Home » » Tolak Premanisme Terhadap Wartawan!

Tolak Premanisme Terhadap Wartawan!

Oleh: A. Zaenurrofik*
Pembunuhan terhadap wartawan Radar Bali (Jawa Pos Group) Anak Agung Gde Bagus Narendra Prabangsa merupakan tragedi demokrasi. Sebuah pemasungan terhadap kebebasan pers di negeri yang konon telah meninggalkan sistem kediktatoran ini. Prabangsa dibunuh gara-gara ia menulis berita mengenai penyimpangan proyek atau kasus korupsi di Dinas Pendidikan Bangli (Jawa Pos, 26-27/5/2009).
Kejadian ini sangat tak terduga. Karena banyak pihak beranggapan bahwa setelah reformasi terbuka bersamaan dengan tumbangnya pemerintahan Soeharto di tahun 1998, pers sebagai penjaga kebebasan informasi mendapatkan ruangnya yang lapang dan mampu menjaga pilar-pilar demokrasi suatu bangsa.
Ternyata masih saja ada bahaya laten bagi kerja-kerja jurnalistik. Tentu kita masih ingat kasus pembunuhan terhadap Udin di era Orde Baru. Kasus yang hingga saat ini masih belum terkuak secara penuh. Bahkan kelihatannya masyarakat tidak dapat lagi berharap kasus pembunuhan wartawan Bernas Fuad Muhammad Syafruddin itu diungkap. Tidak ada perkembangan penanganan kasus tersebut dari kepolisian. Padahal, hanya dengan bekal hasil penyelidikan polisi pada 1996 silam seharusnya dapat dijadikan bahan pengungkapan kasus tersebut.
Kekuatan Anti-demokrasi.
Wartawan selalu berusaha menguak apa yang ingin disembunyikan oleh suatu pihak yang punya agenda tidak transparan dan membahayakan rakyat banyak. Kasus korupsi, misalnya, seringkali terbongkar dan disadari sebagai bahaya negara ketika para jurnalis menguaknya. Koruptor, kolaborator, dan agenda-agenda busuk pejabat dan pengusaha tentunya berusaha menghindar —bahkan kalau perlu menyingkirkan— mereka yang disebut jurnalis/wartawan. Para kuli tinta adalah pengantar informasi ke hadapan publik. Setiap kasak-kusuk perbuatan dan tindakan yang anti-demokrasi maupun merugikan publik selalu berusaha menyingkirkan wartawan.
Hal itu masih seringkali terjadi bahkan di era informasi sudah bebas dalam aras ‘komunikasi bebas hambatan’ —begitu meminjam istilah dari Jurgen Habermas (pemikir mazhab Frankfurt). Ternyata kasus kekerasan berupa pembunuhan yang dialami Prabangsa juga bukan satu-satunya. Data Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH-Pers), sepanjang 2008 terdapat 32 pengaduan kasus kekerasan terhadap pers. Angka tersebut meningkat dibanding posisi 2007 yang hanya terdapat 25 kasus. Kasus-kasus tersebut biasanya berupa penganiayaan, pemukulan, pelemparan, dan pengeroyokan. Data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) malah lebih besar. Sepanjang 2008, terdapat 60 kasus kekerasan terhadap wartawan, yang terdiri atas serangan fisik (21 kasus), ancaman (19 kasus), pengusiran dan larangan meliput (9 kasus), tuntutan hukum (6 kasus), sensor (3 kasus), demonstrasi (1 kasus), dan penyanderaan (1 kasus). Secara kumulatif sejak Mei 1999 hingga 2007, AJI mencatat 453 kekerasan terhadap pers.
UU Nomor 40/1999 tentang Pers sebenarnya sudah memberi landasan kuat perlindungan terhadap wartawan. Dalam pasal 8 disebutkan, "Dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum." Disebutkan pula bahwa setiap orang yang menghambat pelaksanaan kegiatan jurnalistik bisa dijerat pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.
Tentu tidak mudah menghentikan tindakan untuk mencegah kekerasan dan pembungkaman terhadap pers, khususnya membungkam wartawan. Memang tak sedikit wartawan yang mudah disumpal dengan uang sogokan berupa amplop. Tetapi juga tak sedikit jurnalis yang punya idealisme maju, yang ingin menguak segala kejadian yang melanggar keadilan dan demokrasi. Semuanya akan kembali pada komitmen banyak pihak. Apa yang diungkapkan Dirjen Unesco Koichiro Matsuura dalam peringatan World Press Freedom Day, 3 Mei lalu, bahwa "a free press is not a luxury that can wait until more peaceful times. It is, rather, part of the very process through which they may be achieved", agaknya sangat relevan. Artinya, upaya mewujudkan kebebasan pers dan penghapusan kekerasan terhadap pers membutuhkan komitmen semua elemen masyarakat.
Itupun tidak mudah ketika prinsip-prinsip demokrasi dan HAM saat ini juga dilupakan dan jauh dari kesadaran masyarakat. Tak sedikit pihak yang menjauhkan HAM dan demokrasi sebagai prinsip yang penting. HAM dituduh semata-mata produk dari Barat, termasuk demokrasi. Dan orang digiring ke arah cara berpikir fasistik, fatalis, yang menganggap suatu yang “tak nyata” atau “hal gaib” sebagai kekuatan yang dapat mengatur. Padahal demokrasi membutuhkan kejelasan agar terjadi kompetisi dan kontestasi yang sehat.
Wartawan, sebagai pilar demokrasi yang penting, harus mendapatkan dukungan moral. Kasus Prabangsa seyogyanya kita jadikan peringatan bahwa wartawan masih membutuhkan perlindungan, dukungan moral, serta bantuan lainnya. Di negeri ini, wartawan kadang masih belum mendapatkan kesejahteraan, pembelaan dari penegak hukum saat mereka mendapatkan perlakuan kekerasan. Kekuatannya masih bertumpu pada solidaritas antar sesama wartawan ketika ada kasus-kasus kekerasan terhadap mereka. Bisa jadi karena kesadaran rakyat akan kebebasan kembali menurun.
Kita ingat bagaimana solidaritas diberikan bukan hanya oleh sesama pekerja pers ketika ada kasus Udin, juga kasus pembreidelan Majalah Tempo di era Soeharto. Berbagai lapisan masyarakat, mahasiswa, buruh, tani, seniman, intelektual, hingga akademisi melakukan dukungan moral hingga terjun melakukan aksi demonstrasi. Itu menunjukkan adanya kesadaran yang maju warga negara terhadap kebebasan pers. Karena pers memanglah suatu kekuatan yang harus dijaga demi demokrasi kita!
*)Peneliti Center for Social Science and Religion (CSSR), Surabaya
KORAN PAK OLES/EDISI 176/1-15 JUNI 2009

Thanks for reading Tolak Premanisme Terhadap Wartawan!

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar