Home » » Imlek, Etnis Cina Dan Spirit Kebersamaan

Imlek, Etnis Cina Dan Spirit Kebersamaan

Oleh: Christian Wijaya*
Tahun Baru Imlek 2559 yang jatuh hari Kamis, 7 Februari 2008, berlangsung semarak. Selain disertai upacara doa di kelenteng, juga dimeriahkan dengan pertunjukan barongsai. Di jaman Orde Baru komunitas Tionghoa tak bisa leluasa merayakannya. Reformasi yang memompakan semangat pembaruan memang mencanangkan dihormatinya hak-hak asasi manusia, tidak boleh lagi mempraktikkan diskriminasi.
Karena berlangsung selama 15 hari, perayaan Imlek boleh dibilang unik. Berarti penutupan perayaan Imlek tahun ini pada 22 Februari 2008 yang biasa disebut Cap Go Meh. Uniknya lagi, perayaan Imlek di mana pun sebenarnya bukan milik penganut agama tertentu, sebab secara historis tidak bersangkut paut dengan ritual keagamaan.
Nampaknya suka cita Imlek itu bukan hanya dirasakan komunitas Tionghoa, tetapi juga menular ke warga pribumi. Biasanya mereka membagi-bagikan kue dan uang (angpao) untuk masyarakat di lingkungannya. Suatu kondisi yang hampir serupa saat Idul Fitri, di mana penganut Islam membagikan 2,5% dari hartanya (zakat) kepada para
fakir-miskin.
Spirit Kebersamaan
Perayaan Imlek kental dengan nuansa agama Tao, Kong Hu Cu dan Budha. Namun bila dirunut dari sejarahnya, jauh sebelum kemunculan tiga agama tadi, di Tiongkok sudah berlangsung perayaan Imlek. Jadi jelas bahwa Imlek tak bertalian dengan perayaan keagamaan. Aslinya, menurut pengamat budaya Tionghoa, David Kwa, Imlek atau Sin Tjia merupakan perayaan para petani yang biasanya jatuh pada tanggal satu di bulan pertama Tahun Baru Cina itu.
Mereka yang merayakan Imlek umumnya mengenang para leluhur, tetapi bukan untuk menyembah nenek-moyangnya. Di sana bisa dijumpai media perayaan Imlek berupa satu meja ritual yang sekaligus untuk mengingat ajaran luhur orang tua, kakek-nenek yang telah menjadi arwah. Tokoh masyarakat etnis Tionghoa, Suhu Acai, di Jakarta (3/2-08), mengimbau agar komunitas Tionghoa tidak menghambur-hamburkan uang dalam merayakan Imlek. Kalau mereka banyak uang lebih baik disumbangkan kepada warga masyarakat korban bencana seperti banjir dan longsor
Imlek dirayakan oleh beragam etnis Tionghoa yang heterogen dalam banyak hal. Bagi umat Tao, Kong Hu Cu atau Budha, Imlek marak dengan ritual keagamaan. Tapi bagi komunitas Tionghoa Muslim atau Kristen, acara Imlek tidak jadi soal, sebab intinya merayakan Tahun Baru Cina. Bahkan di Masjid Cheng Ho Surabaya atau Masjid Karim Oei di Jakarta, komunitas Tionghoa Muslim dipersilakan berdoa sesuai ajaran Islam dalam rangka Imlek. Menghargai perbedaan dan keragaman sudah mendarah
daging bagi komunitas Tionghoa di mana saja.
Pluralisme pada komunitas Cina ini bisa kita timba kontribusinya yang positif. Saling memberi dan menerima, saling membantu/menolong merupakan sikap kebajikan dasar, yakni kebersamaan. Semakin dipahami dan juga dilaksanakan di banyak negara
bahwa masyarakat, bangsa, dan negara hanya akan mampu melangkah maju bila seluruh komponen masyarakatnya sadar untuk bekerja sama secara sinergis dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dalam kehadirannya di banyak negara, etnis Tionghoa selalu siap menerima dan menghargai setiap perbedaan. Di Indonesia yang multi-budaya dan multi-etnis ini,
masing-masing warga dari pemeluk agama apa saja seharusnya bisa bekerja sama, saling mengisi dan mengapresiasi dalam semangat kebersamaan. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
Pengaruh Kong Hu Cu
Pengaruh Kong Hu Cu sangat kuat dalam perayaan Imlek. Beliau seorang guru bangsa Cina yang lahir tahun 551 SM. Sedangkan hitungan Masehi kini menunjukkan tahun 2008. Dengan menjumlah 551 dan 2008, maka saat ini menjadi Tahun Baru Imlek 2559. Menurut Kong Hu Cu, penetapan Tahun Baru Imlek memiliki arti penting sebagai pedoman bagi masyarakat Cina dalam mempersiapkan semua pekerjaan untuk setahun ke depan. Terutama bagi para petani yang akan mulai bercocok tanam di saat memasuki musim semi. Jadi, di Indonesia, pemaknaan perayaan Imlek ini seharusnya memberikan spirit dan inspirasi karena sangat relevan dengan nasib kaum petani kita yang kini sedang terpuruk.
Kong Hu Cu hidup di daratan Cina sebagai daerah konflik. Konflik sosial begitu kuat akibat adanya perebutan kekuasaan pada kerajaan-kerajaan di masa itu. Karena konflik berkepanjangan, rakyat Cina hidup menderita. Coba bandingkan dengan situasi-kondisi bangsa kita dewasa ini. Konflik sosial akibat semakin banyaknya kasus penggusuran, juga konflik sosial-politik terkait sengketa kasus pilkada, telah menyengsarakan rakyat.
Kong Hu Cu pernah menjabat residen distrik dan menteri pekerjaan umum pada pemerintahan raja Lu. Keterlibatan Konfusius di birokrasi menjadi titik balik kesuksesan
pemerintahan Lu dibanding kondisi pemerintahan sebelumnya yang sarat kekacauan, peperangan dan disintegrasi sosial. Meski banyak peluang untuk memperkaya diri, tetapi Kong Hu Cu memiliki kekayaan batin untuk mencintai rakyatnya yang tengah menderita kemiskinan, sehingga beliau rela hidup sederhana.
Kong Hu Cu konsisten dengan amanat sebagai pejabat publik yang selalu mengedepankan ajaran tentang etika dan moral. Beliau memandang manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki tanggung jawab sosial terhadap sesamanya, dan hingga akhir hayatnya selalu menekankan spirit kebersamaan untuk menyatukan masyarakat dan bangsa. Jadi, jika Kong Hu Cu sebagai pejabat publik/pemerintahan memiliki integritas moral yang tinggi dan sukses meredam kemelut sosial-politik, kenapa banyak pejabat kita justru larut dalam konflik dan olok-olokan politik?
Kong Hu Cu begitu concern terhadap masalah kemanusiaan dan perbaikan moral. Pada jamannya, Kong Hu Cu telah melakukan pembaruan peradaban, terutama dalam masalah nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Pengaruh ajaran-ajarannya melampaui daratan Cina, yakni sampai ke Vietnam, Korea, Jepang, Singapura, dan lain-lain.
*) Pekerja sosial, alumnus Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, tinggal di Kebun Jeruk, Jakarta Barat.
Thanks for reading Imlek, Etnis Cina Dan Spirit Kebersamaan

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar