Home » » Denyut Ekonomi Di Masa Kolonial

Denyut Ekonomi Di Masa Kolonial

Judul: Bertahan di Tengah Krisis; Komunitas Tionghoa dan Ekonomi Kota Cirebon
Penulis : Abdul Wahid
Penerbit : Ombak, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : xxii + 184 halaman
Peresensi : Humaidiy AS*
Banyak penganut teori modernisme percaya bahwa sejarah manusia yang bersifat linier ini akan mencapai tahap akhir di mana nilai-nilai kapitalisme dan demokrasi liberal akan menjadi ideologi hegemonik tanpa tanding. Digambarkan pula bahwa seluruh aspek kehidupan umat manusia, baik ekonomi, politik maupun sosial akan sangat kental diwarnai oleh norma-norma kapitalisme sebagai konsekuensi dari terintegrasinya ekonomi nasional dalam kapitalisme global. Namun, siapa mengira terjadinya krisis ekonomi Asia, khususnya di Indonesia, Thailand dan Korea Selatan pada 1997 lalu mulai menimbulkan keraguan akan argumentasi teori modernisme tersebut.
Begitu mendalam dan luasnya pengaruh krisis, sehingga membuat krisis ekonomi 1997 cepat menjadi krisis total di segala bidang yang diantara dampak pentingnya adalah terkikis habisnya pondasi ekonomi yang telah menopang rezim Orde Baru lebih dari tiga dekade lamanya. Begitu dramatisnya dampak krisis 1997, sehingga menarik banyak akademisi dari berbagai disisplin ilmu untuk menganalisis latar belakang fenemona keruntuhan ekonomi yang terjadi karena memiliki kecendrungan yang berulang meski dalam kualitas yang berbeda.
Sebagaimana judulnya, buku Bertahan di Tengah Krisis; Komunitas Tionghoa dan Ekonomi Kota Cirebon yang ditulis oleh Abdul Wahid ini mencoba mengkaji fenomena krisis ekonomi dalam konteks sejarah Indonesia yang dikhususkannya pada fenomena depresi ekonomi tahun 1930-an pada masa kolonial. Dalam kajian sejarah ekonomi Indonesia, depresi ekonomi 1930 merupakan salah satu krisis yang skala dampaknya dianggap menyerupai krisis ekonomi tahun 1997, bahkan lebih dahysat pengaruhnya daripada krisis keuangan global yang menimpa masyarakat kita saat ini. Menariknya, pembahasan buku ini secara khusus mencermati peran komunitas Tionghoa di tengah percaturan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam balutan konteks Cirebon dan wilayah sekitarnya.
Sejak abad ke-16, kota Cirebon memang merupakan salah satu kota yang terletak di kawasan pantai utara Jawa. Sejak awal perkembangannya, kota ini menjadi bagian aktif dari dinamika perdagangan periode awal di nusantara. Karenanya wajar jika kota ini menjadi salah satu titik persinggahan yang dikenal sebagai “Jalur Sutra” dan pusat terpenting aktivitas perdagangan. Sebagai kota pelabuhan, Cirebon pada masa itu dengan cepat mengalami perkembangan, baik dari segi sosial, politik, maupun ekonomi masyarakatnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kemudian Cirebon dengan cepat berubah menjadi kota ‘kosmopolitan’ yang dihuni oleh beragam etnik (hal. 8). Adapun komunitas Tionghoa merupakan kelompok pedagang terpenting yang cukup mempengaruhi aktivitas perdagangan di Cirebon. Mulai dari pedagang eceran, menengah dan besar. Sewaktu depresi ekonomi terjadi, denyut perekonomian masyarakat Cirebon yang banyak bergantung pada laju perdagangan mengalami kelesuan sehingga sangat mempengaruhi produktivitas perekonomian regional dan nasional secara menyeluruh, termasuk mengguncang daya survival masyarakat pribumi dan Tionghoa bahkan Pemerintah Kolonial yang menjadi penguasa. Depresi ekonomi yang dimulai antara tahun 1929-1939 ini diakui menjangkau seluruh dunia dan digambarkan sebagai kemunduran ekonomi terbesar yang terjadi pada paruh pertama abad ke-20. Sementara itu, bagi Indonesia depresi ekonomi tahun 1930-an merupakan bukti paling nyata bahwa perekonomian Indonesia telah terintegrasi dengan pasar internasional.
Fenomena depresi ekonomi tahun 1930-an merupakan salah satu tonggak penting dalam perkembangan ekonomi Indonesia di masa kolonial. Ada beberapa indikasi mengapa peristiwa itu dianggap memiliki makna historis yang cukup signifikan. Pertama, peristiwa itu memiliki pengaruh yang sangat luas dan mendalam terhadap aktivitas dan kondisi ekonomi berbagai komunitas sosial dalam masyarakat Indonesia. Kedua, depresi ekonomi ini juga berpengaruh terhadap perkembangan sosial-politik masyarakat Indonesia. Ketiga, sehubungan dengan itu, Pemerintah Kolonial harus mengikis habis kebijakan ekonominya dalam rangka politik etis, karena prinsip dasar mereka yang sebelumnya menolak intervensi dalam aktivitas ekonomi harus dicabut. Sebagai gantinya, mereka mulai menerapkan berbagai regulasi dan restrikrasi untuk menanggulangi dampak dari depresi ekonomi.
Melalui buku ini, pembaca tidak hanya akan mendapat pemahaman sejarah bagaimana komunitas Tionghoa sebagai bangsa penjelajah dunia sampai ke nusantara yang mencapai puncaknya pada 1860-an dan 1930-an (hal.77). Lebih dari itu, Wahid dengan sangat terperinci menjabarkan bagaimana komunitas ini muncul sebagai kelompok paling progresif dalam memanfaatkan berbagai kesempatan ekonomi yang tersedia. Wawasan cakrawala kita juga semakin bertambah tidak hanya pada aspek ekonomi dalam rentang waktu tersebut, tetapi juga aspek-aspek sosial-politik yang melingkupinya.
*)Staf Pendidik pada MTs. Ali Maksum Ponpes Krapyak dan Aktivis pada Lembaga Kajian Agama dan Swadaya Umat (LeKAS) Yogyakarta.
KORAN PAK OLES/EDISI 175/16-31 MEI 2009
Thanks for reading Denyut Ekonomi Di Masa Kolonial

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar