Home » » BEDAH BUKU: Bali Berjuang

BEDAH BUKU: Bali Berjuang

Bukti Perjuangan Rakyat Bali
OLEH:INDAH WULANDARI

Peluncuran dan diskusi cetakan ketiga buku Bali Berjuang karya Nyoman S. Pendit, di Aula Monumen Perjuangan Rakyat Bali, Renon, Denpasar, (16/6), dihadiri lintas generasi dan akademik. Para pelajar, mahasiswa, veteran, serta cendikiawan mencoba memahami pemikiran penulis yang merupakan pelaku sejarah dalam Perang Kemerdekaan di Bali sehingga terperinci. Walaupun sang penulis urung tampil, para pembahas cukup kompeten di bidangnya.
Mereka adalah dosen Jurusan Sejarah UNUD Drs. AAB Wirawan S.U, Dosen Ilmu Sosiologi Pendidikan Undiksha, Singaraja Drs I Made Pageh, M.Hum dan dimoderatori Drs IB Sidemen, SU. Cetakan terbaru yang diterbitkan Sarad dan Pustaka ini mempunyai interval waktu cukup panjang dengan cetakan sebelumnya pada tahun 1954 dan1979. Pasalnya, banyak revisi dan tambahan di bagian data serta perbaikan nama beberapa tokoh sumber yang memperkuat peristiwa sejarah tersebut. Fokus pemaparan buku ini seputar Perang Kemerdekaan Bali hingga terbentuknya Dewan Perwakilan Rakyat Sementara. Disinggung pula periode pra kemerdekaan terutama mengenai masa pergerakan dan pendudukan Jepang di Bali. Nyoman S Pendit memilih kata kunci pemahaman nasionalisme, merujuk pada isi kepala Presiden pertama RI Soekarno. Yakni, merupakan kesatuan rakyat yang disebabkan oleh perasaan senasib dan sepenanggungan. Berbeda dengan paham nasionalisme yang lazim berkumandang di masa abad IX, yaitu sifat ekspansif serta memandang rendah bangsa lain, terutama Asia-Afrika. Soekarno memberi sentuhan humanitas pada arti kata nasionalisme.
Dalam suasana epistemologi sosial inilah, buku Bali Berjuang kembali dicetak ulang. Bahwa kebenaran tunggal adalah nasionalisme dengan bentuk negara kesatuan. Pendit memulai pembahasan bagaimana genealogi pulau kecil yang bernama Bali terjangkit virus nasionalisme ala Soekarno yang mengutamakan unsur persatuan ini. Di mana raja-raja Bali melakukan perlawanan habis-habisan (puputan) terhadap penjajah Belanda. Sekitar 1300 orang gugur di medan perang. Pendit menilai ini sebagai satu titik dalam garis munculnya nasionalisme di Bali. Inilah yang mungkin bisa dijadikan titik awal perlawanan putra-putra Bali melawan imperialisme.
Buku setebal lebih dari 460 halaman ini dimaknai sebagai momentum sejarah Bali untuk diteruskan generasi muda yang kurang akrab dengan sejarah Bali dalam era modernisasi seabad. Namun, Wirawan menilai ada keterbatasan penulis menangkap adanya peran elit tertentu dalam perjuangan rakyat Bali. Ia melihat ada upaya kelas menengah terdidik Bali berupaya mencegah atau mengurangi resiko-resiko tergadaikannya sisi religius rakyat Bali, yaitu dengan diplomasi. Ide Anak Agung Gede Agung misalnya melakukan korespondensi yang intensif dengan Wapres M Hatta untuk berdialog tentang persoalan bangsa melalui perjuangan diplomasi. ‘’Tidak mungkin seluruh rakyat Bali ikut berperang. Ada salah kaprah dalam pencitraan revolusi fisik modern,” terangnya.
Ciri khas perjuangan kemerdekaan di Indonesia ada proses dialektika yang ditandai adanya perang fisik dan diplomasi. Bali di pertengahan 1940-an dihadapkan pula pada 2 pilihan: bergabung dengan Negara Kesatuan dengan resiko dianggap ‘daerah belum beragama' atau merdeka dengan resiko kelimpungan secara ekonomi. Sedangkan Pageh mengusulkan buku Bali Berjuang harus disertai pula penerbitan Album Bali Berjuang yang terdiri dari dokumentasi foto untuk merekontruksi peristiwa berdasarkan jejak pikiran dan fakta yang kuat agar generasi muda lebih mudah mengapresiasinya.
Thanks for reading BEDAH BUKU: Bali Berjuang

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar