Home » » Kelelahan Orientasi Pers

Kelelahan Orientasi Pers

Kemiskinan terdahsyat bukanlah kemiskinan material, tetapi kemiskinan akan mental dan ideologi. Kenyataan ini menjadi inspirasi bagi insan dan praktisi pers dalam memaknai perguliran industri pers di era kapitalisme global.
Idealisme pers Indonesia dipatenkan sebagai jiwa yang menentukan bobot eksistensi pers di tengah masyarakat. Menyuarakan suara nurani rakyat dan bergerak menjadi guru bangsa adalah cerminan ideologi pers yang tak tergusur sekalipun oleh intervensi pemilik modal.
Visi dan misi pers lahir dari sebuah spiritualitas yang menjadi sumber inspirasi, kekuatan dan pembentukan karakter pribadi maupun perusahaan. Kata spiritual berasal dari bahasa Latin yakni spiritum yang berarti hembusan napas atau roh dan semangat. Spiritualitas adalah suatu semangat, cita-cita bersama yang menjadi landasan berpijak setiap individu maupun kelompok organisasi dalam melakukan suatu pekerjaan.
Maju mundurnya sebuah lembaga pers sangat tergantung pada kekuatan spiritualitas yang membentuk karakter dan kualitas sumber daya manusia yang dimilikinya. Aspek ini meliputi ethos yaitu karakter moral yang menjadi dasar bagi kemampuan melakukan pendekatan (sejati, baik dan sabar), pathos kemampuan untuk menyentuh perasaan guna menggerakkan orang secara emosional dan logos kemampuan untuk memberikan alasan yang meyakinkan atas sebuah tindakan, guna menggerakkan orang secara intelektual.
Karena itu rekrutmen SDM tetap didasarkan pada kualitas intelektual dan integritas pribadi menghidupi hakekat pers sebagai suluh informasi bukan sebagai mesin uang.
Di sinilah letak tantangan bagi insan pers Indonesia untuk mengasah insting jurnalistik dengan membangun habitus: menulis dan terus menulis sebagai roh eksistensi. Menulis menjadi gerak batin untuk berbagi fakta dalam sekat kejujuran. Menulis menjadi ruang dialog yang terbuka bagi pluralitas nilai, kemanusiaan, dan eko-teologi yang memandang alam sebagai sebuah keutuhan.
Insan pers dikatakan miskin ideologi bila orientasi pembangunan pers dikerdilkan semata-mata sebagai “penciptaan pasar” bukan bergerak menuju institusi “penciptaan nilai”. Tinggal sekarang kesetiaan pelaku pers untuk terus bergerak memberi nilai dari peliputan dan sasaran berita yang ditebar di ranah publik.
Di sisi lain, pekerja pers bukanlah anjing penjaga eksistensi pendirian sebuah lembaga pers. Pekerja pers adalah pribadi yang diundang untuk berbagi nilai dan mencurahkan benih refleksi sesuai visi dan misi pers yang dibangun.
Sayang banyak lembaga pers berguguran dan mati bukan karena pemilik dan pengelolanya kehilangan orientasi ideologis atau “kehabisan uang”. Tetapi mereka terjebak akut dalam kelelahan orientasi. Situasi ini kerap terjadi saat jurnalis menjadi mesin pekerja bukan individu pencipta nilai. Dan, pemilik media lalai menetapkan tapal batas penjelajahan informasi itu sendiri. Dengan kata lain, rubrikasi/bidang liputan yang melenceng dari “sejarah awali” pendirian pers adalah kematian bagi pers itu sendiri. Betapa banyak insan pers yang tak menyadari media informasi yang susah payah dibangun tengah mati suri. Bravo Pers Indonesia!
Koran Pak Oles/Edisi 169/16-28 Februari 2009
Thanks for reading Kelelahan Orientasi Pers

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar