Oleh: Citra Senjaya
Konferensi Kelautan Dunia atau World Ocean Conference (WOC) dan Coral Triangle Initiative (CTI) bakal digelar di Manado, 11-15 Mei 2009. Sejumlah isu aktual yang membahas mengenai masa depan kelautan dunia, peran laut terhadap perubahan iklim, serta dampak perubahan iklim terhadap laut, bakal dibahas dalam konferensi yang akan dihadiri oleh delegasi dari sekitar 120 negara.
Dari sejumlah isu tersebut, salah satu topik bahasan yang cukup hangat dinantikan yakni kejelasan tentang kemungkinan penyerapan karbon (carbon sink) oleh laut. Produksi karbon dioksida (CO2) berlebih memicu terjadinya efek rumah kaca yang menjadi salah satu penyebab pemanasan global.
Adapun keberadaan terumbu karang di laut berperan penting dalam proses penyerapan karbon. Menurut Peneliti Bidang Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Kurnaen Sumadiharga, penyerapan karbon dalam proses asimilasi melalui media terumbu karang dimungkinkan terjadi, khususnya di kawasan Indonesia yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari lautan.
Proses fotosintesis mungkin dilakukan tumbuhan yang memiliki zat hijau daun atau klorofil. Terumbu karang terdiri dari unsur binatang karang bernama Polip yang melakukan simbiosis mutualisme dengan tumbuhan alga, yakni gangGang hijau. ‘’Tumbuhan inilah yang sesungguhnya melakukan proses fotosintesis, sekalipun di dalam air,’’ katanya.
Proses fotosintesis, memerlukan karbon dioksida (CO2) serta sinar matahari, yang selanjutnya menghasilkan oksigen (O2), air serta gula. Sementara CO2 yang menjadi bahan utama proses fotosintesis juga tersedia di laut. Pada malam hari, saat terumbu karang tidak melakukan asimilasi, tumbuhan ini justru menghasilkan CO2. ‘’Karbon yang dihasilkan saat malam hari inilah yang menjadi bahan utama terjadinya proses fotosintesis, ‘’ katanya.
Karena itu, lanjut dia, keberadaan terumbu karang ini harus dipelihara dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mengantisipasi terjadinya perubahan iklim. Namun, sekitar 30% terumbu karang di Indonesia, saat ini dalam kondisi rusak. Menurut Kurnaen, Penyelamatan terumbu karang memerlukan kemauan politik dari banyak negara, khususnya peserta Konferensi Kelautan Dunia di Manado mendatang.
Penyelamatan terumbu karang ini memerlukan kemauan politik para pengambil keputusan terutama di tingkat menteri agar segera dapat terlaksana.
Menurut Kurnaen, para penguasa dunia di masa yang akan datang yakni mereka yang mampu menguasai sumber daya alam. Karena itu perlu upaya dari negara-negara dunia untuk turut serta dalam penyelamatan sumber daya alam, sebelum semuanya itu salah urus. Salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah Indonesia, kata dia, yaitu melalui pembentukan pola pikir masyarakat untuk lebih mencintai laut. Sebagian besar wilayah Indonesia terdiri dari laut, oleh karena itu bangsa ini harus mencintai laut sebagai sumber kehidupan, katanya.
Adapun bentuk pelaksanaan dari kemauan politik tersebut, kata dia, memerlukan konsep operasional yang terbagi-bagi berdasarkan fungsi dan tugasnya. Misalnya, Indonesia sebagai salah satu negara pemilik terumbu karang, maka harus memetakan daerah yang harus dipertahankan agar aman dari kerusakan. Selain itu, pelaksanaan konsep tersebut juga akan melibatkan para nelayan tradisional sebagai salah satu kelompok yang menggantungkan hidupnya dari laut. Dengan begitu, penetapan kawasan terumbu karang yang harus dijaga keberadannya ini tidak akan tidak akan mengganggu aktivitas nelayan saat melaut. ‘’Kawasan-kawasan ini dibagi dalam beberapa zona, seperti zona tertutup, konservasi dan terbuka,’’ katanya.
Sangsi
Namun, hasil penelitian mengenai kemungkinan penyerapan karbon oleh terumbu karang ini justru disangsikan oleh aktivis lingkungan. Greenpeace Indonesia menilai proses fotosintesis pada terumbu karang dalam upaya penyerapan karbon belum sepenuhnya dapat dibuktikan secara ilmiah. ‘’Hingga saat ini belum ada hasil penelitian secara ilmiah yang menyimpulkan hasil fotosintesis terumbu karang dapat menyerap bahkan melepaskan karbon,’’ kata Juru Kampanye Bidang Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Arif Yanto.
Namun, jika ke depannya ternyata hasil penelitian fotosintesis melalui terumbu karang mampu menyerap karbon, tentunya hal tersebut menjadi salah satu temuan yang menggembirakan, mengingat perairan Indonesia cukup luas memiliki bentangan terumbu karang. ‘’Kami berharap mudah-mudahan ada penelitian yang mampu mengungkap bahwa fotosintesis terumbu karang mampu menyerap karbon dan dapat ditawarkan dalam perdagangan karbon kepada masyarakat dunia,’’ katanya.
Pendapat senada juga disampaikan Peneliti pada Museum Nasional Sejarah Alam Smithsonian Institution Washington Amerika Nancy Knowlton. Potensi penyerapan karbon oleh laut memang besar, akan tetapi hal tersebut dapat mengakibatkan rusaknya kehidupan biota laut. Laut menyimpan potensi penyerapan karbon besar, tetapi dampaknya bisa mengakibatkan kadar air laut menjadi asam, sehingga bisa menyebabkan kerusakan biota laut, kata Nancy, peneliti dari ASt yang juga hadir pada Konferensi Kelautan Dunia di Manado. Kerusakan biota laut seperti karang karena asidifikasi antara lain berupa pemutihan karang (bleaching), osteoporosis terumbu karang dan sedimentasi.
Asisten Deputi Pengendalian Kerusakan Pesisir dan Laut Deputi Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam Kementerian Lingkungan Hidup (LH), Wahyu Indraningsih menuturkan, keberadaan terumbu karang di Indonesia harus benar-benar dijaga. Selain disebabkan penggunaan bahan peledak, perubahan iklim global beberapa waktu terakhir ini juga menjadi salah satu penyebab rusaknya terumbu karang. Perubahan iklim berakibat terhadap naiknya suhu air laut. ‘’Suhu air laut yang naik dua sampai derajat Celcius dalam dua minggu berturut-turut menyebabkan kerusakan terumbu karang,’’ katanya.
Kondisi semacam ini, juga sudah mulai terindikasi di wilayah Indonesia.Menurut Wahyu, dalam WOC dan CTI, Kementerian LH juga akan menyampaikan sejumlah permasalahan kelautan dan tantangan yang dihadapi Indonesia, serta upaya-upaya untuk menghadapi. Indonesia sebagai tuan rumah WOC dan CTI, harus mampu beradaptasi dengan berbagai upaya yang dihasilkan dalam konferensi. (Anspek)
KORAN PAK OLES/EDISI 175/16-31 MEI 2009
Konferensi Kelautan Dunia atau World Ocean Conference (WOC) dan Coral Triangle Initiative (CTI) bakal digelar di Manado, 11-15 Mei 2009. Sejumlah isu aktual yang membahas mengenai masa depan kelautan dunia, peran laut terhadap perubahan iklim, serta dampak perubahan iklim terhadap laut, bakal dibahas dalam konferensi yang akan dihadiri oleh delegasi dari sekitar 120 negara.
Dari sejumlah isu tersebut, salah satu topik bahasan yang cukup hangat dinantikan yakni kejelasan tentang kemungkinan penyerapan karbon (carbon sink) oleh laut. Produksi karbon dioksida (CO2) berlebih memicu terjadinya efek rumah kaca yang menjadi salah satu penyebab pemanasan global.
Adapun keberadaan terumbu karang di laut berperan penting dalam proses penyerapan karbon. Menurut Peneliti Bidang Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Kurnaen Sumadiharga, penyerapan karbon dalam proses asimilasi melalui media terumbu karang dimungkinkan terjadi, khususnya di kawasan Indonesia yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari lautan.
Proses fotosintesis mungkin dilakukan tumbuhan yang memiliki zat hijau daun atau klorofil. Terumbu karang terdiri dari unsur binatang karang bernama Polip yang melakukan simbiosis mutualisme dengan tumbuhan alga, yakni gangGang hijau. ‘’Tumbuhan inilah yang sesungguhnya melakukan proses fotosintesis, sekalipun di dalam air,’’ katanya.
Proses fotosintesis, memerlukan karbon dioksida (CO2) serta sinar matahari, yang selanjutnya menghasilkan oksigen (O2), air serta gula. Sementara CO2 yang menjadi bahan utama proses fotosintesis juga tersedia di laut. Pada malam hari, saat terumbu karang tidak melakukan asimilasi, tumbuhan ini justru menghasilkan CO2. ‘’Karbon yang dihasilkan saat malam hari inilah yang menjadi bahan utama terjadinya proses fotosintesis, ‘’ katanya.
Karena itu, lanjut dia, keberadaan terumbu karang ini harus dipelihara dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mengantisipasi terjadinya perubahan iklim. Namun, sekitar 30% terumbu karang di Indonesia, saat ini dalam kondisi rusak. Menurut Kurnaen, Penyelamatan terumbu karang memerlukan kemauan politik dari banyak negara, khususnya peserta Konferensi Kelautan Dunia di Manado mendatang.
Penyelamatan terumbu karang ini memerlukan kemauan politik para pengambil keputusan terutama di tingkat menteri agar segera dapat terlaksana.
Menurut Kurnaen, para penguasa dunia di masa yang akan datang yakni mereka yang mampu menguasai sumber daya alam. Karena itu perlu upaya dari negara-negara dunia untuk turut serta dalam penyelamatan sumber daya alam, sebelum semuanya itu salah urus. Salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah Indonesia, kata dia, yaitu melalui pembentukan pola pikir masyarakat untuk lebih mencintai laut. Sebagian besar wilayah Indonesia terdiri dari laut, oleh karena itu bangsa ini harus mencintai laut sebagai sumber kehidupan, katanya.
Adapun bentuk pelaksanaan dari kemauan politik tersebut, kata dia, memerlukan konsep operasional yang terbagi-bagi berdasarkan fungsi dan tugasnya. Misalnya, Indonesia sebagai salah satu negara pemilik terumbu karang, maka harus memetakan daerah yang harus dipertahankan agar aman dari kerusakan. Selain itu, pelaksanaan konsep tersebut juga akan melibatkan para nelayan tradisional sebagai salah satu kelompok yang menggantungkan hidupnya dari laut. Dengan begitu, penetapan kawasan terumbu karang yang harus dijaga keberadannya ini tidak akan tidak akan mengganggu aktivitas nelayan saat melaut. ‘’Kawasan-kawasan ini dibagi dalam beberapa zona, seperti zona tertutup, konservasi dan terbuka,’’ katanya.
Sangsi
Namun, hasil penelitian mengenai kemungkinan penyerapan karbon oleh terumbu karang ini justru disangsikan oleh aktivis lingkungan. Greenpeace Indonesia menilai proses fotosintesis pada terumbu karang dalam upaya penyerapan karbon belum sepenuhnya dapat dibuktikan secara ilmiah. ‘’Hingga saat ini belum ada hasil penelitian secara ilmiah yang menyimpulkan hasil fotosintesis terumbu karang dapat menyerap bahkan melepaskan karbon,’’ kata Juru Kampanye Bidang Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Arif Yanto.
Namun, jika ke depannya ternyata hasil penelitian fotosintesis melalui terumbu karang mampu menyerap karbon, tentunya hal tersebut menjadi salah satu temuan yang menggembirakan, mengingat perairan Indonesia cukup luas memiliki bentangan terumbu karang. ‘’Kami berharap mudah-mudahan ada penelitian yang mampu mengungkap bahwa fotosintesis terumbu karang mampu menyerap karbon dan dapat ditawarkan dalam perdagangan karbon kepada masyarakat dunia,’’ katanya.
Pendapat senada juga disampaikan Peneliti pada Museum Nasional Sejarah Alam Smithsonian Institution Washington Amerika Nancy Knowlton. Potensi penyerapan karbon oleh laut memang besar, akan tetapi hal tersebut dapat mengakibatkan rusaknya kehidupan biota laut. Laut menyimpan potensi penyerapan karbon besar, tetapi dampaknya bisa mengakibatkan kadar air laut menjadi asam, sehingga bisa menyebabkan kerusakan biota laut, kata Nancy, peneliti dari ASt yang juga hadir pada Konferensi Kelautan Dunia di Manado. Kerusakan biota laut seperti karang karena asidifikasi antara lain berupa pemutihan karang (bleaching), osteoporosis terumbu karang dan sedimentasi.
Asisten Deputi Pengendalian Kerusakan Pesisir dan Laut Deputi Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam Kementerian Lingkungan Hidup (LH), Wahyu Indraningsih menuturkan, keberadaan terumbu karang di Indonesia harus benar-benar dijaga. Selain disebabkan penggunaan bahan peledak, perubahan iklim global beberapa waktu terakhir ini juga menjadi salah satu penyebab rusaknya terumbu karang. Perubahan iklim berakibat terhadap naiknya suhu air laut. ‘’Suhu air laut yang naik dua sampai derajat Celcius dalam dua minggu berturut-turut menyebabkan kerusakan terumbu karang,’’ katanya.
Kondisi semacam ini, juga sudah mulai terindikasi di wilayah Indonesia.Menurut Wahyu, dalam WOC dan CTI, Kementerian LH juga akan menyampaikan sejumlah permasalahan kelautan dan tantangan yang dihadapi Indonesia, serta upaya-upaya untuk menghadapi. Indonesia sebagai tuan rumah WOC dan CTI, harus mampu beradaptasi dengan berbagai upaya yang dihasilkan dalam konferensi. (Anspek)
KORAN PAK OLES/EDISI 175/16-31 MEI 2009


0 komentar:
Posting Komentar