Home » » Hutang-hutang Kita Pada Budi Utomo

Hutang-hutang Kita Pada Budi Utomo

Oleh: Andi Hermansyah*
Lebih dari seabad lalu, kesadaran akan sebuah arti pendidikan dan kemajuan bagi penduduk pribumi dimulai. Kesadaran yang menjadi babak baru dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, yang oleh Bung Karno dikatakan sebagai gerakan pelopor bagi gerakan kebangsaan di Indonesia. Budi Utomo telah menjadi organisasi pribumi pertama yang menyerukan perlunya kebangkitan bagi kaum pribumi. Meskipun sebelumnya terdapat organisasi seperti Mardiwara, yang beranggotakan para pembesar kalangan Kesultanan Keraton Yogya, namun sifatnya lebih kepada perkumpulan dan bukan gerakan. Kemudian ada perkumpulan bernama Suria Sumirat, yang merupakan perhimpunan bagi para pengrajin pribumi. Namun organisasi ini tidak pernah menyerukan akan pentingnya kemajuan pada golongan pribumi.
Kontroversi mengenai Budi Utomo sebagai sebuah organisasi pergerakan mewarnai perjalanannya. Pada jamannya, Budi utomo diidentikkan oleh Serikat Islam dan Indische Partij bukan sebagai organisasi gerakan, namun sebagi organisasi yang “omong-omong belaka”, karena watak organisasi yang dinilai oleh mereka kurang melakukan aksi dan tuntutan. M.C. Rickleft, guru besar pada Monash University, juga menganggap bahwa Budi Utomo merupakan “partai resmi” pemerintah kolonial.
Namun di tengah-tengah kontroversi Budi Utomo, kita banyak berhutang budi padanya. Upaya-upayanya sangat signifikan dalam melakukan banyak perubahan serta menjadi tonggak bagi perjuangan bangsa Indonesia. Hal inilah yang patut kita apresiasi karena turut mengkontribusi bagi kemajuan bangsa kita selanjutnya. Upayanya yang baru sebatas pada masyarakat Jawa, harus kita maknai bukan sebagi sebuah bentuk chauvinis, namun seperti yang di katakan oleh Suwarno, salah seorang pendiri Budi Utomo, lebih dikarenakan masih terbatasnya sumber daya organisasi, sehingga yang lebih mendapat prioritas pertama adalah menjaga keutuhan organisasi terlebih dahulu dengan menjaga organisasi agar tetap dalam “ukuran yang bisa ditangani” oleh organisasi.
Jasa-jasa Budi Utomo
Budi Utomo yang awal terbentuknya diilhami oleh dr. Wahidin, sangat peduli akan pendidikan bagi kalangan pribumi. Bagi Wahidin, yang diperlukan adalah pendidikan secukup-cukupnya pada masyarakat pribumi, serta mempertinggi kesadaran kebangsaan di kalangan Jawa. Pilihan bagi pribumi adalah berjuang atau hancur. Penyebarluasan pendidikan merupakan bentuk perjuangan yang sangat dianjurkan olehnya.
Wahidin adalah sosok pertama yang menuntut program beasiswa pada pemerintah kolonial. Sebelum Budi Utomo terbentuk, ia gencar mempropagandakan perlunya program beasiswa bagi kalangan pribumi yang cakap. Upayanya mendekati para bupati guna memberikan bantuan pendidikan, menimbulkan prasangka buruk kepadanya. Stigma pengganggu keamanan dan ketentraman segera melekat kepadanya. Para bupati tersebut tak ingin kedudukan istimewa mereka akan bergeser pada kalangan rendahan jika pendidikan meluas kepada penduduk kalangan bawah.
Guna meletakkan sendi pendidikan yang kuat, Budi Utomo menginginkan terhapusnya sikap feodal yang memberikan hak-hak istimewa kepada golongan tertentu. Segala kemuliaan yang melekat pada golongan tersebut harus dihapuskan. Pada sidangnya yang pertama, Soewarno selaku sekertaris organisasi menyatakan bahwa Budi Utomo harus bisa menghapuskan adat-istiadat yang dipandang dapat merugikan bagi tercapainya tujuan perjuangan dan organisasi. Ketua Budi Utomo yang pertama, R.A.A. Tirtokoesoemo memelopori gerakan tersebut. Ia dikenal sebagai bupati yang menggalakkan pendidikan bagi perempuan. Juga merupakan bupati pertama yang mengangkat anak perempuan menjadi kepala sekolah di daerahnya, Karanganyar. Hal ini tentu kebalikan dengan mereka yang berpandangan bahwa Budi Utomo merupakan organisasi yang masih bercorak feodal dan mengutamakan golongan tertentu.
Toleransi dan terbuka pada unsur-unsur lain, juga merupakan ciri dari Budi Utomo. Budi utomo sangat menghargai Kyai Ahmad Dahlan. Sebelum Muhammadiyah berdiri, Ahmad Dahlan menjadi anggota Budi Utomo. Gagasan keislamannya tak pernah dipertentangkan oleh anggota lainnya. Bahkan oleh Sekretaris kedua Budi Utomo, R. Sosrogondo menganjurkan pentingnya pengajaran agama di sekolah sekurang-kurangnya satu jam. Hal yang kemudian diikuti oleh pendidikan kita selanjutnya. Budi Utomo juga terbuka pada himpunan teosofi. Melalui wakil sekretarisnya di Hindia, seorang berkebangsaan Belanda bernama D. van Hinloopen Labberton pernah memberikan ceramah tentang agama dan tentang kebangkitan nasional di hadapan sekitar tiga ratus anggota Budi Utomo.
Sikap terbuka ini membawa keuntungan bagi Budi Utomo dan bangsa Indonesia selanjutnya. Dalam menyampaikan ceramahnya, secara keseluruhan Labberton menggunakan bahasa Melayu. Sebagai orang Belanda sekaligus pengkaji kebudayaan Jawa, ia sangat menguasai kedua bahasa tersebut. Namun ia sengaja memilih bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar dengan tujuan untuk menumbuhkan identitas bersama melalui kesamaan bahasa karena bahasa Melayu merupakan bahasa yang populer digunakan dalam pergaulan sehari-hari. Bagi Labberton, untuk mencapai kemajuan, penduduk pribumi tidak perlu mencangkokkan bahasa Belanda yang dianggap sulit kepada penduduk pribumi.
Setelah ceramah tersebut, terbuka kesadaran anggota Budi Utomo untuk menggunakan bahasa Melayu sebagi bahasa lingua franca. Pada kongresnya yang kedua, diusulkan agar seluruh pembicaraan dilakukan dengan menggunakan bahasa Melayu. Draft anggaran dasar organisasi juga disusun dengan menggunakan bahasa Melayu. Terbitan organisasi, Verslag Boedi Oetomo, juga ditulis dengan menggunakan bahasa Melayu, meskipun masih terdapat banyak istilah-istilah bahasa Belanda yang tidak di-melayu-kan. Dengan demikian, sebelum Sumpah Pemuda dikumandangkan, Budi Utomo telah memelopori penggunaan bahasa persatuan dengan menggunakan bahasa yang secara luas bisa dimengerti oleh masyarakat Indonesia.
Jika Bung Karno menerapkan taktik bekerjasama dengan Jepang guna mengambil manfaat bagi persiapan kemerdekaan Indonesia, Budi Utomo pun tak menampik perlunya bekerja sama dengan pemerintah kolonial. Pemerintah kolonial bermaksud membentuk milisi rakyat guna menghimpun kekuatan pertahanan sebagai akibat Perang Dunia I. Namun pembentukan milisi ini harus disertai dengan konsensi. Bupati Surabaya, Nitieadiningrat yang juga anggota Budi Utomo menyatakan “Kalau ada plicht (kewajiban) juga bakal ada recht (hak)”. Dan hak inilah yang diminta dengan pembentukan Volskraad atau dewan rakyat, sebagai wadah penyalur aspirasi masyarakat pribumi. Meskipun fungsinya tak sebaik perwakilan rakyat saat ini, setidaknya terdapat perwakilan pribumi yang bisa menyuarakan aspirasinya dengan jalan parlemen. Salah satu manfaatnya adalah ketika Bung Karno dibuang ke Ende dan kondisi kesehatannya memburuk. Thamrin melayangkan protes ke Volksraad, meminta agar Bung Karno dipindahkan ke daerah yang lebih bersahabat. Dan akhirnya, Bung Karno dipindahkan ke Bengkulu.
Masyarakat kita banyak berhutang pada Budi Utomo. Kemajuan pendidikan, pengadaan beasiswa, toleransi dan keterbukaan, penggunaan bahasa persatuan, cara-cara berdemokrasi dalam lembaga perwakilan tidak bisa dilepaskan dari upaya yang telah dirintis dan dibuka oleh Budi Utomo. Menjadi keharusan kita bersama untuk menlanjutkan rintisan tersebut supaya api semangat yang dioborkan oleh Budi Utomo tetap menyala.
*)Peneliti Lembaga Kajian Sosial dan Kebudayaan, Bandung.KORAN PAK OLES/EDISI 175/16-31 MEI 2009
Thanks for reading Hutang-hutang Kita Pada Budi Utomo

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar