Oleh: Achim Steiner*
Ketika utusan lebih dari 120 negara berkumpul di Manado, Sulawesi Utara untuk menghadiri Konperensi Lautan Dunia (WOC), isu perubahan iklim jadi pemikiran utama. Samudera dan laut dunia diketahui sebagai penyerap terbesar gas rumah kaca yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil.
Para pakar kini memperkirakan hingga 40% CO2 yang memasuki atmosfir diedarkan melalui lingkungan laut yang berperan sangat penting untuk meredam perubahan iklim. Namun para pakar memperingatkan bahwa alam laut tidak dapat selamanya terus menyerap pencemaran yang dihasilkan oleh manusia, tanpa menimbulkan konsekuensi.
Banyak makhluk hidup di laut, dari karang dan kepiting hingga plankton pada rantai makanan, memerlukan air laut untuk membangun tengkorak mereka. PH rata-rata air di permukaan lautan telah turun dari 8,16 ke 8,05 sejak permulaan Revolusi Industri --penurunan yang kecil tapi berpotensi mempunyai dampak yang besar jika terus berlanjut.
Menghadapi ilmu pengetahuan yang cepat berkembang itu, apa yang harus dilakukan?. Pertama-tama, pemerintah harus memperkuat tekad mereka untuk mencapai kesepakatan di Conpenhagen pada pertemuan Perubahan Iklim PBB guna membawa dunia ke sebuah arah yang rendah karbon. Kedua, kita harus memperbaiki kesehatan lautan kita. Lautan harus sehat dan mempunyai ketahanan sebaik mungkin agar mereka dapat menanggulangi beban perubahan iklim-- sehingga mereka dapat terus menyediakan makanan dan banyak lagi pelayanan yang mempunyai nilai ekonomi penting bagi kita.
Hal ini berarti pemerintah harus segera menangani berbagai tantangan yang dapat melemahkan laut kita, termasuk pencemaran yang berasal dari daratan, limbah dari kapal, dan penangkapan ikan yang berlebihan di dunia, yang sebagian besar didorong oleh subsidi yang berbahaya dan mubazir sebesar hingga 35 miliar dolar per tahun. Saat ini sekitar 12% daratan dinyatakan sebagai daerah yang dilindungi, namun kurang dari satu persen lingkungan laut yang mendapat status serupa, --jadi hal ini harus diubah segera.
Sementara tingkat pencemaran, 80% dari pabrik, kota dan daerah pertanian di daratan, perlu dikurangi. Lebih dari 60 negara kini telah memiliki rencana aksi nasional dengan inisiatif UNEP secara sukarela yang dinamakan Global Programme of Action (GPA) untuk Perlindungan Lingkungan Laut dari Sumber-sumber di Daratan, dan kita mempunyai 18 perjanjian Laut Regional yang diterapkan di seluruh dunia. Ini baru permulaan, tapi hingga kini besarnya tanggapan global masih gagal mencerminkan tantangannya seperti terbukti dari makin besarnya jumlah zona mati --area laut yang kehilangan oksigen karena pupuk dan emisi kendaraan dan pelayaran yang kini berjumlah 200.
Cara-cara untuk meningkatkan kesehatan lautan harus menjadi isu kunci di Manado sebagai pengakuan atas pentingnya laut kita bagi manusia karena menyediakan ruang bernapas yang dibutuhkan sehubungan dengan perubahan iklim. Mungkin kini waktunya untuk membayar kembali. Pertama-tama, investasi pada adaptasi tidak boleh berhenti di garis pantai, --investasi pada rehabilitasi, peremajaan, dan ketahanan ekosistem pantai, dari hutan bakau hingga terumbu karang dan daerah rawa, dapat mempunyai hasil ekonomi yang sangat penting yang berhubungan dengan iklim.
Langkah-langkah tersebut termasuk melindungi masyarakat yang rentan terhadap badai, kenaikan permukaan air laut, sementara juga membantu menanggulangi emisi gas rumah kaca; menyaring pencemaran dan memperbaiki kesehatan perikanan. Mungkin, sebentar lagi, ada penghargaan yang lebih besar, --sebuah cara untuk menjadikan lautan sebagai bagian dari opsi pasar karbon. Pikirkan sejarah hutan. Usulan bahwa negara-negara berkembang seharusnya dibayar karena tidak menebang pohon pernah ditolak puluhan tahun lalu. Di Copenhagen, kesepakatan yang dicapai antara lain pembayaran hutan kepada negara-negara tropis termasuk Indonesia. Akhirnya, ekosistem darat lain mungkin dipertimbangkan termasuk daerah gambut hingga tanah. Lautan berperan untuk melawan perubahan iklim.
Memberi imbalan kepada negara-negara yang mengelola lautan secara berkesinambungan guna meningkatkan peran mereka dalam menanggulangi perubahan iklim dan mengoptimalkan produktivitas, tampaknya patut dijajaki. Manado adalah suatu kesempatan dan forum untuk mencuatkan ide-ide seperti itu. Waktu untuk memerangi perubahan iklim berlalu cepat. Kita memerlukan semua bantuan untuk menghadapi perubahan iklim, dari investasi pada penghematan energi, teknologi yang menghasilkan karbon rendah atau bahkan tanpa karbon, hingga pasar untuk mempromosikan ekosistem yang sehat - jelas pasti hutan dan mungkin samudra kita, serta laut kita juga.
*)Wakil Sekjen PBB dan Direktur Eksekutif Program Lingkungan Hidup PBB - UNEP.
Ketika utusan lebih dari 120 negara berkumpul di Manado, Sulawesi Utara untuk menghadiri Konperensi Lautan Dunia (WOC), isu perubahan iklim jadi pemikiran utama. Samudera dan laut dunia diketahui sebagai penyerap terbesar gas rumah kaca yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil.
Para pakar kini memperkirakan hingga 40% CO2 yang memasuki atmosfir diedarkan melalui lingkungan laut yang berperan sangat penting untuk meredam perubahan iklim. Namun para pakar memperingatkan bahwa alam laut tidak dapat selamanya terus menyerap pencemaran yang dihasilkan oleh manusia, tanpa menimbulkan konsekuensi.
Banyak makhluk hidup di laut, dari karang dan kepiting hingga plankton pada rantai makanan, memerlukan air laut untuk membangun tengkorak mereka. PH rata-rata air di permukaan lautan telah turun dari 8,16 ke 8,05 sejak permulaan Revolusi Industri --penurunan yang kecil tapi berpotensi mempunyai dampak yang besar jika terus berlanjut.
Menghadapi ilmu pengetahuan yang cepat berkembang itu, apa yang harus dilakukan?. Pertama-tama, pemerintah harus memperkuat tekad mereka untuk mencapai kesepakatan di Conpenhagen pada pertemuan Perubahan Iklim PBB guna membawa dunia ke sebuah arah yang rendah karbon. Kedua, kita harus memperbaiki kesehatan lautan kita. Lautan harus sehat dan mempunyai ketahanan sebaik mungkin agar mereka dapat menanggulangi beban perubahan iklim-- sehingga mereka dapat terus menyediakan makanan dan banyak lagi pelayanan yang mempunyai nilai ekonomi penting bagi kita.
Hal ini berarti pemerintah harus segera menangani berbagai tantangan yang dapat melemahkan laut kita, termasuk pencemaran yang berasal dari daratan, limbah dari kapal, dan penangkapan ikan yang berlebihan di dunia, yang sebagian besar didorong oleh subsidi yang berbahaya dan mubazir sebesar hingga 35 miliar dolar per tahun. Saat ini sekitar 12% daratan dinyatakan sebagai daerah yang dilindungi, namun kurang dari satu persen lingkungan laut yang mendapat status serupa, --jadi hal ini harus diubah segera.
Sementara tingkat pencemaran, 80% dari pabrik, kota dan daerah pertanian di daratan, perlu dikurangi. Lebih dari 60 negara kini telah memiliki rencana aksi nasional dengan inisiatif UNEP secara sukarela yang dinamakan Global Programme of Action (GPA) untuk Perlindungan Lingkungan Laut dari Sumber-sumber di Daratan, dan kita mempunyai 18 perjanjian Laut Regional yang diterapkan di seluruh dunia. Ini baru permulaan, tapi hingga kini besarnya tanggapan global masih gagal mencerminkan tantangannya seperti terbukti dari makin besarnya jumlah zona mati --area laut yang kehilangan oksigen karena pupuk dan emisi kendaraan dan pelayaran yang kini berjumlah 200.
Cara-cara untuk meningkatkan kesehatan lautan harus menjadi isu kunci di Manado sebagai pengakuan atas pentingnya laut kita bagi manusia karena menyediakan ruang bernapas yang dibutuhkan sehubungan dengan perubahan iklim. Mungkin kini waktunya untuk membayar kembali. Pertama-tama, investasi pada adaptasi tidak boleh berhenti di garis pantai, --investasi pada rehabilitasi, peremajaan, dan ketahanan ekosistem pantai, dari hutan bakau hingga terumbu karang dan daerah rawa, dapat mempunyai hasil ekonomi yang sangat penting yang berhubungan dengan iklim.
Langkah-langkah tersebut termasuk melindungi masyarakat yang rentan terhadap badai, kenaikan permukaan air laut, sementara juga membantu menanggulangi emisi gas rumah kaca; menyaring pencemaran dan memperbaiki kesehatan perikanan. Mungkin, sebentar lagi, ada penghargaan yang lebih besar, --sebuah cara untuk menjadikan lautan sebagai bagian dari opsi pasar karbon. Pikirkan sejarah hutan. Usulan bahwa negara-negara berkembang seharusnya dibayar karena tidak menebang pohon pernah ditolak puluhan tahun lalu. Di Copenhagen, kesepakatan yang dicapai antara lain pembayaran hutan kepada negara-negara tropis termasuk Indonesia. Akhirnya, ekosistem darat lain mungkin dipertimbangkan termasuk daerah gambut hingga tanah. Lautan berperan untuk melawan perubahan iklim.
Memberi imbalan kepada negara-negara yang mengelola lautan secara berkesinambungan guna meningkatkan peran mereka dalam menanggulangi perubahan iklim dan mengoptimalkan produktivitas, tampaknya patut dijajaki. Manado adalah suatu kesempatan dan forum untuk mencuatkan ide-ide seperti itu. Waktu untuk memerangi perubahan iklim berlalu cepat. Kita memerlukan semua bantuan untuk menghadapi perubahan iklim, dari investasi pada penghematan energi, teknologi yang menghasilkan karbon rendah atau bahkan tanpa karbon, hingga pasar untuk mempromosikan ekosistem yang sehat - jelas pasti hutan dan mungkin samudra kita, serta laut kita juga.
*)Wakil Sekjen PBB dan Direktur Eksekutif Program Lingkungan Hidup PBB - UNEP.
KORAN PAK OLES/EDISI 175/16-31 MEI 2009


0 komentar:
Posting Komentar