Home » , » Trend Gelombang Hijau Baru

Trend Gelombang Hijau Baru

Masyarakat negara maju dalam beberapa tahun terakhir lebih menyukai pengobatan tradisional yang menggunakan bahan dari tumbuh-tumbuhan, padahal sebelumnya mereka diketahui menggunakan obat bahan sintetik.
"Indikasi menyukai obat tradisional untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit kini semakin meluas ke berbagai negara di belahan dunia," kata Prof dr I Gusti Ngurah Nala dari Program Studi Ayurweda Fakultas Kesehatan Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar, Minggu (24/5).
Ia mengatakan, kecenderungan masyarakat luas menggunakan obat-obat tradisional di berbagai negara itu lebih dikenal dengan sebutan "Gelombang hijau baru" (new green wave). Kondisi itu dipicu adanya efek sampingan dari obat sintetik dan antibiotika, di samping perkembangan pendapat umum, baik di negara barat maupun timur, bahwa pemanfaatan bahan yang bersifat alami lebih aman dari bahan yang mengandung zat kimia.
Prof Ngurah Nala yang juga guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana itu menilai, semakin meningkatnya kekhawatiran masyarakat dunia terhadap dampak negatif penggunaan obat-obat sintetik, mulai mencanangkan gerakan kembali ke alam (back to nature).
Gerakan tersebut dimaksudkan untuk kembali menggunakan obat-obatan tradisional yang ramuannya dari bahan alami yang banyak terdapat di sekitar lingkungan tempat bermukim.
Kondisi tersebut merupakan sebuah tantangan sekaligus peluang untuk segera diantisipasi dengan cepat dan tepat. Para ilmuwan dituntut untuk mampu mengembangkan pengobatan tradisional yang lahir dari bakat kearifan para leluhur.
Negara besar yang memiliki tradisi pengobatan tradisional sejak zaman dulu, selain Indonesia juga India, Cina, Korea dan Jepang.
Untuk itu Indonesia harus memanfaatkan momentum tersebut secara terencana untuk mengintensifkan usaha pengobatan tradisional.
Guna mendukung upaya tersebut kini telah dibentuk Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) yang memiliki dua sub balai masing-masing berlokasi di Sumatera Barat dan Lampung. Selain itu ada 12 kebun percobaan berbagai jenis tanaman obat-obatan yang tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Maluku, tutur Prof Nala.
Kurang Dana
Sementara peneliti Pusat Biologi LIPI Prof.Dr. Chairul Apt menilai kurangnya dana menjadi salah satu hambatan bagi berkembangnya penelitian potensi tanaman di Indonesia, sehingga sebagai bahan baku obat dan bahan pangan alternatif belum digali dengan maksimal. "Kalau di Amerika, untuk penelitian satu jenis tanaman saja menghabiskan dana 15 sampai 20 juta dolar dalam satu tahun," katanya di Cibinong, Jawa Barat, Selasa (19/5).
Menurut Chairul, pemerintah hanya memberikan dana sekitar Rp100 juta hingga Rp150 juta untuk penelitian beberapa jenis tanaman. "Padahal Indonesia ini punya koleksi tanaman paling lengkap se-Asia Tenggara," kata peneliti senior Puslit Biologi tersebut.
Chairul mengatakan sekarang hanya 10 persen jenis tanaman yang diteliti berbagai institusi dari seluruh jenis tanaman di Indonesia yang berjumlah sekitar 25 ribu hingga 30 ribu jenis tanaman. "LIPI sendiri baru meneliti sekitar dua ratus sampai tiga ratus jenis tanaman," kata Chairul.
Mengenai dana penelitian dari pemerintah, Kepala Bidang Botani Puslit Biologi LIPI Prof. Dr. Eko Baroto Waluyo mengatakan pemerintah menyediakan dana Rp125 juta hingga Rp225 juta untuk beberapa proposal proyek penelitian yang dikerjakan oleh lima hingga enam peneliti. Ia menambahkan dana tersebut sudah mencakup honor peneliti hingga pegawai pembantu proyek penelitian. "Satu penelitian membutuhkan waktu minimal tiga tahun," kata Eko dikutip Antara.
KORAN PAK OLES/EDISI 176/1-15 JUNI 2009
Thanks for reading Trend Gelombang Hijau Baru

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar