Oleh: Kasriadi
Rokok menjadi mata rantai dalam lingkaran setan bersama kemiskinan, kurang gizi dan kematian anak. Semua kenikmatan sesaat itu berakhir fatal karena berpotensi menghilangkan sebuah generasi. Demikian kata Ketua Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Prof Farid Anfasa Moeloek. ‘’Memang terlalu ekstrim saya sebut lingkaran setan. Tapi itulah upaya keseriusan kami mengkampanyekan bahaya rokok kepada masyarakat,’’ kata Prof Farid.
Pernyataan itu dilandasi kenyataan yang menunjukkan adanya gejala pola hidup yang tidak tepat pada keluarga miskin yaitu ketika anggaran untuk membeli rokok terbilang terlalu banyak dibanding pengeluaran mereka. Ketergantungan pada zat adiktif di dalam rokok pada keluarga miskin terbukti meningkatkan kejadian kurang gizi balita. Bila tidak segera ditanggulangi, kondisi itu kain mengancam hilangnya sebuah generasi.
Akhirnya, kekurangan gizi pada balita itu menurunkan kualitas sumber daya manusia dan mengancam keberhasilan pembangunan nasional. Rendahnya tingkat pendapatan masyarakat Indonesia diperparah dengan biaya langsung untuk membeli rokok pada tingkat rumah tangga atau individu dengan pengeluaran sebesar Rp 325 triliun per tahun. Bayangkan, menurut Farid Anfasa Moeloek, uang sebesar itu hilang percuma hanya untuk membeli rokok, yang tentunya berdampak pada gangguan kesehatan dan kekurangan gizi anak-anak. ‘’Seandainya uang itu dimanfaatkan untuk kebutuhan keluarga, gizi anak pasti terpenuhi dan kita tidak kena penyakit,’’ katanya.
Bahaya rokok sudah tidak diragukan lagi karena dengan mengisap rokok, baik aktif maupun pasif, berarti penyakit dan kemiskinan. Rokok juga menurunkan kadar vitamin C, B-Karotin, D, E dan mineral dalam tubuh, meningkatkan efek buruk seperti kanker dan serangan jantung. Ibu hamil perokok mempunyai resiko dua kali lebih besar untuk melahirkan prematur dan keguguran dibanding ibu hamil yang tidak merokok.
Selain itu ibu hamil yang merokok dapat mempengaruhi fisik, kemampuan intelektual, dan perkembangan perilaku bayi. Merokok juga terbukti mengakibatkan penyakit, seperti kanker mulut, asma, stroke, bau mulut atau kesehatan gigi mulut, kanker pernafasan, dan kanker paru.
Pengajar Pusat Penelitian Kajian pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Rita Damayanti mengatakan, anggota keluarga yang merokok dapat mempengaruhi status gizi balita yang tinggal se rumah. Selain itu, konsumsi energi balita yang rumahnya ada orang merokok, lebih rendah daripada yang di rumahnya tidak ada perokok. Sebagai akibatnya, status gizi balita itu lebih rendah.
Direktur medis Helen Keller International Indonesia Roy Tjiong mengisyaratkan kebiasaan merokok ayah dapat meningkatkan risiko gizi buruk dan gizi kurang akibat belanja tembakau yang sangat menguras ketahanan pangan rumah tangga. Pertumbuhan anak merupakan indikator kesejahteraan anak, dampak jangka panjang gizi buruk berdampak pada prestasi akademik, kebugaran, dan ketangkasan. Kebiasaan merokok pada ayah sangat tinggi, sekitar 70%, sedangkan ibu kurang dari 1%. ‘’Angka kematian bayi dengan ayah merokok lebih tinggi dibanding ayah tidak merokok terutama di daerah kumuh perkotaan,’’ kata seorang direktur sebuah LSM.
Perilaku dan pola hidup sehat masyarakat masih rendah karena upaya mengurangi kebiasaan merokok belum optimal dan kesadaran gizi masih kurang disebabkan tingkat pendidikan rendah. Kebiasaan merokok di Indonesia setiap hari bagi laki-laki sekitar 45,8% dan 3% perempuan, 34,3% penduduk berusia 25 tahun ke atas dan 29,2% di atas 10 tahun. ‘’Kebiasaan merokok ditambah pola makan yang tidak teratur dapat meningkatkan resiko diserang berbagai penyakit,’’ kata Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas, Dr Arum Atmawikarta.
Sesuai laporan Bank Dunia akhir 2007 tentang peta jalan menuju tujuan pembangunan millenium (MDGs), gizi kurang menjadi noktah buruk Indonesia yang mencederai pencapaian tujuan MDGs lainnya. Pada keluarga miskin dengan perokok, balita terpaksa menanggung beban akibat kurang gizi karena uang yang menjadi hak mereka untuk memperoleh makanan sehat dialihkan untuk membeli rokok.
UU Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak menyebut, setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai harkat dan martabat kemanusiaan serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. ‘’Jadi ketergantungan terhadap rokok akan membebani keluarga dan mengambil hak hidup sehat anak-anak,’’ tegas Prof Farid.
Program pengentasan kemiskinan akan terhambat bila mayoritas keluarga miskin masih terperangkap adiksi rokok. Dana bantuan tunai Langsung (BLT) yang seharusnya untuk kebutuhan makanan bergizi, pendidikan dan kesehatan tergeser untuk membeli rokok. Akibatnya, membuat tujuan pemerintah meleset dari sasaran. Belum ada peraturan pemerintah yang secara tegas mengatur para perokok terutama menghindari anak-anak dari asap rokok. Kebijakan paling efektif untuk mengendalikan konsumsi rokok pada keluarga, kata dia, antara lain meningkatkan cukai dan harga rokok dan melarang penjual rokok batangan. Langkah itu perlu didukung pendidikan dan informasi dalam bentuk peringatan kesehatan di bungkus rokok, misalnya dengan bentuk gambar.
Juga perlu memasukkan aspek pengendalian tembakau sebagai komponen yang mempengaruhi kekurangan gizi pada balita dalam kebijakan nasional pangan dan gizi. Serta mengintegrasikan kebijakan pengendalian tembakau ke dalam kebijakan anak sehat. Rita Damayanti mengatakan, hubungan antara gizi dan rokok agar menjadi bahan advokasi bagi pemangku kebijakan.
Menurut dia, untuk penelitian advokasi disarankan supaya dilakukan penelitian di berbagai tempat dengan situasi sosial ekonomi yang lebih beragam agar pola hubungan lebih nampak jelas. Di samping itu perlu memasyarakatkan budaya tidak merokok melalui promosi keluarga sadar gizi dengan strategi utama menggerakan dan memberdayakan masyarakat untuk sadar gizi yang diperkuat dengan bina suasana dan advokasi serta didukung oleh kemitraan.
Upaya mengubah dan menciptakan perilaku itu, katanya, harus didukung upaya-upaya lain yang berkaitan seperti pemberlakuan kebijakan, keterjangkauan pelayanan gizi, ketahanan pangan dan subsidi pangan. Direktorat Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan Dr Minarto mengajak seluruh pengambil keputusan yang terkait di pusat, provinsi, kabupaten dan kota memahami dan mengeluarkan kebijakan yang mendukung pemberdayaan sadar gizi itu. Selain itu seluruh mitra potensial yang terkait sektor LSM, ormas, profesi, tokoh masyarakat, media massa, dunia usaha, lembaga donor perlu melakukan aksi nyata untuk menumbuhkankembangkan perilaku keluarga sadar gizi. (Anspek)
KORAN PAK OLES/EDISI 175/16-31 MEI 2009
Rokok menjadi mata rantai dalam lingkaran setan bersama kemiskinan, kurang gizi dan kematian anak. Semua kenikmatan sesaat itu berakhir fatal karena berpotensi menghilangkan sebuah generasi. Demikian kata Ketua Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Prof Farid Anfasa Moeloek. ‘’Memang terlalu ekstrim saya sebut lingkaran setan. Tapi itulah upaya keseriusan kami mengkampanyekan bahaya rokok kepada masyarakat,’’ kata Prof Farid.
Pernyataan itu dilandasi kenyataan yang menunjukkan adanya gejala pola hidup yang tidak tepat pada keluarga miskin yaitu ketika anggaran untuk membeli rokok terbilang terlalu banyak dibanding pengeluaran mereka. Ketergantungan pada zat adiktif di dalam rokok pada keluarga miskin terbukti meningkatkan kejadian kurang gizi balita. Bila tidak segera ditanggulangi, kondisi itu kain mengancam hilangnya sebuah generasi.
Akhirnya, kekurangan gizi pada balita itu menurunkan kualitas sumber daya manusia dan mengancam keberhasilan pembangunan nasional. Rendahnya tingkat pendapatan masyarakat Indonesia diperparah dengan biaya langsung untuk membeli rokok pada tingkat rumah tangga atau individu dengan pengeluaran sebesar Rp 325 triliun per tahun. Bayangkan, menurut Farid Anfasa Moeloek, uang sebesar itu hilang percuma hanya untuk membeli rokok, yang tentunya berdampak pada gangguan kesehatan dan kekurangan gizi anak-anak. ‘’Seandainya uang itu dimanfaatkan untuk kebutuhan keluarga, gizi anak pasti terpenuhi dan kita tidak kena penyakit,’’ katanya.
Bahaya rokok sudah tidak diragukan lagi karena dengan mengisap rokok, baik aktif maupun pasif, berarti penyakit dan kemiskinan. Rokok juga menurunkan kadar vitamin C, B-Karotin, D, E dan mineral dalam tubuh, meningkatkan efek buruk seperti kanker dan serangan jantung. Ibu hamil perokok mempunyai resiko dua kali lebih besar untuk melahirkan prematur dan keguguran dibanding ibu hamil yang tidak merokok.
Selain itu ibu hamil yang merokok dapat mempengaruhi fisik, kemampuan intelektual, dan perkembangan perilaku bayi. Merokok juga terbukti mengakibatkan penyakit, seperti kanker mulut, asma, stroke, bau mulut atau kesehatan gigi mulut, kanker pernafasan, dan kanker paru.
Pengajar Pusat Penelitian Kajian pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Rita Damayanti mengatakan, anggota keluarga yang merokok dapat mempengaruhi status gizi balita yang tinggal se rumah. Selain itu, konsumsi energi balita yang rumahnya ada orang merokok, lebih rendah daripada yang di rumahnya tidak ada perokok. Sebagai akibatnya, status gizi balita itu lebih rendah.
Direktur medis Helen Keller International Indonesia Roy Tjiong mengisyaratkan kebiasaan merokok ayah dapat meningkatkan risiko gizi buruk dan gizi kurang akibat belanja tembakau yang sangat menguras ketahanan pangan rumah tangga. Pertumbuhan anak merupakan indikator kesejahteraan anak, dampak jangka panjang gizi buruk berdampak pada prestasi akademik, kebugaran, dan ketangkasan. Kebiasaan merokok pada ayah sangat tinggi, sekitar 70%, sedangkan ibu kurang dari 1%. ‘’Angka kematian bayi dengan ayah merokok lebih tinggi dibanding ayah tidak merokok terutama di daerah kumuh perkotaan,’’ kata seorang direktur sebuah LSM.
Perilaku dan pola hidup sehat masyarakat masih rendah karena upaya mengurangi kebiasaan merokok belum optimal dan kesadaran gizi masih kurang disebabkan tingkat pendidikan rendah. Kebiasaan merokok di Indonesia setiap hari bagi laki-laki sekitar 45,8% dan 3% perempuan, 34,3% penduduk berusia 25 tahun ke atas dan 29,2% di atas 10 tahun. ‘’Kebiasaan merokok ditambah pola makan yang tidak teratur dapat meningkatkan resiko diserang berbagai penyakit,’’ kata Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas, Dr Arum Atmawikarta.
Sesuai laporan Bank Dunia akhir 2007 tentang peta jalan menuju tujuan pembangunan millenium (MDGs), gizi kurang menjadi noktah buruk Indonesia yang mencederai pencapaian tujuan MDGs lainnya. Pada keluarga miskin dengan perokok, balita terpaksa menanggung beban akibat kurang gizi karena uang yang menjadi hak mereka untuk memperoleh makanan sehat dialihkan untuk membeli rokok.
UU Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak menyebut, setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai harkat dan martabat kemanusiaan serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. ‘’Jadi ketergantungan terhadap rokok akan membebani keluarga dan mengambil hak hidup sehat anak-anak,’’ tegas Prof Farid.
Program pengentasan kemiskinan akan terhambat bila mayoritas keluarga miskin masih terperangkap adiksi rokok. Dana bantuan tunai Langsung (BLT) yang seharusnya untuk kebutuhan makanan bergizi, pendidikan dan kesehatan tergeser untuk membeli rokok. Akibatnya, membuat tujuan pemerintah meleset dari sasaran. Belum ada peraturan pemerintah yang secara tegas mengatur para perokok terutama menghindari anak-anak dari asap rokok. Kebijakan paling efektif untuk mengendalikan konsumsi rokok pada keluarga, kata dia, antara lain meningkatkan cukai dan harga rokok dan melarang penjual rokok batangan. Langkah itu perlu didukung pendidikan dan informasi dalam bentuk peringatan kesehatan di bungkus rokok, misalnya dengan bentuk gambar.
Juga perlu memasukkan aspek pengendalian tembakau sebagai komponen yang mempengaruhi kekurangan gizi pada balita dalam kebijakan nasional pangan dan gizi. Serta mengintegrasikan kebijakan pengendalian tembakau ke dalam kebijakan anak sehat. Rita Damayanti mengatakan, hubungan antara gizi dan rokok agar menjadi bahan advokasi bagi pemangku kebijakan.
Menurut dia, untuk penelitian advokasi disarankan supaya dilakukan penelitian di berbagai tempat dengan situasi sosial ekonomi yang lebih beragam agar pola hubungan lebih nampak jelas. Di samping itu perlu memasyarakatkan budaya tidak merokok melalui promosi keluarga sadar gizi dengan strategi utama menggerakan dan memberdayakan masyarakat untuk sadar gizi yang diperkuat dengan bina suasana dan advokasi serta didukung oleh kemitraan.
Upaya mengubah dan menciptakan perilaku itu, katanya, harus didukung upaya-upaya lain yang berkaitan seperti pemberlakuan kebijakan, keterjangkauan pelayanan gizi, ketahanan pangan dan subsidi pangan. Direktorat Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan Dr Minarto mengajak seluruh pengambil keputusan yang terkait di pusat, provinsi, kabupaten dan kota memahami dan mengeluarkan kebijakan yang mendukung pemberdayaan sadar gizi itu. Selain itu seluruh mitra potensial yang terkait sektor LSM, ormas, profesi, tokoh masyarakat, media massa, dunia usaha, lembaga donor perlu melakukan aksi nyata untuk menumbuhkankembangkan perilaku keluarga sadar gizi. (Anspek)
KORAN PAK OLES/EDISI 175/16-31 MEI 2009


0 komentar:
Posting Komentar