Home » » Lingkungan, Politik Dan Kita

Lingkungan, Politik Dan Kita

Oleh: Mohamad Fathollah*
Lapisan ozon bumi semakin menipis. Atmosfer dan hawa panas kini mengelilingi kita. Di lain pihak, para penghuni bumi masih berada dalam kebiasaan buruknya dengan tidak memperhatikan ekosistem lingkungan. Membuang sampah sembarangan, menyumbangkan gas emisi berlebihan baik lewat kendaraan bermotor maupun asap rokok yang ditimbulkannya, mengeruk pasir di bibir pantai, menebang pohon yang menjadi pelindung terhadap erosi, serta kebiasaan konsumtif masyarakat modern.
Di lain pihak, pesta demokrasi dan pilpres mendatang dengan serta-merta menarik atensi seluruh masyarakat Indonesia pada pergolakan perpolitikan. Praksis kebutuhan hidup mayoritas masyarakat bersifat materialistik. Sementara kepentingan yang bersifat kemanusiaan dan ekologis tercerai-berai. Hanya demi kepentingan sesaat kita tanpa sadar diperbudak oleh hawa nafsu dan kuasa. Tanpa pernah mengoreksi apakah lingkungan kita bersih dan bebas dari banjir atau sanitasi dapat berjalan efektif ketika musim penghujan, misalnya. Apalagi kini kita akan memasuki musim pancaroba yang memungkinkan terjadinya banjir, tanah longsor, dan erosi.
Hasil kajian IPCC (2007) menunjukkan bahwa sejak tahun 1850 tercatat adanya 12 tahun terpanas berdasarkan data temperatur permukaan global. Kenaikan temperatur total dari tahun 1850-1899 sampai dengan tahun 2001-2005 adalah 0,76Ëš. Permukaan air laut rata-rata global telah meningkat dengan laju rata-rata 1.8 mm per-tahun dalam rentang waktu antara lain antara tahun 1961-2003. Kenaikan total permukaan air laut yang berhasil dicatat pada abad ke-20 diperkirakan 0,17 m. Laporan IPCC juga menyatakan bahwa kegiatan manusia ikut berperan dalam pemanasan global sejak pertengahan abad ke-20. Pemanasan global akan terus meningkat dengan percepatan yang lebih tinggi pada abad ke-21 apabila tidak ada upaya menanggulanginya.
Menjaga keseimbangan ekosistem adalah tanggung jawab seluruh umat manusia. Tidak hanya dalam tataran retorika, yang terkandung dalam ajaran ataupun nilai-nilai etika agamapun kita dapat menginternalisasikannya dengan tidak hanya memandang dogma agama sebagai teks mati. Persoalan agama tidak hanya berhenti pada ritual dan peribadatan semata, ia secara berkesinambungan dapat menjadi jalan hidup seseorang meraih moksha (keabadian). Kabajikan yang terkandung dalam ajaran agama dapat kita pahami dan kita jalani sebagai proses hidup yang menghidupi.
Proses penyucian diri misalnya, tidak melulu mengarah pada pembangunan spiritualitas tekstual belaka. Penyucian diri dapat dimaknai dengan menjalani pola hidup yang tidak melebihi pola kewajaran dan kesederhanaan. Sebab bagaimanapun juga pola hidup konsumtif seseorang secara bertahap dapat berpengaruh pada keseimbangan sosial dan lingkungan. Contoh kecilnya ialah seorang dengan kebiasaan hidup konsumtif secara tidak langsung dapat menyisakan banyak sampah di sekitar atau pembelian kendaraan bermotor yang meningkat setiap tahunnya tidak hanya memperkeruh susana jalan, lebih fatal adalah akibat asap knalpot dapat menyebabkan kehidupan terancam punah dan musnah.
Apabila hal demikian tidak diantisipasi secara bijak dan berkesinambungan maka tidak menutup kemungkinan kiamat atau kehancuran bumi dapat datang kapan saja. Bisa hari ini, besok, atau tahun depan.
Pencemaran lingkungan merupakan masalah kita bersama dan persoalan mendesak. Karena menyangkut keselamatan, kesehatan, dan kehidupan kita. Siapapun bisa berperan serta dalam menyelesaikan masalah pencemaran lingkungan ini. Penyelematan bumi dapat dimulai dari lingkungan terkecil, diri kita sendiri, sampai ke lingkungan yang lebih luas.
Manusia sempurna adalah yang bermanfaat bagi diri sendiri, orang lain dan lingkungannya. Apabila dirinya lepas dari tanggungjawab sosial dan tidak menjaga ekosistem alam dengan bijak, maka ia tidak akan mencapai kesempurnaan abadi dalam hubungan sosial ataupun dalam hubungan transendental.
Sebuah Eksistensi
Di tengah-tengah gempuran peradaban yang semakin tanpa tapal batas, kita sebagai bagian masyarakat global dituntut untuk maju dan melakukan kegiatan yang menunjang bagi keberlangsungan kehidupan diri kita, sesama kita, lingkungan kita dan negara.
Cita-cita kehidupan yang hijau hanya menjadi retorika absurd selagi kita masih mengedepankan egosentrisme kebutuhan hidup sehari-hari yang konsumeris, materialis, dan bersifat tersier dangan penggunaan alat-alat modern yang tidak aman bagi lingkungan sekitar. Sementara perda atau perpu yang membahas tentang lingkungan hidup belum menjadi kebiasaan hidup para elit politik kita kini. Para wakil rakyat dan calon pemimpin bangsa masih berkutat pada manuver politik atas kepentingan masing-masing individu ataupun partainya saja. Sementara kebutuhan rakyat –apalagi lingkungan hidup— belum menjadi agenda yang paling penting (impartive agenda) dalam gerakan politik mereka.
Adanya egosentrisme yang mewabah di setiap benak masyarakat kita kini sejatinya bukan disebabkan oleh problematika politik kekuasaan saja. Akan tetapi etika sosial kemasyarakatan (social-ethic) dan etika kemanusiaan (humanity-ethic) yang tidak menjadi ukuran keberhasilan dan tujuan setiap individu ataupun kelompok mengakibatkan seseorang apatis terhadap orang lain dan lingkungannya. Padahal apabila mengacu pada realitas sosial-lingkungan dewasa ini telah dengan nyata kita rasakan akibat semakin menipisnya lapisan ozon di atas bumi.
Apabila semua orang sudah sibuk dengan dirinya sendiri, kita sibuk dengan urusan kita dan para pemimpin bangsa sibuk dengan manuver politik parsial dan tanpa tujuan apakah kita dapat dikatakan sebagai manusia yang mempunyai eksistensi? Walaupun ukuran eksistensi atau keberadaan tiap individu tidak hanya diukur dari lingkungan, tapi setidaknya lingkungan hidup merupakan instrumen ekstra dan penting bagi keberlangsungan hidup yang hijau. Selain itu pencemaran sampah, lingkungan kotor, polusi udara, pencemaran pabrik, erosi, dan lainnya secara perlahan akan menyumbat aliran pernapasan kita. Apabila hal itu dibiarkan begitu saja dengan kebiasaan kita yang semakin tidak peduli pada lingkungan sekitar, maka eksistensi kita di bumi ini tidak akan berlangsung lama.
*)Sosiolog di Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Yogyakarta.
KORAN PAK OLES/EDISI 176/1-15 JUNI 2009
Thanks for reading Lingkungan, Politik Dan Kita

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

1 komentar:

  1. menjaga lingkungan dimulai dari kebiasaan hidup sehari-hari.

    Politik memang durhaka.

    BalasHapus