Home » , » Laut Bukan Lagi Penyerap Karbon

Laut Bukan Lagi Penyerap Karbon

Oleh: Bisman Nababan PhD*
Sebelum merebaknya isu pemanasan global, di kalangan ilmiah dipahami bahwa air laut merupakan penyerap karbon (carbon sink). Namun dengan berkembangnya ilmu pengetahuan sebagai hasil dari berbagai riset tentang pemanasan global dan dampaknya, muncul pemahaman baru bahwa laut tak lagi sebagai penyerap karbon, melainkan sudah berada pada posisi sebagai penghasil karbon bersih (net carbon source).
Sesungguhnya laut dapat berfungsi sebagai penyerap karbon dan juga sebagai penyedia karbon ke atmosfer, bergantung pada kondisinya. Karbon yang diserap maupun yang dilepas ke atmosfer itu berada dalam bentuk gas karbon dioksida (CO2). Laut akan menyerap karbon bilamana tekanan parsial gas karbon dioksida di atmosfer lebih tinggi dari tekanannya di dalam air laut. Sebaliknya, laut akan melepas karbon apabila tekanan parsial gas karbon dioksida di dalam air laut lebih tinggi dari tekanannya di atmosfer.
Laut berfungsi sebagai penyerap karbon dalam dua bentuk, yakni melalui serapan pasif dan aktif. Pada serapan aktif, fitoplankton dengan kandungan klorofilnya dan bantuan sinar matahari, memanfaatkan gas karbondioksida untuk proses fotosintesis dan menghasilkan gula (karbohidrat). Pada serapan pasif, gas karbondioksida akan larut dalam air laut secara alami dengan mudah dan cepat serta membentuk asam karbonat. Reaksi bolak-balik dalam proses itu juga berlangsung dengan cepat sehingga sulit membedakan antara asam karbonat dan karbondioksida dalam air.
Air laut yang dingin serta banyak pergolakan (turbulent) cenderung menyerap karbondioksida dari atmosfer, sementara air laut yang lebih hangat serta pergerakan airnya yang lebih tenang cenderung melepas karbondioksida ke atmsofer. Pada awal 1990-an, laut diduga sebagai suatu net carbon sink dengan Lautan Atlantik Utara sebagai penyerap terbesar, sekitar 60 persen dari total laut dunia. Proses pertukaran gas karbondioksida secara pasif kurang penting dibandingkan dengan proses pertukaran secara aktif.
Proses fotosintesis merupakan aktivitas carbon sink, sebaliknya proses respirasi (penguraian gula menjadi zat lain untuk menjalankan metabolisme tubuh) oleh organisme lainnya di laut, merupakan aktivitas carbon source. Fitoplankton merupakan alga hijau berukuran mikroskopik dan berkembang dengan cepat dalam kolom air laut pada kondisi lingkungan dan unsur hara yang cukup. Dengan demikian, perairan dengan populasi fitoplankton yang baik akan bekerja efektif sebagai carbon sink.
Sebaliknya, bila proses respirasi oleh semua komunitas mahluk hidup di kolom air laut melebihi proses fofosintesis, maka kondisinya menjadi carbon source. Bila laju proses fotosintesis lebih besar dari laju respirasi yang pada kondisi normal terjadi di laut maka net carbon sink akan terjadi dan sebaliknya pada kondisi tidak normal menjadi net carbon source.
Secara teoritis, bila populasi fitoplankton di laut makin meningkat maka penyerapan gas karbondioksida dari atmosfer juga meningkat sehingga laut bisa menjadi carbon sink. Pada tahun 1980-an, John Martin, ahli oseanografi dari Moss Landing Marine Laboratories (meninggal 1993) mengatakan, penambahan zat besi ke perairan yang cukup unsur hara namun kurang zat besi akan merangsang pertumbuhan fitoplankton. Hipotesis itu telah terbukti kebenarannya.
Hasil penelitian lainnya juga menunjukkan hal yang sama. Penambahan zat besi ke dalam perairan di Laut Selatan menunjukkan perkembangan fitoplankton yang nyata dan tingkat penyerapan gas karbondioksida juga meningkat signifikan dari atmosfer (Watson et al, 2000; Watson, 1997). Pada 1988, John Martin menyarankan, penambahan zat besi buatan ke laut dapat mengubah iklim dunia dalam artian mengurangi gas CO2 dari atmosfer secara nyata.
Namun para ilmuwan banyak yang tidak setuju dengan cara seperti itu sebagai upaya untuk mengurangi gas karbondioksida di atmosfer karena beberapa faktor, seperti faktor moral dan dampak pencemaran lingkungan sebagai ekses dari zat besi yang merupakan logam berat. Tood Wood, Christopher Guay, dan Phoebe Lam (2009) dari Laboratorium Lawrence Nasional Berkeley juga menemukan bantahan terhadap hipotesis John Martin bahwa penambahan zat besi ke laut tidak akan mengubah iklim dunia.
Penelitian mereka dengan proyek SOFeX (the Southern Ocean Iron Experiment) dilaksanakan mulai 2002 di perairan antara Selandia Baru dan Antartika dengan menggunakan alat deteksi "carbon explorer" pada kedalaman 800 meter serta menguji hipotesis Apakah penambahan zat besi ke perairan akan merobah iklim dunia? Dari penelitian itu diperoleh hasil mengejutkan bahwa sebagian besar karbon dari hasil "blooming fitoplankton" hasil penambahan zat besi tersebut tidak pernah sampai ke perairan dalam (deep ocean).
