Home » » WOC Jawab Perubahan Iklim?

WOC Jawab Perubahan Iklim?

Oleh: Nur R Fajar
Senin depan (11/5) direncanakan Konferensi Kelautan Dunia atau WOC (World Ocean Conference) di Manado, Sulawesi Utara dimulai dan dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Konferenci kelautan pertama yang diikuti oleh sekitar 4.900 delegasi dari 121 negara ini akan membahas mengenai permasalahan dan berbagi informasi dari penelitian mengenai laut dari seluruh dunia.
WOC diharapkan berakhir dengan disepakatinya Deklarasi Kelautan Manado (Declaration Ocean Manado) yang digadang-gadang dapat menjawab dampak perubahan iklim di kelautan. ‘’Manado Ocean Declaration diharapkan menjawab dampak perubahan iklim global terhadap laut, peran laut terhadap perubahan iklim global, upaya adaptasi dan kerjasama internasional,’’ kata Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan (BRKP DKP) Gellwynn Yusuf.
Ada tujuh poin deklarasi pada draf MOD, yang poin ketiga, keempat dan kelima disebutkan negara-negara peserta WOC berusaha mengutamakan laut dalam isu perubahan iklim termasuk bagaimana laut dapat menjawab dampak perubahan iklim. ‘’Isu Laut diupayakan masuk secara signifikan dalam COP-15 UNFCCC, Copenhagen, Desember 2009. Dimensi Laut harus tampil menonjol pada Post Kyoto Protocol tahun 2012,’’ kata Gellywn.
Perhatian terhadap peran laut harus diupayakan sebagaimana peran hutan dalam rangka Reducing Emmissions from Deforestation and Degradation (REDD). Selama ini, isu laut sangat minim dibahas dalam kerangka perubahan iklim dan lebih ditekankan hanya pada isu kenaikan permukaan air laut. WOC 09 dan KTT CTI (Coral Triangle Inisiatif) yang menjadi rangkaiannya diharapkan dapat menciptakan momentum untuk memasukkan dimensi kelautan secara signifikan kedalam isu perubahan iklim.
Akan tetapi koalisi LSM Lingkungan tidak yakin, WOC dapat menjawab dampak perubahan iklim, bahkan isu yang menurut mereka krusial pun seperti perlindungan nelayan tradisional, illegal fishing dan perusakan kawasan laut karena pertambangan tidak masuk dalam agenda WOC. Mereka bahkan mendesak pemerintah agar melindungi nelayan tradisional dan laut Indonesia dari penjarahan dan eksploitasi oleh negara-negara maju melalui diplomasi pada ajang WOC, atau mereka akan membuat konferensi tandingan untuk itu.
Koalisi LSM lingkungan tersebut yaitu (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) KIARA, Komite Persiapan Organisasi Nelayan Nasional Indonesia (KPNNI), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam ), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi ), Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM) dan Koalisi Anti Utang (KAU) mengungkapkan hal tersebut pada aksi unjuk rasa di depan Kedutaan Besar Jepang di Jakarta, dalam rangka memperingati Hari Bumi 22 April.
Koordinator Nasional JATAM, Siti Maemunah mengatakan WOC juga tidak mengagendakan mengenai kerusakan kawasan pesisir dan laut karena aktivitas tambang seperti PT Newmont dan PT Freeport yang membuang tailing sebanyak 340 ribu ton setiap harinya ke laut. ‘’giatan ekstraksi pertambangan (penambangan logam, batubara, dan migas) di darat juga mendorong terjadinya krisis ekologis di laut Indonesia. Takhanya membawa hasil sedimentasi ke muara, industri pertambangan juga membuang limbah beracunnya langsung ke laut. Hal ini tak hanya mencemari laut dan mengancam keberlanjutan ekosistem laut, tetapi juga telah mematikan hak kelola nelayan tradisional,? ungkap Siti.
Sekjen KIARA, Riza Damanik menambahkan selain limbah tailing, rusaknya terumbu karang dan terganggunya sumber daya ikan di perairan Indonesia juga pestisida pertanian yang mengalir kelaut, dan limbah budidaya maupun industri yang mengalir ke laut. Krena itu ia mendesak pemerintah untuk melarang industri, pertambangan, budidaya, hingga pertanian, membuang limbahnya ke laut.
Dalam WOC juga akan dibahas mengenai isu penyerapan karbon (carbon sink) oleh laut dimana menurut data badan lingkungan dunia (UNEP) bahwa laut secara global mengeluarkan 90 juta ton CO2 per tahun dan menyerap sekitar 92 juta ton CO2 per tahun. ‘’Artinya ada dua juta ton CO2 yang diserap laut per tahun dari selisih karbon yang dikeluarkan dan diserap,’’ kata Gellywn.
Data IPCC (The Intergovernmental Panel on Climate Change) bahwa emisi dari pembakaran bahan bakar fosil secara global mencapai 6,3 giga ton atau 6,3 peta gram (1 peta gram = 10 pangkat 15 gram) CO2 ke udara dan laut dapat menyerap 1,6 - 1,9 peta gram Co2 per tahun Banyak pihak termasuk peneliti masih meragukan kemampuan laut untuk menyerap karbon. Delegasi RI dalam WOC dan CTI, Dr Edvin Aldrian mengakui, bahwa perjuangan hitung-hitungan penyerapan karbon di laut masih merupakan perjalanan panjang yang mungkin masih memerlukan beberapa kali WOC lagi.
Soal penyerapan karbon di laut, urainya, memang masih kontroversi. Bukan saja menyangkut teknis menghitung penyerapan karbonnya, spesies apa saja yang bisa dianggap menyerap karbon, atau masalah definisi negara dengan batasan lautnya.
Sekjen Kiara M. Riza Damanik mengatakan hingga kini belum ada konsensus para ilmuwan, baik di lingkup nasional maupun internasional terkait peran laut terhadap siklus karbon. ‘’Hingga saat ini belum ada hasil penelitian secara ilmiah yang menyimpulkan hasil fotosintesis terumbu karang dapat menyerap bahkan melepaskan karbon,’’ kata Juru Kampanye Bidang Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Arif Yanto.
Bahkan Peneliti pada Museum Nasional Sejarah Alam Smithsonian Institution Washington Amerika Nancy Knowlton mengatakan meski potensi penyerapan karbon oleh laut memang besar, akan tetapi hal tersebut dapat mengakibatkan rusaknya kehidupan biota laut. ‘’Laut memang menyimpan potensi penyerapan karbon besar, tetapi dampaknya bisa mengakibatkan kadar air laut menjadi asam, sehingga bisa menyebabkan kerusakan biota laut,’’ kata Nancy, peneliti dari Amerika Serikat yang juga akan hadir pada Konferensi Kelautan Dunia di Manado.
Kerusakan biota laut seperti karang karena asidifikasi antara lain berupa pemutihan karang (bleaching), osteoporosis terumbu karang dan sedimentasi. Meski kalangan LSM dan peneliti meragukan WOC dapat menjawab dampak perubahan iklim, akan tetapi kita masih bisa berharap bahwa WOC dan CTI akan dapat secara minimal mengarusutamakan masalah laut masuk pada isu perubahan iklim. Untuk menjawab dampak perubahan iklim oleh laut memang masih butuh komitmen dan hasil penelitian laut terutama konferensi semacam WOC. (Anspek)
KORAN PAK OLES/EDISI 175/16-31 MEI 2009
Thanks for reading WOC Jawab Perubahan Iklim?

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar