Oleh: Virna Puspa Setyorini
Deklarasi Kelautan Manado (Manado Ocean Declararation/ MOD) menjadi tujuan akhir dari pelaksanaan Konferensi Kelautan Dunia di Manado, Sulawesi Utara. Namun, menurut Direktur Pesisir dan Lautan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Ida Kusuma W, secara sederhana Indonesia menginginkan agar laut diperhitungkan dalam setiap pembahasan di KTT Perubahan Iklim PBB. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dimana dua per tiga bagiannya merupakan lautan. Sehingga wajar, menurut Ida, jika 60% dari 230 juta penduduknya yang hidup di pesisir menggantungkan hidupnya pada laut.
Sebagai pemilik bagian terbesar dari segitiga terumbu karang dunia, pakar lingkungan hidup Emil Salim mengatakan, tidak ada kekhawatiran untuk kekurangan pasokan sumber protein ikan. Karena kenyataanya 60 persen pasokan ikan dunia berasal dari segitiga terumbu karang ini.
Tidak heran perairan Indonesia sering menjadi incaran para pencuri ikan. Bahkan, menurut Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Riza Damanik, 10 negara dalam 10 tahun terakhir secara rutin mencuri ikan di wilayah Indonesia. Ke-10 negara yang mengeruk ikan dan biota laut lainnya milik Indonesia adalah Thailand, Filipina, Taiwan, Korea Selatan, Panama, Cina, Vietnam, Malaysia, Kamboja dan Myanmar.
Penangkapan berlebih membuat ketersediaan sumber daya ikan Indonesia terancam. Selain karena pencurian ikan oleh nelayan asing, masalah lain adalah penangkapan ikan dengan cara merusak oleh nelayan asing dan Indonesia sendiri masih sering terjadi. Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) DKP, Syamsul Ma`arif mengatakan, praktik penangkapan ikan dengan menggunakan bom, racun, pukat harimau, memang jadi masalah besar. Dan merusak terumbu karang Indonesia, yang secara tidak langsung akan menggangu cadangan ikan dunia.
Riza Damanik mengatakan, rusaknya terumbu karang dan terganggunya sumber daya ikan di perairan Indonesia juga disebabkan limbah tailing yang dibuang kelaut, pestisida pertanian yang mengalir kelaut, dan limbah budidaya maupun industri yang mengalir ke laut. Tidak heran, ia mendesak pemerintah melarang industri, pertambangan, budidaya hingga pertanian, membuang limbahnya ke laut.
Rusak dan berkurangnya hutan mangrove akibat penebangan liar, reklamasi, budidaya, juga menjadi masalah bagi kehidupan terumbu karang. Semua polutan yang masuk ke laut tidak lagi dapat tersaring oleh hutan mangrove. Proses panjang dari ulah manusia yang juga mengancam terumbu karang adalah pemanasan global yang timbul dari efek rumah kaca. Karbon yang bersifat panas yang dikeluarkan kendaraan bermotor, industri, rumah tangga, terperangkap di udara dan memanaskan suhu bumi. Terumbu karang rentan terhadap panas, karena itu pemanasan global dikhawatirkan dapat merusak terumbu karang sehingga mengganggu ketersediaan pangan dunia.
Ancaman
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar memiliki 17.480 pulau yang tersebar dari Sabang hingga Merauke, akan sulit mempertahankan jumlah tersebut akibat kenaikan muka laut sebagai dampak pemanasan global. Karena itu, menurut Emil Salim, kehilangan 2.000 pulau di tahun 2050 akibat pemanasan global tidak terhindar. Dan kondisi yang sama juga akan dirasakan negara kepulauan dan negara yang berbatasan dengan laut. Dampak hilangnya pulau-pulau di dunia sangat dasyat, karena secara otomatis wilayah kedaulatan suatu negara dapat bergeser.
Bahkan, negara-negara kepulauan kecil seperti Maladewa akan hilang dari permukaan bumi. ‘’Pulau mereka hanya 1,3 meter di atas permukaan laut, dengan peningkatan paras laut 2,53 mili meter per tahun, Maladewa akan tenggelam pada 2050,’’ ujar mantan Menteri Lingkungan Hidup ini. Untuk itu, ia mengatakan, keberhasilan Konferensi Kelautan Dunia sebagai upaya preventif bersama melindungi lautan dari dampak pemanasan global sangat diharapkan.
Laut, yang menurut pakar lingkungan hidup Emil Salim, mencapai dua per tiga luas bumi belum pernah secara serius dibahas dalam agenda pencegahan dampak pemanasan global. Selama ini hutan yang selalu menjadi topik utama dalam setiap pembahasan terkait penyerapan karbon. Padahal sebagian pakar kelautan mengatakan laut pun berpotensi menyerap karbon. Meski begitu, mantan Menteri Lingkungan Hidup ini mengatakan, kebenaran tentang kemampuan laut menyerap karbon belum sepenuhnya terbukti. Karena itu, jika Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi berani mengatakan bahwa laut menyerap karbon lebih besar dari daratan, Emil Salim justru mengatakan daratan tetap lebih besar menyerap karbon. ‘’Setiap bagian dari laut itu berbeda-beda, karena itu perlu secara detil dilakukan penelitian. Laut di utara jelas berbeda dengan laut di selatan katulistiwa,’’ ujar dia.
Untuk itu, ia menyarankan agar ahli-ahli kelautan Indonesia sendiri yang harus meneliti kemampuan laut Indonesia menyerap karbon. Direktur Pesisir dan Lautan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Ida Kusuma W mengatakan, hal yang sama. Bahwa hingga saat ini ilmuwan belum sepakat soal kemampuan laut sebagai carbon sink. Tapi itu masalah global karena harus diselesaikan secara bersama-sama. MOD terus diperjuangkan pada KTT Perubahan Iklim di Kopenhagen, bulan November 2009, agar benar-benar diterima dan diratifikasi. Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) DKP, Syamsul Ma`arif mengatakan, harapan Indonesia adalah MOD dapat menjadi pelengkap dalam KTT Perubahan Iklim PBB.
Inisiatif Indonesia menyelenggarakan Konfrensi Kelautan Dunia pada 11-14 Mei, di Manado, menjadi harapan besar bangsa-bangsa di dunia untuk menyelamatkan sumber daya laut, serta mengurangi dampak pemanasan global. Ida Kusuma W mengatakan draf MOD dibuat sangat universal sehingga tidak ada pihak yang akan tersakiti. Jika draf tersebut disepakati oleh negara-negara yang hadir, maka pada tahap implementasi kebijakan akan disesuaikan dengan kondisi nasional, regional maupun internasional.
Draf MOD yang berisi tentang implementasi konservasi dengan manajemen jangka panjang yang bertujuan mensukseskan pembangunan internasional yang berkesinambungan, termasuk yang ada dalam Millenium Development Goal`s (MDG`s). Dengan implementasi manajemen laut dan pesisir secara terintegrasi, termasuk membuat zonasi, dan perencanaan penggunaan wilayah pesisir untuk meminimalisir dan mengurangi resiko dan mematikan komunitas pesisir serta menghancurkan infrastruktur penting di pesisir. Upaya pencegahan perubahan iklim sesuai kerangka kerja KTT Perubahan Iklim dan Protokol Kyoto pada masa krisis finansial global, promosikan low carbon economy.
Sosialisasi pemahaman yang lebih baik dan bagaimana pemanasan global sangat berpengaruh pada ekosistem, biodiversiti laut, dan komunitas pesisir, terutama di negara berkembang. Kerja sama penelitian dan observasi untuk meningkatkan pengetahuan atas dampak pemanasan global terhadap biodiversiti laut dan perikanan termasuk manfaat. Terakhir, pertukaran informasi terkait kesiapan menghadapi hal penting, memonitor, dan memproyeksikan perubahan iklim dan variabel laut, dan untuk meningkatkan pemahaman publik pada kapasitas sistem peringatan dini.
Samarnya komitmen untuk menghentikan pencurian ikan dan sumber daya laut yang dapat membahayakan keberadaan terumbu karang membuat sejumlah LSM di dalam negeri berteriak lantang. Riza Damanik dari Kiara bersama dengan pihak LSM lainnya menyayangkan tidak adanya upaya penghentian pencurian ikan. Padahal pencurian ikan jelas merugikan Indonesia dan membuat dunia rawan pangan. Ida Kusuma mengungkapkan diperhitungkannya laut sebagai penyebab pemanasan global tentu akan menguntungkan, karena dana penelitian untuk melawan perubahan global akan juga disalurkan pada laut. Penelitian kelautan yang memang mahal akan menjadi ringan jika dukungan dana secara internasional untuk melakukan.
Namun Emil Salim mengingatkan agar Indonesia tidak boleh meminta apapun, pada siapapun untuk menyelamatkan laut maupun terumbu karang karena itu sudah menjadi kewajiban dunia. Riza mengatakan, penyerapan karbon dari laut jangan sampai untuk mendapat dana. Karena ditakutkan lebih mengancam posisi tawar Indonesia. (Anspek)
KORAN PAK OLES/EDISI 175/16-31 MEI 2009
Deklarasi Kelautan Manado (Manado Ocean Declararation/ MOD) menjadi tujuan akhir dari pelaksanaan Konferensi Kelautan Dunia di Manado, Sulawesi Utara. Namun, menurut Direktur Pesisir dan Lautan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Ida Kusuma W, secara sederhana Indonesia menginginkan agar laut diperhitungkan dalam setiap pembahasan di KTT Perubahan Iklim PBB. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dimana dua per tiga bagiannya merupakan lautan. Sehingga wajar, menurut Ida, jika 60% dari 230 juta penduduknya yang hidup di pesisir menggantungkan hidupnya pada laut.
Sebagai pemilik bagian terbesar dari segitiga terumbu karang dunia, pakar lingkungan hidup Emil Salim mengatakan, tidak ada kekhawatiran untuk kekurangan pasokan sumber protein ikan. Karena kenyataanya 60 persen pasokan ikan dunia berasal dari segitiga terumbu karang ini.
Tidak heran perairan Indonesia sering menjadi incaran para pencuri ikan. Bahkan, menurut Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Riza Damanik, 10 negara dalam 10 tahun terakhir secara rutin mencuri ikan di wilayah Indonesia. Ke-10 negara yang mengeruk ikan dan biota laut lainnya milik Indonesia adalah Thailand, Filipina, Taiwan, Korea Selatan, Panama, Cina, Vietnam, Malaysia, Kamboja dan Myanmar.
Penangkapan berlebih membuat ketersediaan sumber daya ikan Indonesia terancam. Selain karena pencurian ikan oleh nelayan asing, masalah lain adalah penangkapan ikan dengan cara merusak oleh nelayan asing dan Indonesia sendiri masih sering terjadi. Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) DKP, Syamsul Ma`arif mengatakan, praktik penangkapan ikan dengan menggunakan bom, racun, pukat harimau, memang jadi masalah besar. Dan merusak terumbu karang Indonesia, yang secara tidak langsung akan menggangu cadangan ikan dunia.
Riza Damanik mengatakan, rusaknya terumbu karang dan terganggunya sumber daya ikan di perairan Indonesia juga disebabkan limbah tailing yang dibuang kelaut, pestisida pertanian yang mengalir kelaut, dan limbah budidaya maupun industri yang mengalir ke laut. Tidak heran, ia mendesak pemerintah melarang industri, pertambangan, budidaya hingga pertanian, membuang limbahnya ke laut.
Rusak dan berkurangnya hutan mangrove akibat penebangan liar, reklamasi, budidaya, juga menjadi masalah bagi kehidupan terumbu karang. Semua polutan yang masuk ke laut tidak lagi dapat tersaring oleh hutan mangrove. Proses panjang dari ulah manusia yang juga mengancam terumbu karang adalah pemanasan global yang timbul dari efek rumah kaca. Karbon yang bersifat panas yang dikeluarkan kendaraan bermotor, industri, rumah tangga, terperangkap di udara dan memanaskan suhu bumi. Terumbu karang rentan terhadap panas, karena itu pemanasan global dikhawatirkan dapat merusak terumbu karang sehingga mengganggu ketersediaan pangan dunia.
Ancaman
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar memiliki 17.480 pulau yang tersebar dari Sabang hingga Merauke, akan sulit mempertahankan jumlah tersebut akibat kenaikan muka laut sebagai dampak pemanasan global. Karena itu, menurut Emil Salim, kehilangan 2.000 pulau di tahun 2050 akibat pemanasan global tidak terhindar. Dan kondisi yang sama juga akan dirasakan negara kepulauan dan negara yang berbatasan dengan laut. Dampak hilangnya pulau-pulau di dunia sangat dasyat, karena secara otomatis wilayah kedaulatan suatu negara dapat bergeser.
Bahkan, negara-negara kepulauan kecil seperti Maladewa akan hilang dari permukaan bumi. ‘’Pulau mereka hanya 1,3 meter di atas permukaan laut, dengan peningkatan paras laut 2,53 mili meter per tahun, Maladewa akan tenggelam pada 2050,’’ ujar mantan Menteri Lingkungan Hidup ini. Untuk itu, ia mengatakan, keberhasilan Konferensi Kelautan Dunia sebagai upaya preventif bersama melindungi lautan dari dampak pemanasan global sangat diharapkan.
Laut, yang menurut pakar lingkungan hidup Emil Salim, mencapai dua per tiga luas bumi belum pernah secara serius dibahas dalam agenda pencegahan dampak pemanasan global. Selama ini hutan yang selalu menjadi topik utama dalam setiap pembahasan terkait penyerapan karbon. Padahal sebagian pakar kelautan mengatakan laut pun berpotensi menyerap karbon. Meski begitu, mantan Menteri Lingkungan Hidup ini mengatakan, kebenaran tentang kemampuan laut menyerap karbon belum sepenuhnya terbukti. Karena itu, jika Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi berani mengatakan bahwa laut menyerap karbon lebih besar dari daratan, Emil Salim justru mengatakan daratan tetap lebih besar menyerap karbon. ‘’Setiap bagian dari laut itu berbeda-beda, karena itu perlu secara detil dilakukan penelitian. Laut di utara jelas berbeda dengan laut di selatan katulistiwa,’’ ujar dia.
Untuk itu, ia menyarankan agar ahli-ahli kelautan Indonesia sendiri yang harus meneliti kemampuan laut Indonesia menyerap karbon. Direktur Pesisir dan Lautan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Ida Kusuma W mengatakan, hal yang sama. Bahwa hingga saat ini ilmuwan belum sepakat soal kemampuan laut sebagai carbon sink. Tapi itu masalah global karena harus diselesaikan secara bersama-sama. MOD terus diperjuangkan pada KTT Perubahan Iklim di Kopenhagen, bulan November 2009, agar benar-benar diterima dan diratifikasi. Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) DKP, Syamsul Ma`arif mengatakan, harapan Indonesia adalah MOD dapat menjadi pelengkap dalam KTT Perubahan Iklim PBB.
Inisiatif Indonesia menyelenggarakan Konfrensi Kelautan Dunia pada 11-14 Mei, di Manado, menjadi harapan besar bangsa-bangsa di dunia untuk menyelamatkan sumber daya laut, serta mengurangi dampak pemanasan global. Ida Kusuma W mengatakan draf MOD dibuat sangat universal sehingga tidak ada pihak yang akan tersakiti. Jika draf tersebut disepakati oleh negara-negara yang hadir, maka pada tahap implementasi kebijakan akan disesuaikan dengan kondisi nasional, regional maupun internasional.
Draf MOD yang berisi tentang implementasi konservasi dengan manajemen jangka panjang yang bertujuan mensukseskan pembangunan internasional yang berkesinambungan, termasuk yang ada dalam Millenium Development Goal`s (MDG`s). Dengan implementasi manajemen laut dan pesisir secara terintegrasi, termasuk membuat zonasi, dan perencanaan penggunaan wilayah pesisir untuk meminimalisir dan mengurangi resiko dan mematikan komunitas pesisir serta menghancurkan infrastruktur penting di pesisir. Upaya pencegahan perubahan iklim sesuai kerangka kerja KTT Perubahan Iklim dan Protokol Kyoto pada masa krisis finansial global, promosikan low carbon economy.
Sosialisasi pemahaman yang lebih baik dan bagaimana pemanasan global sangat berpengaruh pada ekosistem, biodiversiti laut, dan komunitas pesisir, terutama di negara berkembang. Kerja sama penelitian dan observasi untuk meningkatkan pengetahuan atas dampak pemanasan global terhadap biodiversiti laut dan perikanan termasuk manfaat. Terakhir, pertukaran informasi terkait kesiapan menghadapi hal penting, memonitor, dan memproyeksikan perubahan iklim dan variabel laut, dan untuk meningkatkan pemahaman publik pada kapasitas sistem peringatan dini.
Samarnya komitmen untuk menghentikan pencurian ikan dan sumber daya laut yang dapat membahayakan keberadaan terumbu karang membuat sejumlah LSM di dalam negeri berteriak lantang. Riza Damanik dari Kiara bersama dengan pihak LSM lainnya menyayangkan tidak adanya upaya penghentian pencurian ikan. Padahal pencurian ikan jelas merugikan Indonesia dan membuat dunia rawan pangan. Ida Kusuma mengungkapkan diperhitungkannya laut sebagai penyebab pemanasan global tentu akan menguntungkan, karena dana penelitian untuk melawan perubahan global akan juga disalurkan pada laut. Penelitian kelautan yang memang mahal akan menjadi ringan jika dukungan dana secara internasional untuk melakukan.
Namun Emil Salim mengingatkan agar Indonesia tidak boleh meminta apapun, pada siapapun untuk menyelamatkan laut maupun terumbu karang karena itu sudah menjadi kewajiban dunia. Riza mengatakan, penyerapan karbon dari laut jangan sampai untuk mendapat dana. Karena ditakutkan lebih mengancam posisi tawar Indonesia. (Anspek)
KORAN PAK OLES/EDISI 175/16-31 MEI 2009


0 komentar:
Posting Komentar