Dengan demikian dapat disimpulkan, sekalipun terjadi "blooming fitoplankton" sebagai akibat penambahan zat besi, namun tidak berpengaruh nyata terhadap penyerapan gas CO2 dari atmosfer karena tidak terjadi presipitasi karbon ke laut yang lebih dalam secara nyata. Di lain pihak, peningkatan penyerapan gas CO2 secara alami oleh air laut seyogianya tidak menguntungkan karena hal ini akan meningkatkan derajat keasaman (pH) air laut. Bila derajat keasaman air laut meningkat maka hal ini akan menggangu kehidupan organisma laut lainnya terutama ikan.
Pemanasan Global
Pemanasan global yang terjadi belakangan ini sebagai akibat meningkatnya emisi gas karbon ke atmosfer telah mengakibatkan peningkatan suhu udara maupun suhu air laut secara nyata. Hal yang lebih penting dari dampak pemanasan global adalah meningkatnya suhu air laut yang mengakibatkan kemampuan air laut untuk menyerap gas karbondioksida menjadi berkurang. Gas karbondioksida mempunyai tingkat kelarutan dua kali lebih besar pada air dingin dibandingkan dengan air hangat. Laju fotosintesis dan respirasi juga sangat bergantung pada suhu.
Pada suhu yang relatif tinggi, laju fotosintesis dan laju respirasi sama-sama meningkat, namun laju respirasi meningkat lebih cepat dibandingkan dengan laju fotosintesis sehingga penglepasan gas karbondioksida menjadi lebih besar dibandingkan dengan penggunaannya dan menyebabkan laut menjadi net carbon source. Hasil penelitian Lefe`vre et al. (2004) di Lautan Atlantik Utara menunjukkan, tekanan parsial gas karbondioksida dalam air laut telah meningkat lebih cepat dibandingkan dengan tekanan parsialnya di atmosfer. Hal itu khususnya pada saat musim panas yang mengakibatkan peningkatan penglepasan gas karbondioksida ke atmosfer, padahal sebelumnya daerah ini dikenal sebagai net carbon sink. Hal yang sama juga ditemukan oleh CNRS (2009) di Lautan Hindia Selatan.
Le Quere et al. (2007) juga menyimpulkan, penyerapan gas karbondioksida oleh Lautan Selatan melemah sebesar 15 persen per dekade semenjak 1981 dan akan menjadi kurang efisien di masa depan. Hal itu akan membawa gas karbondioksida ke level yang semakin tinggi untuk jangka panjang. Pengurangan efisiensi penyerapan gas karbondioksida oleh Lautan Selatan disebabkan oleh peningkatan kekuatan angin sebagai akibat dari peningkatan gas rumah kaca di atmosfer dan pengurangan lapisan ozon jangka panjang di stratosfer.
Peningkatan kekuatan angin akan menyebabkan proses percampuran dan penaikan massa air laut dalam ke permukaan (upwelling) yang pada akhirnya meningkatkan penglepasan gas CO2 ke atmosfer. Hasil penelitian lainnya juga menunjukkan, lokasi upwelling cenderung menjadi lokasi net carbon source.
Alan Koropitan, dosen Institut Pertanian Bogor, telah melakukan penelitian di Laut Jawa dan menyimpulkan, Laut Jawa cenderung berfungsi sebagai net carbon source. Hasil itu juga didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan di beberapa lokasi perairan Indonesia. Menurut para ahli terumbu karang dan pemanasan global, ekosistem terumbu karang juga berfungsi sebagai net carbon source. Salah satu misi projet SeaWiFS Ocean Color Satellite adalah untuk menjawab pertanyaan, apakah laut berfungsi sebagai carbon sink atau carbon source?. Dari hasil analisa data konsentrasi klorofil-a selama 10 tahun terakhir tidak ditemukan adanya peningkatan konsentrasi klorofil-a secara global. Namun sebaliknya ditemukan penurunan konsentrasi klorofil-a yang nyata khususnya di laut lepas sub-tropik (mid-gyres ocean) seperti diungkapkan Vantrepotte and Melin, 2009.
Hasil analisis Jonson Lumban Gaol (dosen IPB) terhadap data SeaWiFS untuk perairan Indonesia 10 tahun terakhir, juga menunjukkan tren penurunan konsentrasi klorofil-a khususnya laut lepas (personal communication). Hasil-hasil itu menunjukkan, secara umum, baik perairan Indonesia maupun perairan dunia, mengalami penurunan konsentrasi klorofil-a yang mengakibatkan penurunan penggunaan gas CO2 oleh fitoplankton dalam proses fotosintesis. Kecenderungan penurunan konsentrasi klorofil-a serta pemanasan global yang mengakibatkan penurunan tingkat kelarutan gas CO2 dalam air laut itu dapat disimpulkan bahwa baik perairan Indonesia maupun global cenderung berfungsi sebagai net carbon source.
*)Dosen di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Kelautan, IPB.

KORAN PAK OLES/EDISI 175/16-31 MEI 2009
Thanks for reading Laut Bukan Lagi Penyerap Karbon

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar