Home » » Merajut Kebersamaan Melalui Imlek

Merajut Kebersamaan Melalui Imlek

Oleh: Abd. Sidiq Notonegoro*
Tidak bisa dipungkiri bahwa perayaan tahun baru Imlek memiliki arti tersendiri bagi etnis Tionghoa di Indonesia. Seperti halnya tahun 2008 ini, perayaan tahun baru Imlek yang menginjak pada bilangan ke 2559 pun mendapatkan sambutan yang sangat meriah. Bahkan beberapa minggu sebelum jatuhnya tahun baru Imlek, warga Tionghoa sudah begitu massif memburu pernak-pernik Imlek. Mereka utamanya mendatangi pusat-pusat perbelanjaan yang sengaja menyediakan segala kebutuhan yang berkaitan dengan tahun baru ini.
Umumnya yang diburu oleh warga Tionghoa yang hendak melaksanakan penyambutan tahun baru Imlek ialah kue keranjang, baju warna merah, pohon rejeki, lampion, amplop merah (angpao), jeruk shantang, bambu Cina hingga hiosua. Utamanya angpao, baju merah dan hiosua yang dipandang sebagai barang utama dalam Imlek. Sehingga ketiga barang tersebut dipastikan tidak akan ditinggalkan, karena seakan sudah menjadi barang wajib.
Terlepas dari pernak-pernik ritual diatas, yang tidak kalah penting adalah bagaimana menempatkan perayaan Imlek sebagai simbol penghargaan terhadap keragaman etnis di Indonesia, selain juga untuk menambah kekayaan budaya bangsa Indonesia. Apapun alasannya, kaum Tionghoa di Indonesia sudah menjadi bagian dari bangsa ini yang tidak mungkin untuk dipisahkan. Karena itu, jangan sampai ada lagi perlakuan-perlakuan diskriminatif yang menyakitkan dan justru merugikan semua pihak. Apa yang pernah torehkan oleh penguasa rejim Orde Baru dengan menjadikan etnis Tionghoa sebagai ‘sapi perahan’ jangan sampai terulang kembali.
Kata Imlek dalam dialek Hokkian yang berarti penanggalan bulan --- atau yinli dalam bahasa Mandarin dikenal dengan sebutan Chunjie (perayaan musim semi) --- di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan konyan. Di Indonesia tahun baru Imlek diperingati sebagai perayaan hari lahirnya Kong Hu Chu yang lahir di tahun 551 SM, Karenanya penanggalan Imlek dan penanggalan masehi memiliki selisih 551 tahun. Jadi jika tahun Masehi saat ini 2008, maka tahun Imleknya adalah 2008 + 551 = 2559.
Drama Etnis yang Ironis
Sejarah dibolehkannya warga etnis Tionghoa untuk melaksanakan perayaan Imlek di Indonesia sarat dengan nuansa politis. Hal ini dikarenakan pada masa kekuasaan rejim Orde Baru, segala hal yang bernuansa Tionghoa dilarang. Akibatnya, kebudayaan dan tradisi Tionghoa kurang berkembang dengan baik, padahal jumlah orang Tionghoa di Indonesia cukup banyak jumlahnya. Orang-orang Tionghoa dikebiri dalam banyak hal, bukan hanya dalam penggunaan bahasa ataupun kesempatan untuk berkiprah dalam sektor sosial yang lebih luas. Dalam persoalan keyakinan (agama) pun rejim Orba sangat membatasinya. Sehingga tidak sedikit etnis Tionghoa yang secara formalitas politik (baca: agama KTP) menganut agama Budha dan sebagian kecil lagi menganut Kristen serta Islam, tetapi secara intrinsik masih memegang teguh kepercayaan nenek moyangnya yaitu Khonghucu. Dengan kata lain mereka memeluk Khonghucu secara sembunyi-sembunyi.
Baru setelah gerakan reformasi berhasil menumbangkan kekuasaan otoriter Orba, etnis Tionghoa bisa bernafas lega. Meskipun sebelumnya mereka pun sempat menjadi tumbal bagi gerakan reformasi itu sendiri, yaitu menjadi kebiadaban orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Puluhan dan bahkan ratusan etnis Tionghoa terbunuh, dibakar ataupun diperkosa serta harta bendanya dijarah. Adalah Presiden Abdurrahman Wahid yang pertamakali menghapuskan peraturan yang bersifat rasis dan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. Dan kemudian dilanjutkan oleh Presiden Megawati dengan menetapkan tahun baru Imlek sebagai hari libur nasional.
Memang sebuah kisah sejarah etnis yang sangat ironis. Hampir dapat dikatakan bahwa selama 32 tahun etnis Tionghoa berada dalam belenggu ketertindasan yang tak terkirakan, meskipun sesungguhnya keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia telah ada lebih dari 700 tahun yang lalu. Selama 32 tahun kekuasaan rejim Orba keberadaan etnis Tionghoa di Tanah Air hanya menjadi kambing hitam permainan politik sehingga selalu mendapat perlakuan tidak adil atau diskriminatif.
Mungkin bagi masyarakat awam melihat keberhasilan etnis Tionghoa dalam membangun jaringan bisnis dapat menimbulkan rasa iri tersendiri. Seakan-akan etnis Tionghoa-lah yang mendapat perlakuan istimewa dari rejim Orba. Namun kalau ditelisik lebih dalam, sesungguhnya kesuksesan ekonomi etnis Tionghoa lebih dilatar-belakangi oleh semangat hidup yang tidak menyerah. Bagi mereka, sektor ekonomi adalah jalur satu-satunya yang dapat mereka tempuh ketika jalan yang lain sudah tertutup.
Hancurkan Sekat Diskriminatif
Seiring dengan peringatan Imlek tahun ini, semangat reformasi yang tercetus tahun 1998 lalu sudah semestinya diupayakan untuk terus menjadi habitus bagi bangsa Indonesia. Meskipun telah 18 tahun bangsa ini terbebaskan dari belenggu rejim Orba, tidak bisa dipungkiri bahwa mentalitas diskriminatif --- utamanya terhadap etnis Tionghoa --- masih sulit untuk dibersihkan secara total. Utamanya di kalangan kaum birokrat, masih ada yang memandang etnis Tionghoa sebagai ‘sapi perahan’ yang potensial.
Namun tidak semestinya warga etnis Tionghoa pada khususnya, dan masyarakat nusantara pada umumnya patah arang. Melalui Imlek 2559 ini, perlunya dibangkitkan kembali semangat kebersamaan dalam payung kebangsaan. Sekat-sekat etnis yang mengarah pada perilaku diskriminatif harus dihancurkan. Dan saatnya pula seluruh umat dan elit agama menghidupkan kembali kesadaran akan kebersamaan dengan saling menghargai kepercayaan masing-masing.
Akhirnya, jangan ada lagi kecurigaan-kecurigaan terhadap etnis Tionghoa dengan tanpa dasar. Yakinlah bahwa mereka 100 % juga orang Indonesia, yang banyak berkiprah dan memberikan bau harum dan warna Indonesia nusantara. Semua yang mengaku bagian dari bangsa Indonesia adalah saudara. Bahagia satu bahagia semua, sakit satu sakit semua. Saatnya sendi-sendi multikultural ditegakkan kembali atas nama nasionalisme. Karena itu, Imlek bisa dijadikan momentum untuk mengakui bahwa etnis Tionghoa adalah salah satu pilar integritas Indonesia.
*) Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) dan Dosen Univ Muhammadiyah Gresik.
Thanks for reading Merajut Kebersamaan Melalui Imlek

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar