Home » » Demokrasi & Perut Lapar

Demokrasi & Perut Lapar

Demokrasi tidak pernah lahir di tempat penduduk desa yang perutnya lapar. Sebaliknya budaya demokrasi mudah bertumbuh di saat perut “wong cilik” kenyang. Hubungan demokrasi sebagai sistem politik dengan kemakmuran rakyat tak dapat dipisahkan. Tak heran Amartya Sen, mantan guru besar Universitas Harvard, AS, seorang pemenang Nobel di bidang ekonomi, menyebut peristiwa terpenting yang mendominasi kehidupan manusia abad 20 silam adalah demokrasi!
Kekuasaan monarki absolut tumbang ketika rakyat menuntut persamaan hak & kewajiban, kebebasan dan kemerdekaan pribadi. Sejarah demokrasi amat panjang dan penuh kisah yang tertulis maupun terpahat di hati manusia. Pada tahun 1215 di Inggris, eksistensi demokrasi dipertegas dalam Magna Charta Libertatum, disertai penegakan dengan pertumpahan darah dan taruhan nyawa dalam revolusi Amerika dan Perancis pada abad ke-18. Kekuasaan kerajaan tumbang dan diganti oleh pemerintahan republik. Kemudian sistem demokrasi itu diimplementasikan di Eropa dan Amerika Utara pada abad ke-19 dalam bentuk pemungutan suara.
Baru pada abad 20, demokrasi diterima di mana-mana sebagai sistem politik yang normal. Meski terjadi tarik menarik wewenang antara hak pemerintah dan hak rakyat, namun demokrasi paling tidak menjadi model terbaik membangun sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Pengakuan Amartya bukan sekedar cuap-cuap teoretis tetapi ilmuwan kesohor ini telah membuka landskap pemahaman komprehensif bahwa ada korelasi kuat antara demokrasi dan kelaparan rakyat di suatu negara, antara kemacetan nilai-nilai demokrasi dan menurunnya kesejahteraan masyarakat, dan atau antara pengekangan kehidupan demokrasi dan kemelaratan nelayan di sebuah negara maritim.
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan bangsa dan negara Indonesia menjadi miniatur pelajaran historis kebenaran pendapat Amartya. Cornelis de Houtman asal negeri Kincir Angin, Belanda berulang kali menelan air liur melihat lezatnya kekayaan alam bumi Nusantara. Apalagi Kerajaan Ternate dan Tidore di Maluku kala itu benar-benar bertumpu pada hasil bumi.
Pada tahun 1945, Indonesia memproklamirkan diri sebagai negara merdeka secara de fakto dan de jure. Namun Belanda dan sekutunya kembali melakukan invansi militer untuk menguasai kembali negeri kolam susu dan madu ini. Mereka sudah merasakan sendiri bahwa hasil perkebunan dan pertanian di Indonesia telah mendatangkan keuntungan berjuta-juta golden bagi APBD Belanda yang sempat defisit.
Fakta historis di atas seharusnya menjadi suatu kebanggaan bagi ratusan juta manusia yang lahir di Republik ini bahwa mereka menjadi penduduk di wilayah yang kaya akan sumber daya alam. Apalagi sebagai negara kepulauan, luas lautan melebihi 70% dari luas daratan ini. Ini berarti masa depan rakyat ini ada di laut.
Namun sebuah perasaan sedih dan duka yang menyayat hati sekaligus rasa malu tak terkira bahwa penduduk negeri ini hidup melarat. Bahkan untuk membangun negaranya saja terpaksa menjadi bangsa pengemis dan peminta-minta di mata donatur internasional. Lebih melukai perasaan kemanusiaan, ratusan ribu warga negara ini terpaksa menyambung hidup di negeri lain. Ada yang diperkosa, dianiaya dan mati terbunuh. Sebegitu rendahkah harga diri manusia Indoneia. Apa yang salah di negeri tercinta ini. Pemerintah, pendidikan, tentara, wakil rakyat atau kita mendapat kutukan penguasa semesta menjadi ‘ayam yang kelaparan di atas tumpukan jerami’? Kutukan itu membuat mata hati kita buta untuk melihat kemampuan dan potensi diri yang luar biasa hebat.
Seacara tegas harus dikatakan bahwa kemiskinan dan keterbelakangan penduduk negeri ini akibat pemasungan dan pengkhianatan penguasa terhadap pertumbuhan nilai-nilai demokrasi. Sejak awal pendiriannya, para founding fathers telah meletakan dasar negara Republik sebagai bentuk negara ideal yang mendekati negara demokrasi.
Ternyata kapitalisme global yang menjadi “racun demokrasi” ditambah dengan pemerintah yang korup telah memberikan bencana yang maha dahsyat bagi semua generasi di Indonesia. Kita berharap ekonomi kerakyatan yang diusung setiap capres dan cawapres kita tidak sebatas materi kampanye merebut mandat rakyat pada pilpres Juni 2009.
KORAN PAK OLES/EDISI 175/16-31 MEI 2009
Thanks for reading Demokrasi & Perut Lapar

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar