Home » » Perkaya Dan Rayakan Bahasa

Perkaya Dan Rayakan Bahasa

Oleh: Mulyo Sunyoto
Ada kabar di kalangan pegiat bahasa media massa bahwa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi IV yang dijadwalkan terbit bulan ini sekitar 12.000 lema baru menambah perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia. Menurut mereka, sebagian lema baru yang memperkaya KBBI itu berasal dari kosakata asing yang diserap dan ditundukkan dengan kaidah penyerapan yang berlaku. Sebagian lagi berasal dari kosakata daerah yang karena frekuensi pemakaiannya yang tinggi sehingga menjadi populer di kalangan pengguna bahasa Indonesia.
Penambahan 12.000 lema baru untuk kurun waktu tujuh tahun, jika dihitung dari penerbitan KBBI edisi III tahun 2001, agaknya cukup berarti. Ini bisa dibandingkan dengan penambahan lema baru yang hanya mencapai 6.000 selama kurun waktu 10 tahun, dihitung dari rentang tahun edisi II pada 1991 ke edisi III pada 2001.
Pengaruh bahasa asing terkait dengan proses globalisasi dan perkembangan teknologi informasi agaknya membuat bahasa Indonesia tak kebal dari intrusi linguistik itu. Para pengguna bahasa Indonesia tak bisa mengelak dari hujan atau serbuan kata-kata asing.
Sebagai contoh, diksi diva yang belum masuk sebagai lema dalam KBBI edisi terakhir, sudah menjadi kosakata yang populer. Pembawa acara di televisi bahkan menjuluki Inul Daratista, pedangdut yang terkenal dengan goyang ngebor sebagai diva.
Penggunaan diksi itu kian gencar dengan terbentuknya apa yang disebut tiga diva, kombinasi tiga penyanyi perempuan yang terdiri atas Krisdayanti, Ruth Sahanaya dan Titi Dj. Masalah apakah penerapan sebutan diva untuk Inul dan ketiga penyanyi pop Indonesia itu sudah tepat, menyangkut problem semantik, yang sering terabaikan penutur bahasa Indonesia yang menyerap kosa kata dari bahasa asing.
Arti utama diva, yang akarnya dari bahasa Latin lalu diserap ke bahasa Italia adalah primadona, --penyanyi perempuan utama dalam pertunjukan opera. Tetapi arti kedua diva, menurut Webster`s Dictionary New Edition 2005, tokoh atau bintang panggung perempuan yang sukses dan gemerlap. Makna keduanya,
penerapan kata diva untuk Inul bisa dimaklumi. Meski KBBI terakhir belum memasukkan lema diva, para redaktur media cetak tak menulis dengan huruf miring, sebagai tanda penulisan kosa kata yang belum dianggap baku, setidaknya oleh Pusat Bahasa, yang menerbitkan KBBI sejak edisi I tahun 1988.
Sikap Pusat Bahasa untuk menambah lema baru secara signifikan ke dalam KBBI edisi IV merupakan langkah yang paralel dengan sikap inklusif bangsa-bangsa di dunia dalam menyambut pengaruh bahwa asing ke dalam bahasa nasional mereka.
Bahkan, Prancis yang penguasa dan elitenya sangat terobsesi melindungi bahasa nasionalnya dari pengaruh korup bahasa Inggris mulai mengubah kebijakannya. Seperti diberitakan The Economist 11 September, Prancis telah mengendurkan permusuhan sengitnya terhadap bahasa Inggris.
Menurut Economist, mempertahankan bahasa Prancis dari invasi pelahan tetapi pasti bahasa Inggris merupakan kegemaran masa lalu elite Prancis. Pada 2006 Jacques Chirac ngacir dari ruang Pertemuan Puncak Brussel sebagai protes atas pidato orang Prancis yang menggunakan bahasa Inggris.
Mempertahankan keistimewaan bahasa Prancis dan melindungi musik, film bahkan iklan berbahasa Prancis dari pengaruh buruk bahasa Inggris merupakan kebanggaan nasional.
Kenapa Prancis akhirnya membuka diri dari pengaruh bahasa Inggris? Menteri Pendidikan Prancis Xavier Darcos mengumumkan bahwa dia sedang menambah jam pelajaran bahasa Inggris di sekolah. "Saya sudah sering mendengar bahwa orang Prancis tidak mempelajari bahasa Inggris. Ini kerugian besar dalam persaingan antarbangsa,’’ ujarnya. Darcos ingin semua lulusan sekolah dasar Prancis bisa berbicara dalam dua bahasa.
Kini sejumlah kelompok musik Perancis memberikan tajuk dalam album mutakhir mereka dalam bahasa Inggris. Harian Le Monde, yang menjadi kitab suci elite Prancis, menulis tanpa rasa sesal; ‘’Anak-anak zaman globalisasi tak lagi menulis dalam bahasa Prancis’’. Remaja Prancis seperti kaum sebaya mereka di mana pun, lebih banyak membaca di internet daripada di media cetak. Mereka lebih banyak chatting dengan kenalan di manca negara dalam bahasa Inggris.
Jika Prancis yang puritan sudah membuka diri dari pengaruh bahasa Inggris, serbuan kosakata Inggris yang merasuki media komunikasi di Indonesia agaknya kian sulit dibendung. Itu bukan cuma efek dari kegemaran awam yang suka mencampuradukkan kosakata Inggris ke bahasa percakapan sehari-hari mereka. Seorang eseis semacam Goenawan Mohamad pun tak segan-segan mengadopsi zealot dan menyerap jadi zilot dalam tulisannya untuk memperoleh makna dan bunyi yang pas.
Apakah gencarnya penyerapan bahasa Inggris ke bahasa Indonesia tak mendesak dan menenggelamkan kosakata pribumi, terutama dari bahasa-bahasa daerah di Nusantara? Jika sikap pengguna bahasa seperti Goenawan, jawabnya tentulah tidak. Sebab, di samping suka mengadopsi bahasa asing dan menundukkannya ke dalam kaidah Bahasa Indonesia, eseis yang kini berusia 67 itu juga gemar menasionalisasi kosakata daerah, terutama Jawa.
Dalam satu esainya, Goenawan tak perlu menuliskan kata swiwi dengan huruf miring. Padahal kata itu jelas tidak diakui oleh KBBI. Agaknya, sebagai praktisi ilmu retorik yang berpengalaman, Goenawan perlu mencari sinonim kata sayap untuk menghindari repetisi. Sayangnya, sinonim itu tak ada di bahasa Indoneisa. Dicomotlah kosa kata Jawa-- jadi bagian bahasa ibu sang eseis. Dengan cara itulah bahasa Indonesia bisa diperkaya dan dirayakan tanpa harus menjadikan penuturnya berjiwa puritan dan menelantarkan akar budayanya. (Anspek)
KPO/EDISI 162/NOVEMBER 2008
Thanks for reading Perkaya Dan Rayakan Bahasa

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar