Home » , » Pemakaian Obat Herbal Terbentur Syarat Uji Klinis

Pemakaian Obat Herbal Terbentur Syarat Uji Klinis

Oleh: Evarianus M Supar
Negeri Nusantara yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari Timor sampai ke Talaud, sejak dahulu kala sangat terkenal dengan kekayaan rempah-rempahnya.
Selain rempah-rempah, negeri ini juga masih menyimpan banyak kekayaan alam lain, misalnya tanaman khas asli Indonesia yang mengandung khaziat untuk menyembuhkan berbagai penyakit.
Pakar ilmu Farmakologi dan Terapeutik pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof dr Amir Syarif SKM SpF(K) menyebut sekitar 900 sampai 1.000 jenis tanaman asli Indonesia yang sangat berguna bagi dunia kesehatan di masa depan.
Dari jenis tanaman sebanyak itu, baru sekitar lima jenis yang telah mendapat pengakuan dari Balai Penelitian Obat dan Makanan (BPOM) sebagai tanaman yang bermanfaat bagi kesehatan manusia, yaitu temulawak, jahe, kencur, sambiloto, dan pegagan.
Di luar itu, tidak ada pihak yang bisa menjamin bahwa tanaman asli Indonesia lainnya bisa berfungsi sebagai obat yang digunakan secara resmi dalam dunia kedokteran.
Padahal dalam kenyataan, tanaman dan ramuan tradisional Indonesia seperti mahkota dewa, buah merah di Papua, bawang putih, kumis kucing, meniran, daun sirih dan lainnya telah digunakan secara turun-temurun.
Tanaman obat yang dikenal dengan obat herbal itu kini, bahkan, digunakan klinik-klinik moderen untuk menyembuhkan pasiennya.
Jika demikian, muncul pertanyaan mengapa obat-obatan alami asli Indonesia itu tidak dapat dijadikan obat resmi dalam dunia kesehatan dan kedokteran untuk penyembuhan pasien?
Prof Amir mengungkapkan, di pasaran dikenal tiga jenis obat bahan alam yaitu obat tradisional, obat herbal terstandard, dan fitofarmaka. Pengembangan obat bahan alam harus melalui prinsip-prinsip ilmiah.
Menurut dia, itu bisa berawal dari obat tradisional atau dari tanaman yang diduga memiliki khasiat sebagai obat. Bila obat tradisional telah dibuktikan khasiat dan keamanannya melalui uji klinik, maka obat tersebut digolongkan sebagai fitofarmaka.
Sedikitnya ada empat tahap yang mesti dilalui untuk menjadi fitofarmaka, yaitu standardisasi bahan baku dari tanaman, pembuktian terbebas dari bahan cemaran, uji praklinik, dan uji klinik terhadap khasiat dan keamanannya.
Sementara obat herbal terstandard adalah obat bahan alam yang bahan bakunya telah mengalami standardisasi dan telah melalui tahapan uji praklinik.
Saat ini, kata Amir, uji fitofarmaka belum banyak dilakukan pada obat-obatan alamiah di Indonesia, demikian halnya dengan uji klinis.
Karena itu, jika obat-obatan alami ini sudah digunakan oleh klinik-klinik kesehatan, maka klinik kesehatan tersebut harus mendapat izin resmi dari Departemen Kesehatan.
Dengan demikian, jika penggunaan obat dimaksud menimbulkan efek samping yang membahayakan kesehatan pasien maka pengelola klinik dimaksud bisa dituntut secara hukum.
Dengan kondisi seperti itu, kata dia, umumnya kalangan dokter di Indonesia sangat berhati-hati dalam merekomendasikan pasiennya untuk mengkonsumsi obat herbal.
Dengan proses yang sangat rumit dan menghabiskan dana yang tidak sedikit, berbagai obat alami tradisional Indonesia sangat sulit meningkat statusnya menjadi obat resmi yang digunakan dalam bidang kedokteran.
Sementara itu penelitian dan pengembangan ilmu pengobatan herbal di Indonesia masih jauh tertinggal dari negara lain seperti China dan Korea Selatan.
"Kalau di China dan Korea memang sudah dikembangkan dari dulu, bahkan pengobatan herbal punya sekolah khusus sehingga lebih maju," kata Prof Amir.
Meski terlambat memulai, kata dia, pengembangan bidang pengobatan herbal di Indonesia cukup prospektif dengan penanaman obat-obatan alamiah di Tawangmangu secara besar-besaran dan mulai tersinkronisasinya program antar departemen terkait dan dunia Perguruan Tinggi.
Melalui cara itu, Prof Amir berharap ke depan Indonesia tidak lagi bergantung kepada suplai obat herbal dari luar negeri namun bisa menghasilkan obat sendiri yang bisa disuplai ke negara lain.
Masih berkaitan dengan pengembangan ilmu pengobatan herbal di Indonesia, Fakultas Kedokteran UI berencana membuka program studi herbal Indonesia taraf magister (strata dua).
Dr dr Ernie H Purwaningsih MS selaku Ketua Program Studi Farmasi Kedokteran Fakultas Kedokteran UI mengatakan, saat ini jajarannya tengah mengajukan proposal pembentukan program studi herbal Indonesia ke Badan Pengkajian Mutu Akademik.
Menurut Ernie, ke depan diharapkan program studi baru ini akan terlibat dan menghasilkan penelitian yang terintegrasi di bidang herbal yang pada gilirannya akan terbentuk kolegium herbal medik, keperawatan herbal, dan estetika Indonesia.
"Melalui program ini nantinya semua magister akan menghasilkan penelitian yang terintegrasi dan diharapkan bisa terpublikasi secara internasional," kata Ernie.
Ernie juga mengakui penelitian dan pengembangan ilmu herbal di Indonesia sangat jauh tertinggal dari China mengingat standard uji kliniknya disesuaikan dengan standard setempat.
Namun obat-obatan herbal yang telah lulus standard uji klinik di China tidak serta-merta diberlakukan di Indonesia karena di Indonesia semua obat yang beredar harus memenuhi Efidensia Based Metsin (EBM) atau bukti ilmiah yang menunjukan bahwa pemakaian obat tersebut tanpa menimbulkan efek samping yang berbahaya.
Dalam kaitan dengan hal ini, Ernie meminta pemerintah melalui Depkes melakukan pengawasan yang ketat terhadap menjamurnya berbagai produk obat herbal luar negeri khususnya dari China dan Korea yang beredar di Indonesia saat ini.
"Siapa yang awasi mereka, lalu siapa yang memberi ijin? Kalau tidak diawasi maka secara tidak langsung akan mematikan produk Indonesia. Kita harus cegah tanaman kita diambil lalu diproduksi oleh China," kata Ernie.
Ia mengatakan, pengawasan terhadap berbagai produk luar negeri harus lebih diperketat untuk menghindari terjadinya manipulasi sebagaimana kasus penggandaan mahkota dewa dengan teknologi kultur jaringan oleh seorang peneliti Jepang beberapa waktu lalu.
Akibat tindakan tanpa izin itu, saat ini hak paten mahkota dewa jatuh ke tangan orang Jepang. Hal serupa juga terjadi pada tanaman temulawak yang menghasilkan minyak atsiri yang kini sudah dipatenkan di Korea Selatan.
"Makanya kita harus `concern` untuk pendidikan herbal agar masyarakat dan pemerintah tahu produk kita banyak yang dicuri. Jangan hanya bicara, tetapi tidak ada tindakan," tutur Ernie.
Ia menyayangkan masih tumpang tindihnya penelitian herbal di Indonesia dan terkesan masing-masing institusi berjalan sendiri-sendiri.
Beberapa Perguruan Tinggi yang terlibat dalam penelitian dan pengembangan ilmu herbal di Indonesia seperti Universitas Sumatera Utara (USU) yang khusus fokus pada bidang bahan kimia aktif, Universitas Gajah Mada (UGM) dengan pusat studi hansernya, dan Universitas Airlangga (UNAIR) dengan fokus pengobatan alam yang berasal dari laut.
Penelitian herbal juga dilakukan pakar dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Departemen Kesehatan, Departemen Pertanian, dan Kementerian Riset dan Teknologi.
Meski lembaga yang terlibat dalam penelitian herbal cukup banyak, Indonesia tidak memiliki "data based" nasional yang mencantumkan jumlah bahan tanaman alami yang sudah diteliti dengan berbagai keunggulan kandungan obatnya.
"Jika semua itu dikumpul dan dipublikasikan secara bersama ke dunia internasional tentu publik akan mengetahui bahwa Indonesia tidak kalah dari negara lain dalam menghasilkan obat alami yang bermanfaat bagi kesehatan manusia," tutur Ernie. (Anspek)
KORAN PAK OLES/EDISI 176/1-15 JUNI 2009
Thanks for reading Pemakaian Obat Herbal Terbentur Syarat Uji Klinis

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar