Home » » Banjir, Kosmosentrisme Religius Dan Geo-Teologis

Banjir, Kosmosentrisme Religius Dan Geo-Teologis

Oleh: Dwi Lestari ST*
Suatu bencana selalu diikuti serangkaian pertanyaan, baik filosofis-kosmologis maupun teologis. Pemikiran filosofis-kosmologis berusaha untuk mengaitkan berbagai fenomena alam dunia dengan "amarah para dewa" sebagai akibat dari ketidakseimbangan dalam tatanan kosmos. Jika setiap bencana alam selalu dipahami dan dijelaskan dalam kerangka berpikir semacam ini, maka tertutup kemungkinan bagi manusia untuk melihat bencana dari perspektif lain. Dalam perspektif Kekristenan, bencana alam ditempatkan sebagai bagian dari penyelenggaraan kekuasaan Ilahi yang tak terbatas (teodice). Dalam teologi Islam disebut "takdir atau keputusan ilahi berdasarkan kemahakuasaanNya" atau "cobaan dari Allah". Karena itu harus diterima dengan penuh keikhlasan serta kepasrahan hati.
Bencana banjir yang melanda berbagai daerah di Indonesia ini menurut hemat penulis merupakan peringatan dan panggilan terhadap kesadaran kosmosentrisme religius. Sebuah kritik terhadap paradigma antroposentrisme sekuler yang menjadikan intelektualitas manusia sebagai puncak ukuran kebenaran sehingga secara sistemik masyarakat modern telah menghancurkan habitatnya sendiri. Bencana banjir itu bukan murni fenomena alam tanpa campur tangan manusia. Kita harus mengakui bahwa kita tidak lagi memiliki kesadaran ekologis.
Kerusakan lingkungan hidup, baik sosial maupun alam, semakin terlihat kasat mata. Mempersoalkan sikap mental yang eksploitatif itu sangat penting. Tanpa mencari tahu sebab mendasar di balik sikap mental itu, maka pemecahan masalah terkait dengan pemulihan kerusakan ekologis dan penanganan dampak bencana alam tidak mungkin berdampak komprehensif.
Neo-Kosmosentrisme
Para filsuf Yunani kuno sebelum Socrates berpandangan bahwa alam semesta adalah sumber kebajikan. Manusia dianjurkan untuk berdamai dan meniru perilaku alam semesta jika ingin memperoleh keutamaan hidup. Meskipun pengetahuan mereka tentang alam semesta masih terbatas, justru dalam keterbatasannya itu mereka menjadi santun dan hormat pada alam. Pandangan kosmosentrisme ini secara perlahan digantikan oleh antroposentrisme yang dibangun oleh Socrates, bahwa ukuran kebaikan dan kebenaran itu terletak pada akal budi manusia. Untuk meraih kebaikan hidup, baik individu maupun sosial, manusia harus mengembangkan akal budinya.
Saat ini rasanya kita diajak untuk menghargai kearifan kuno. Bahwa manusia adalah bagian integral dari alam, bukan penguasa alam. Kearifan kuno mengajarkan keserasian antara habit, habitus, dan habitat. Ketika manusia sebagai habitus mengambil sikap eksploitasi dan konfrontasi terhadap habitat alamnya, maka manusia pasti kalah. Bukti kekalahan manusia ketika konfrontasi terhadap alam semakin banyak. Kini saatnya kita merenung dan menyadari betapa rapuhnya sesungguhnya posisi kita di hadapan semesta.
Sudah lama kita mendengar kata "kosmologi", yang artinya pengetahuan dan kesadaran akan keindahan dan keteraturan alam. Disebut kosmos, bukannya chaos, karena alam ini indah dan teratur. Begitulah Tuhan menciptakan. Hanyalah manusia yang memiliki potensi untuk merusak keteraturan alam, bukan makhluk lain. Namun, sehebat apa pun kekuatan manusia untuk melawan alam, tidak mungkin manusia akan bisa memenangkannya. Apa yang bisa diraih dan ditaklukkan manusia, terlalu kecil di hadapan semesta yang tak terbatas.
Lalu, di mana kebesaran manusia? Dalam Al-Qur`an di sebutkan, di samping karena akalnya, dalam diri manusia terdapat Ruh Ilahi. Jika Ruh Ilahi ini yang mengendalikan kehidupan, seseorang akan bisa merasakan nikmatnya bernyanyi dan bertawaf bersama tarian dan gerakan tawaf jagat raya. Bahkan bumi, laut, dan planet di sekitar kita, semuanya senantiasa melayani manusia.
Memasuki abad ke-21 ini, muncul sinyal hadirnya siklus kosmosentrisme religius. Kita dituntut berkawan, santun, dan mencintai alam tanpa terjatuh untuk menyembahnya sebagai Tuhan karena alam adalah jejak-jejak kebesaran dan kasihNya. Manusia harus mencintai alam, tempat di mana ia hidup. Sekalipun dalam alam cukup terdapat daya tolak, tetapi alam itu hidup berkat daya tarik. Alam dapat menjadi lestari berkat adanya rasa sayang yang timbal balik.
Geo-Teologis
Banjir dan bencana-bencana lainnya mesti juga dilihat dari perspektif tindakan ilahi yang kadang-kadang sulit dipahami oleh manusia. Artinya bahwa memang benar Allah itu mahakasih, namun dalam hakikatNya yang demikian, Ia juga bebas untuk "mengizinkan" terjadinya bencana alam untuk maksud-maksud tertentu, misalnya menghukum sekaligus sebagai media pembelajaran bagi manusia. Agar manusia tidak bersikap tamak dan sekehendak hati mengeksploitasi isi alam untuk memenuhi keinginannya sendiri.
Pada saat yang sama pula bencana alam harus dilihat dari aspek creatio continou (penciptaan yang terus-menerus atau suatu proses pembaharuan ciptaan), yaitu bahwa karya Allah dalam penciptaan bukanlah sesuatu yang sekali jadi, tetapi bahwa Allah Pencipta yang bekerja dalam sejarah itu terus-menerus memperbaharui alam semesta. Pendekatan teologis semacam ini (yang lebih dipengaruhi teologi proses) cukup menarik untuk dijelaskan dalam konteks bencana sebagai bagian integral dari sebuah proses. Bumi ciptaan Allah yang berada dalam sebuah proses "menjadi" selalu memberikan implikasi bagi umat manusia.
Dalam konteks ini pula, bencana alamiah dapat dibahas dalam kerangka sebuah eko-teologi, yakni teologi yang memandang alam semesta sebagai suatu keutuhan. Allah tidak hanya menciptakan, tetapi sekaligus aktif bekerja melalui keterlibatan manusia guna menjaga keselarasan, keseimbangan serta keberlangsungannya. Penebangan hutan yang dilakukan tanpa mempedulikan keseimbangan ekosistem sehingga menimbulkan malapetaka seperti banjir bandang. Eksploitasi kandungan bumi tanpa memperhitungkan harkat dan masa masa depan masyarakat lokal seperti di Papua, bahkan kasus semburan lumpur panas akibat pengeboran gas di Sidoarjo belakangan ini; mesti dilihat sebagai bentuk kejahatan politik yang sistematis terhadap ekologi, atau meminjam bahasa Karel Erari, sebuah ecocida yang juga berarti genocide (suatu bentuk pembantaian yang sistemis terhadap kelompok etnis tertentu) dan bahwa keduanya merupakan suatu Deicida, yakni "pembunuhan" atau sabotase terhadap kedaulatan Allah.
Manusia harus mengerti tentang antropokosmoteosentris dengan kedewasaan sosial dan mencintai alamnya. Kesadaran dan upaya menyelamatkan umat manusia dari kerusakan fisik bumi akan lebih mendorong manusia untuk melakukan transformasi sosial dan budaya ke arah kemanusiaan yang semakin tinggi. Semakin jauh ke depan, akan semakin terasa keperluan untuk mengurangi kadar pemakaian kekuasaan dan kekerasan, dalam segala rupa untuk menyelesaikan beragam problem manusia di zaman ini. Dengan demikian, akan semakin besar pula kesadaran dan pengendalian diri kemanusiawian umat manusia.

*) Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Jurusan Aqidah dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Koran Pak Oles/Edisi 169/16-28 Februari 2009
Thanks for reading Banjir, Kosmosentrisme Religius Dan Geo-Teologis

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar