Home » » Makan Jagung Bukan Berarti Krisis Pangan

Makan Jagung Bukan Berarti Krisis Pangan

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang semakin pesat menyebabkan masyarakat semakin paham pentingnya pemeliharaan kesehatan yang berkaitan dengan asupan pangan yang baik. Salah satunya adalah melakukan diversifikasi atau keanekaragaman makanan. Misalnya, nasi diganti dengan jagung atau ubi. Namun membangun budaya diversifikasi makanan di suatu daerah tidaklah semudah membalik telapak tangan.
Masyarakat di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), misalnya, sulit melakukan diversifikasi atau keanekaragaman makanan, karena sudah terlanjur biasa makan nasi. Meski sekenyang apapun jika belum makan nasi, maka masyarakat tetap mengatakan belum makan, kata Kadis Perindustrian dan Perdagangan Kota Mataram, Drs H Marzuki Sahaz.
Apalagi di kalangan masyarakat berkembang anggapan bahwa kalau orang makan jagung atau ubi, dikira orang tersebut tidak ada makanan dan daerah tersebut diduga kekurangan pangan. Padahal diversifikasi makanan untuk mengantisipasi masalah kekurangan beras di suatu daerah. ‘’Kita lihat sekarang pemerintah mulai mengarah kediversifikasi makanan terlihat di sebagian acara yang diadakan baik pemerintah maupun swasta yang dihidangkan bukan kue, tetapi jagung, pisang dan kacang rebus, kata Sahaz.
Meski areal sawah yang dimiliki Kota Mataram relatif sedikit, namun hasil bumi seperti jagung, singkong, ubi dan ketela cukup melimpah, sekalipun dipasok dari Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Timur. Produksi Beras NTB pada umumnya hingga kini masih tetap kelebihan sekitar 300.000 ton per tahun karena produksi lebih dari 800.000 ton, sementara yang dibutuhkan sekitar 500.000 ton per tahun.
KPO/EDISI 162/NOVEMBER 2008
Thanks for reading Makan Jagung Bukan Berarti Krisis Pangan

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar