Home » » Penguatan Demokrasi Di Ruang Publik

Penguatan Demokrasi Di Ruang Publik

Oleh: Choirul Mahfud*
Bangsa kita sedang memasuki babakan sejarah demokratisasi politik sangat penting. Tinta manis menggoreskan peristiwa demi peristiwa, satu di antaranya adalah praktik pemilihan presiden, gubernur, walikota, dan lurah secara langsung di hampir seluruh kawasan tanah air.
Menggembirakan bukan? Mungkin jawabannya, iya. Tapi perlu diingat, hal itu baru proses awal, bukan akhir. Sangatlah dini mengklaim hal itu sebagai capaian kesuksesan penegakan demokratisasi di negeri garuda ini. Perlu dimafhumi, bahwa pemahaman demokrasi di negara-negara yang sedang melangsungkan transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi seperti negara kita masih nampak bersifat minimalis. Artinya, demokrasi kerapkali dipahami sangat prosedural ketimbang substansial.
Ritualisasi prosedural demokratisasi yang mewujud dalam perhelatan pemilihan umum baik di tingkat desa hingga pusat, nampak asal-asalan bak ritualisme ”pernikahan”, di mana masing-masing pasangan sudah didesain sedemikian rupa. Dalam bahasa lain, demokrasi per definitionem, seperti dirumuskan secara padat dalam bahasa Jerman, adalah regierung der regierten (pemerintahan dari mereka yang diperintah). Jika demikian, menyerahkan kepercayaan begitu saja kepada para pelaku dalam sistem politik hasil pemilihan umum eksekutif dan legislatif.
Mereka yang diperintah harus mendapatkan akses pengaruh ke dalam sistem politik. Jika demokrasi ingin maksimal, celah di antara dua pemilihan umum harus diisi dengan partisipasi politis warga negara dalam arti seluas-luasnya. Dalam demokrasi maksimal inilah konsep ruang publik (public sphere) menduduki tempat sentral.
Bila demokrasi tidak sekadar dipahami formalistis, ia harus memberikan kemungkinan kepada warga negara mengungkapkan opini dan pikiran-pikiran mereka secara terbuka. Ruang atau, katakanlah, panggung tempat warga negara dapat menyatakan opini, kepentingan, serta kebutuhan mereka secara diskursif dan bebas tekanan itu merupakan inti ide ruang publik politis.
Dalam teori-teori demokrasi klasik dikenal konsep ”volonte generale” (kehendak umum), yaitu keputusan publik yang mencerminkan kepentingan seluruh rakyat. Konsep klasik yang berasal dari Jean-Jacques Rousseau ini tetap dianut dalam praktik-praktik parlementarisme modern, meski konsep itu lahir dari masyarakat berukuran kecil yang relatif homogen: masyarakat kanton Swiss. Sulit membayangkan realisasi volonte generale dalam sebuah masyarakat majemuk dengan keragaman orientasi nilai dan gaya hidup dalam era globalisasi pasar dan informasi dewasa ini.
Dalam karya awalnya, Strukturwandel der Oeffentlichkeit (Perubahan Struktur Ruang Publik), Juergen Habermas mendorong perlunya membuka pintu ruang publik politis sebagai kondisi-kondisi komunikasi yang memungkinkan warga negara membentuk opini dan kehendak bersama secara diskursif.
Sampai di sini, lantas muncul beberapa pertanyaan spekulatif, di manakah lokus ruang inklusif, egaliter, dan bebas tekanan itu di dalam masyarakat majemuk? Apa yang bisa menjamin kebersamaan masyarakat, ketika teknologi telah mencabik kebersamaan yang (pernah) ada? Soalnya, agama dan paham negara hukum klasik yang dirumuskan oleh John Lock dan Rousseau bila diterapkan dalam kehidupan masyarakat majemuk dewasa ini, sebagian banyak problematis.
Bagi Habermas, sistem negara hukum modern, yang dipraktekkan di Eropa Barat maupun Amerika harus diradikalkan dengan teori diskursus. Dengan memakai teori diskursus dalam arena politik, ia ingin melebarkan ruang perdebatan politik yang terjadi di parlemen supaya bisa menjadi ruang publik politis. Sehingga, masyarakat sipilnya bisa ikut serta mengambil bagian. Artinya, proses penetapan kebijakan politis yang berlaku tidak hanya menjadi tanggung jawab para wakil rakyat di parlemen tetapi juga tanggung jawab seluruh warga negara.
Itu sebabnya, belakangan Habermas merumuskan paradigma demokrasi diliberatif. Maksud dan tujuan demokrasi diliberatif adalah suatu upaya politis untuk menciptakan saluran komunikasi di ruang publik. Dalam konteks semacam ini, konsep kedaulatan rakyat yang menjadi cita-cita filsafat politik selama ini akan menjadi solid jika sistem politik maupun hukum, dapat semakin peka terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat sipil. Prosedur demokrasi bagi penciptaan hukum hanya dapat dibentuk secara jelas dengan legitimasi yang bersifat post-metafisis.
Solidaritas Sosial
Manakala kita membayangkan masyarakat kompleks dewasa ini, seperti analisis Habermas, dengan tiga komponen besar, yaitu sistem ekonomi pasar (kapitalisme), sistem birokrasi (negara), dan solidaritas sosial (masyarakat), lokus ruang publik politis terletak pada komponen solidaritas sosial. Dia harus dibayangkan sebagai suatu ruang otonom yang membedakan diri, baik dari pasar maupun dari negara.
Dalam era globalisasi pasar dan informasi dewasa ini, sulitlah membayangkan adanya forum atau panggung komunikasi politis yang bebas dari pengaruh pasar ataupun negara. Kebanyakan seminar, diskusi publik, demonstrasi, dan seterusnya didanai, difasilitasi, dan diformat oleh kekuatan finansial besar, entah kuasa bisnis, partai, atau organisasi internasional dan semacamnya.
Hampir tak ada lagi lokus yang netral dari pengaruh ekonomi dan politik. Jika demikian, ruang publik politis harus dimengerti secara "normatif": ruang itu berada tidak hanya di dalam forum resmi, melainkan di mana saja warga negara bertemu dan berkumpul mendiskusikan tema yang relevan untuk masyarakat secara bebas dari intervensi kekuatan-kekuatan di luar pertemuan itu. Kita menemukan ruang publik politis, misalnya, dalam gerakan protes, aksi advokasi, forum perjuangan hak-hak asasi manusia, perbincangan politis interaktif di televisi atau radio, percakapan keprihatinan di warung-warung, dan seterusnya.
Karena itu, sebuah negara hukum demokratis tentu harus memiliki masyarakat yang kuat dan kepemimpinan yang kuat. Sistem politik tidak boleh menjadi independen dari ruang publik politis. Ia harus terus mendapatkan makanan dan hidupnya dari ruang publik itu. Sebab dari situ pulalah ia meraih sumber loyalitas dan legitimitasnya. Pemerintahan yang kuat dalam arti ini adalah pemerintahan yang mampu memperlancar komunikasi politis antara sistem politik dan masyarakat sipil dalam ruang publik politis.
Negara tidak hanya bertugas sebagai pengontrol hak-hak warga negaranya sebagaimana yang diandaikan Locke dalam "Negara kecil-nya" atau Negara sebagai pemegang otoritas tertinggi sebagaimana Hobbes mengandaikannya dalam konsep "Negara besar". Tetapi, Negara dan rakyat adalah dua elemen yang memiliki hubungan erat satu sama lain. Di mana kebijakan dihasilkan dari proses komunikatif antar semua elemen itu. Pertanyaan akhirnya, sudahkah negara dan masyarakat sipil di negeri ini menjalankan proses komunikatif itu?
*)Penulis adalah Dosen UNMUH Surabaya, Mahasiswa S2 Ilmu Politik UNAIR.
KPO/EDISI 162/NOVEMBER 2008
Thanks for reading Penguatan Demokrasi Di Ruang Publik

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar