Judul: Merebut Mimpi Bangsa
Penulis: Yudhi Haryono dan Iwan Dwi Laksono
Penerbit: KalamNusantara, Jakarta
Cetakan: I, 2008
Tebal: xiv + 230 halaman
Isu tentang kepemimpinan alternatif kian menguat menjelang pemilu 2009. Di kalangan rakyat lahir kerinduan model kepemimpinan alternatif, yaitu kepemimpinan yang mampu menyelesaikan persoalan pokok dan konkrit di masyarakat, serta secara mental dan moral berbeda dengan yang sudah ada (yang pragmatis, oportunis, dan korup).
Perlunya pemimpim baru itu juga diperkuat oleh riset yang diadakan oleh Pusdeham pada Agustus-September 2007. Hasil riset itu, 70% responden memerlukan pemimpin baru yang segar dan tegas untuk mengatasi persoalan bangsa. Hal itu juga diperkuat oleh riset Kompas pada 17/92007 tentang calon presiden 2009. Hasil tertingginya adalah keinginan masyarakat agar presiden 2009 merupakan tokoh baru dengan suara sebesar 46%, berasal dari sipil 50%, ekonomi kelas menengah 47%. Lalu disusul polling MetroTV pada tanggal 4/11/2007 yang menunjukkan bahwa sebanyak 55% dari 264 voters mengatakan bahwa layak bagi kaum muda untuk jadi presiden.
Berdasarkan harapan kedua penulisnya pada kehadiran pemimpin alternatif , buku yang diberi judul ”Merebut Mimpi bangsa” ini hadir. Kedua penulis adalah Yudhi Haryono dan Iwan Dwi Laksono yang merupakan figur yang tak asing lagi di kalangan gerakan mahasiswa dan rakyat. Keduanya adalah intelektual dan aktivis. Yudhi Haryono adalah seorang dosen dan peneliti, juga mantan aktivis mahasiswa yang hingga kini juga masih terlibat dalam gerakan kerakyatan. Satunya lagi adalah Iwan Dwi Laksono yang merupakan ”tokoh” dari gerakan mahasiswa, mantan ketua organisasi mahasiswa radikal, LMND (Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi)—yang dalam aksi BBM tahun 2008 ini juga masuk dalam daftar orang-orang yang disebut Samsir Siregar (BIN) sebagai ”provokator”.
Dilihat dari track record kedua penulis muda yang juga selalu terlibat dalam gerakan kampanye ”Saatnya Kaum Muda Memimpin” ini, tentu saja buku ini berisikan kritik keras terhadap kebijakan pemerintahan yang selama ini membuat rakyat menderita. Tentunya diikuti dengan jalan keluar yang ditawarkan agar kaum muda mampu ”merebut mimpi bangsa”. Kaum muda adalah kaum yang akan sangat berkepentingan akan keselamatan negeri ini. Pada saat pemerintahan terus saja menyerahkan kekayaan negara pada kapitalis asing, buku ini menyerukan agar dilakukan langkah-langkah strategis dalam ranah kepemimpinan politik.
Optomisme akan terjadinya perubahan, buku ini memberikan gambaran bahwa kepemimpinan alternatif sedang terjadi di berbagai negara khususnya Amerika Latin, dengan naiknya presiden-presiden nasionalis-kiri dan populis seperti Hugo Chavez, Evo Moralez, dan Daniel Ortega, selain masih kukuhnya revolusi Kuba di bawah Fidel Castro. Penulis berusaha menunjukkan bagaimana di negeri kita, yang para pemimpinnya justru pengecut menghadapi intervensi asing dan hanya tunduk patuh pada pemodal asing. Mereka yang oportunis dan pragmatis ini selalu saja menyerahkan kekayaan alam kita yang melimpah untuk dihisap oleh penjajah asing, menyerahkan buruh murah agar kapitalis mendapatkan keuntungan, serta membuka negeri kita sebagai pasar, sehingga masyarakat semakin tergantung dan hanya bisa mengonsumsi —tetapi tidak bisa mencipta (berproduksi dan berkreasi).
Di negeri ini besaran angaran pendapatan dan belanja negara, semuanya justru habis untuk membayar utang. RAPBN 2006, misalnya, digunakan untuk pembayaran bunga utang luar negeri sebesar Rp 76,629 triliun atau 2,5% dari PDB, meningkat 0,3% dari APBN 2005. Sedangkan pembayaran cicilan utang pokok luar negeri sebesar 2,1 dari PDB; lebih besar dari alokasi anggaran untuk kesehatan yang besarnya hanya 0,4% dari PDB dan pendidikan 1,4% dari PB. Berbeda dengan di Kuba yang menggratiskan pendidikan karena anggaran pendidikannya cukup besar, sekitar 8% dari PDB atau 2% di atas anggaran pendidikan yang dianjurkan UNESCO. Dalam bidang kesehatan, di Kuba angka kematian bayi dapat ditekan menjadi 5,2 per 1000 kelahiran dan harapan hidup meningkat menjadi 75 tahun (di Indonesia harapan hidup pada tingkat 66 tahun). Sekitar 524.000 anak-anak antara 3-9 tahun menapatkan vaksin polio dan dengan jumlah dokter 70.000 orang untuk 12 juta penduduk atau 1 dokter untuk 600 orang (di Indonesia jumlah dokter 34.000 melayani 220 juta penduduk). Jika kepemimpinannya benar, Indonesia dapat melakukan hal yang lebih baik dari pada Kuba (hlm. 38).
Bagian utama buku ini adalah menyerukan pentingnya “Kepemimpinan Kaum Muda”, karena hanya kaum mudalah yang punya karakter berani dan radikal yang dibutuhkan untuk melakukan perubahan yang mendasar. Kaum muda harus diberi tahu tentang masa lalu yang kelam dan peran tokoh-tokoh besar dan gerakan rakyat dalam melawan penjajahan. Mereka tak boleh lupa akan sejarah sebagaimana dikatakan Bung Karno: “Jas Merah! Jangan Lupakan Sejarah!” Dengan belajar sejarah yang memfokuskan pada pemikiran dan tindakan orang-orang besar dan partisipasi perjuangan massa , kaum muda harus percaya diri dan mempunyai jiwa besar, heroisme harus dimiliki karena ia merupakan semangat yang meminimalisir pragmatisme dan oportunisme.
Penulis: Yudhi Haryono dan Iwan Dwi Laksono
Penerbit: KalamNusantara, Jakarta
Cetakan: I, 2008
Tebal: xiv + 230 halaman
Isu tentang kepemimpinan alternatif kian menguat menjelang pemilu 2009. Di kalangan rakyat lahir kerinduan model kepemimpinan alternatif, yaitu kepemimpinan yang mampu menyelesaikan persoalan pokok dan konkrit di masyarakat, serta secara mental dan moral berbeda dengan yang sudah ada (yang pragmatis, oportunis, dan korup).
Perlunya pemimpim baru itu juga diperkuat oleh riset yang diadakan oleh Pusdeham pada Agustus-September 2007. Hasil riset itu, 70% responden memerlukan pemimpin baru yang segar dan tegas untuk mengatasi persoalan bangsa. Hal itu juga diperkuat oleh riset Kompas pada 17/92007 tentang calon presiden 2009. Hasil tertingginya adalah keinginan masyarakat agar presiden 2009 merupakan tokoh baru dengan suara sebesar 46%, berasal dari sipil 50%, ekonomi kelas menengah 47%. Lalu disusul polling MetroTV pada tanggal 4/11/2007 yang menunjukkan bahwa sebanyak 55% dari 264 voters mengatakan bahwa layak bagi kaum muda untuk jadi presiden.
Berdasarkan harapan kedua penulisnya pada kehadiran pemimpin alternatif , buku yang diberi judul ”Merebut Mimpi bangsa” ini hadir. Kedua penulis adalah Yudhi Haryono dan Iwan Dwi Laksono yang merupakan figur yang tak asing lagi di kalangan gerakan mahasiswa dan rakyat. Keduanya adalah intelektual dan aktivis. Yudhi Haryono adalah seorang dosen dan peneliti, juga mantan aktivis mahasiswa yang hingga kini juga masih terlibat dalam gerakan kerakyatan. Satunya lagi adalah Iwan Dwi Laksono yang merupakan ”tokoh” dari gerakan mahasiswa, mantan ketua organisasi mahasiswa radikal, LMND (Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi)—yang dalam aksi BBM tahun 2008 ini juga masuk dalam daftar orang-orang yang disebut Samsir Siregar (BIN) sebagai ”provokator”.
Dilihat dari track record kedua penulis muda yang juga selalu terlibat dalam gerakan kampanye ”Saatnya Kaum Muda Memimpin” ini, tentu saja buku ini berisikan kritik keras terhadap kebijakan pemerintahan yang selama ini membuat rakyat menderita. Tentunya diikuti dengan jalan keluar yang ditawarkan agar kaum muda mampu ”merebut mimpi bangsa”. Kaum muda adalah kaum yang akan sangat berkepentingan akan keselamatan negeri ini. Pada saat pemerintahan terus saja menyerahkan kekayaan negara pada kapitalis asing, buku ini menyerukan agar dilakukan langkah-langkah strategis dalam ranah kepemimpinan politik.
Optomisme akan terjadinya perubahan, buku ini memberikan gambaran bahwa kepemimpinan alternatif sedang terjadi di berbagai negara khususnya Amerika Latin, dengan naiknya presiden-presiden nasionalis-kiri dan populis seperti Hugo Chavez, Evo Moralez, dan Daniel Ortega, selain masih kukuhnya revolusi Kuba di bawah Fidel Castro. Penulis berusaha menunjukkan bagaimana di negeri kita, yang para pemimpinnya justru pengecut menghadapi intervensi asing dan hanya tunduk patuh pada pemodal asing. Mereka yang oportunis dan pragmatis ini selalu saja menyerahkan kekayaan alam kita yang melimpah untuk dihisap oleh penjajah asing, menyerahkan buruh murah agar kapitalis mendapatkan keuntungan, serta membuka negeri kita sebagai pasar, sehingga masyarakat semakin tergantung dan hanya bisa mengonsumsi —tetapi tidak bisa mencipta (berproduksi dan berkreasi).
Di negeri ini besaran angaran pendapatan dan belanja negara, semuanya justru habis untuk membayar utang. RAPBN 2006, misalnya, digunakan untuk pembayaran bunga utang luar negeri sebesar Rp 76,629 triliun atau 2,5% dari PDB, meningkat 0,3% dari APBN 2005. Sedangkan pembayaran cicilan utang pokok luar negeri sebesar 2,1 dari PDB; lebih besar dari alokasi anggaran untuk kesehatan yang besarnya hanya 0,4% dari PDB dan pendidikan 1,4% dari PB. Berbeda dengan di Kuba yang menggratiskan pendidikan karena anggaran pendidikannya cukup besar, sekitar 8% dari PDB atau 2% di atas anggaran pendidikan yang dianjurkan UNESCO. Dalam bidang kesehatan, di Kuba angka kematian bayi dapat ditekan menjadi 5,2 per 1000 kelahiran dan harapan hidup meningkat menjadi 75 tahun (di Indonesia harapan hidup pada tingkat 66 tahun). Sekitar 524.000 anak-anak antara 3-9 tahun menapatkan vaksin polio dan dengan jumlah dokter 70.000 orang untuk 12 juta penduduk atau 1 dokter untuk 600 orang (di Indonesia jumlah dokter 34.000 melayani 220 juta penduduk). Jika kepemimpinannya benar, Indonesia dapat melakukan hal yang lebih baik dari pada Kuba (hlm. 38).
Bagian utama buku ini adalah menyerukan pentingnya “Kepemimpinan Kaum Muda”, karena hanya kaum mudalah yang punya karakter berani dan radikal yang dibutuhkan untuk melakukan perubahan yang mendasar. Kaum muda harus diberi tahu tentang masa lalu yang kelam dan peran tokoh-tokoh besar dan gerakan rakyat dalam melawan penjajahan. Mereka tak boleh lupa akan sejarah sebagaimana dikatakan Bung Karno: “Jas Merah! Jangan Lupakan Sejarah!” Dengan belajar sejarah yang memfokuskan pada pemikiran dan tindakan orang-orang besar dan partisipasi perjuangan massa , kaum muda harus percaya diri dan mempunyai jiwa besar, heroisme harus dimiliki karena ia merupakan semangat yang meminimalisir pragmatisme dan oportunisme.
(Peresensi: Slamet Riyanto, Kelompok Diskusi LILIN (Lingkaran Liberasi Indonesia) Balaksumur, tinggal di Yogyakarta)
0 komentar:
Posting Komentar