.
KPO/EDISI 163/NOVEMBER 2008
0 komentar:
Posting Komentar