Home » » Minoritas Muslim Dalam Kacamata Barat

Minoritas Muslim Dalam Kacamata Barat

Judul: Potret Politik Kaum Muslim di Prancis dan Kanada
Penulis: Mochtar Pabotinggi, dkk
Penerbit: P2P – LIPI dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan I: Agustus 2008
Tebal: 160 halaman
Peresensi: Humaidiy AS*
Belum lekang dari ingatan kita potret kisah peristiwa menyedihkan seputar kondisi Muslim minoritas di negara-negara Eropa beberapa waktu lalu. Terlebih pasca tragedi akbar peristiwa 11 September dan ledakan-ledakan bom di Madrid dan London,
Muslimin Eropa menghadapi kondisi yang lebih sulit dan tertekan, dan berbagai tantangan baru.
Di tingkat lembaga-lembaga politik dan media massa Eropa, masalah kondisi minoritas muslimin yang tinggal di negara-negara Eropa muncul sebagai masalah serius. Buku berjudul Potret Politik Kaum Muslim di Prancis dan Kanada yang ditulis oleh Mochtar Pabotinggi, H. Hamdan Basyar dan sejumlah kontributor lain yang tergabung dalam Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI ini berusaha merekam bagaimana nasib umat Islam yang menjadi minoritas di sejumlah negara Eropa dan Amerika berjuang meneguhkan eksistensi mereka sebagai bagian tak terpisahkan dari sebuah nation state tanpa mengenal batas-batas agama, ras, etnis dan golongan tertentu, lebih khusus seputar keberadaan Muslim minoritas di Prancis dan Kanada. Kehadiran buku ini secara subtantif dan spesifik membahas secara mendalam tentang kebijakan integrasi politik Kanada dan Prancis dalam kaitannya dengan proses asimilasi komunitas minoritas Muslim dengan sistem nilai yang ada di masing-masing negara.
Dalam perkembangannya, tidak jarang mereka menghadapi berbagai problem yang bersifat sosial, kultural, dan politis. Problem ini muncul akibat interaksi dengan mayoritas non muslim serta hubungannya dengan pemerintah di negeri masing-masing. Problematika minoritas tidak hanya berpusat pada proses integrasi minoritas ke dalam mayoritas atau problem hegemoniasasi saja, melainkan juga pengakuan “kesedaratan” di antara mereka yang selama ini cenderung terkesan diskriminatif.
Dalam buku ini diceritakan bagaimana perjuangan minoritas Muslim di kedua negara dalam menghadapi berbagai permasalahan yang begitu kompleks. Sejak genderang anti-terorisme di tabuh, komunitas Muslim di berbagai belahan dunia merasakan tudingan diarahkan kepada mereka. Bermacam-macam fakta tentang menguatnya kekerasan anti Islam itu, datang baik dari masyarakat maupun pemerintah. Kebencian dan kekerasan anti Muslim bahkan menguat seiring dengan diluncurkan UU anti jilbab –terlepas dari apakah ada korelasi antara UU perilaku kekerasan anti Muslim –CCIF; sebuah LSM di Perancis merinci aksi kekerasan terhadap Muslim sejak 2004 meningkat drastis hingga mencapai 251% dibanding dengan data tahun sebelumnya (hal. 66). Ibarat “memancing di air keruh”, kekerasan dalam Islam juga terejawantah dalam berbagai berita atau media.
Ketika umat Islam termasuk Muslim Prancis memprotes pemuatan karikatur pelecehan Nabi Muhammad SAW di salah satu koran di Denmark, media Perancis justru “menelanjangi” aksi protes damai ini sebagai ekspresi kefanatikan agama.
Berangkat dari kenyataan-kenyataan di atas, mereka pun berusaha mengubah pandangan dunia tentang wajah Islam yang dianut melalui organisasi-organisasi yang mereka didirikan. Di Kanada, sejumlah lembaga semisal The Canadian Council for Amerikan-Islamic Relations (CAIR-CAN) yang concern berkiprah pada pembelaan hak asasi manusia. Selain itu, ada The Canadian Sociaty of Muslims (CSM) yang bermarkas di Toronto; organisasi ini bertujuan untuk mempromosikan suatu pengertian budaya Islam dengan pendekatan ilmiah melalui riset dan kegiatan lain. Di Perancis ada dua organisasi Islam yang menonjol: Federation Nationale des Musulmans de France (Federasi Nasional Muslim Prancis/FNMF) dan Union des Organisations Islamaques de France (Serikat Organisasi Islam Prancis/UOIF). Pada 6 November 1989, pemerintah Prancis membentuk Conseil Religieux de1'Islam en France (Dewan Keagamaan Islam di Prancis/ CORIF) yang ditugaskan melakukan kajian mengenai masalah kaum muslim di Perancis.
Sampai awal dekade abad ke-21 sedikitnya telah terdapat 15 juta kaum Muslim di Eropa, dengan sekitar lima sampai enam juta di
antaranya tinggal di Perancis atau sekitar 10 % dari 62 juta penduduk Perancis.
Angka ini telah menjadikan Muslim di Perancis sebagai komunitas Islam terbesar di Eropa. Sejarah keberadaan Muslim di negeri ini sebenarnya tidak lepas dari sejarah kolonial negeri itu di Afrika Utara (antara lain di Maroko dan Tunisia).
Migrasi kaum Muslim ke Peancis pertama kali terjadi sewaktu Perang Dunia I (1914-1918), lalu tahun 1920 di saat Perancis membutuhkan tenaga buruh untuk rekontruksi Perancis pascaperang. Kala itu sekitar 70.000 warga Aljazair dan Maroko datang ke negeri de Gaul ini. Migrasi berikutnya terjadi tahun 1960-an, lalu di susul pada era 1970-an (hal. 60). Sejak saat itu agama Islam menjadi agama terbesar kedua di Prancis setelah Katolik Roma.Senada dengan kenyataan di atas, sensus Kanada tahun 2001 memperlihatkan jumlah Muslim di Kanada tercatat 579.640 jiwa atau sekitar 2 persen dari seluruh populasi penduduk Kanada. Jumlah itu meningkat secara signifikan mencapai 128, 9 % sejak 1991.
Dalam bagian IV buku ini dengan sub tema “Keminoritasan” dalam Masyarakat Barat, penulis menggugat bahwa tindakan negara mendekontruksi komunitas muslim melalui proses-proses pewargaan, deideologisasi dan kulturalisas terlihat secara tersirat bahwa negara kebangsaan masih menekankan hegemonitas “etnis putih” dengan mengesampingkan peran keberadaan komunitas
Muslim maupun kelompok etnis atau agama minoritas lainnya, yang menunjukkan stigmatisasi belum juga memudar. Ini semakin membuktikan bahwa struktur kekuasaan di Kanada dan Perancis hanya memberi peluang kepada orang-orang putih untuk mengambil bagian dalam pemerintahan. Tampaknya, pemerintah Barat cenderung masih memiliki ilusi bahwa Islam bertentangan dengan peradaban Barat.
Akibatnya, semua undang-undang dianggap mencerminkan peradaban Barat dan semua penonjolan simbol Islam dalam tataran negara dianggap melanggar peraturan atau bahkan konstitusi. Kenyataan buruk lain adalah kecurigaan terhadap politik Islam karena dianggap menjegal demokrasi dan melanggengkan otorianisme dan menjadi sumber kekerasan. Walhasil, interaksi
antara komunitas minoritas Muslim dan masyarakat mayoritas masih menunjukkan perasaan saling berprasangka buruk, yang ditunjukkan dengan sikap etnocentrik dan perasaan nativistik.
Selain itu masyarakat putih merasa memiliki supremasi budaya, di mana budaya minoritas tidak mendapat pengakuan.
Pembahasan dalam buku ini di akhiri dengan kesimpulan bahwa permasalahan minoritas Muslim di masyarakat Barat sebagai suatu fenomena yang terus berkembang. Hubungan-hubungan antara
keduanya tidaklah selamanya berada pada konteks yang paradigmatik. Ada secercah harapan kedua belah pihak pada suatu masa akan menemukan titik temu menuju suatu harmoni sosial. Dimana nilai-niali dan etika baru yang memungkinkan konvergensi antara Islam dan Barat bisa membantu tatanan pembentukan tatanan masyarakat Barat ideal. Sehingga selayaknya komunitas Muslim secara keseluruhan diterima oleh masyarakat Barat karena ikut mewarnai perkembangan pluralitas sosial yang menjadi sumber inspirasi bagi pertumbuhan demokrasi. Ke depan, kita berharap komunitas Muslim bisa lebih berperan sebagai “pemain inti” dalam pengembangan peradaban global, daripada hanya sebagai “pelengkap dan penonton” bagi kemajuan peradaban dunia.
*) Pustakawan dan Peneliti pada Lembaga Kajian Agama dan Swadaya Umat (LeKAS) Yogyakarta.
KPO/EDISI 162/NOVEMBER 2008
Thanks for reading Minoritas Muslim Dalam Kacamata Barat

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar