Home » » Peran Bahasa Ibu Memberantas Buta Aksara

Peran Bahasa Ibu Memberantas Buta Aksara

Oleh: Zita Meirina
Sekelompok ibu-ibu terlihat di pelataran sebuah rumah besar di jalan Pandawa Cakranegara kota Mataram. Mereka duduk sambil menganyam pita plastik untuk dirangkai menjadi wadah antaran dengan berbagai model dan warna-warna cerah. Perempuan dewasa dan ibu-ibu setengah baya itu adalah warga belajar yang sedang menekuni jenis keterampilan menganyam pita plastik sebagai bagian dari program kecakapan hidup yang diberikan oleh pengelola Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) Pandawa.
Aktivitas di PKBM tersebut telah menjadikan ibu-ibu itu tidak sekadar terampil menganyam tetapi juga sedikit demi sedikit mampu mengenal huruf latin dan hitungan dalam bilangan sederhana. Setelah belajar lebih dari tiga bulan, mereka mampu memberikan penghasilan tambahan bagi keluarga.
Sebelumnya, ibu-ibu dan remaja putri di kelurahan Cakranegara dan sekitarnya lebih banyak menghabiskan waktu dengan kegiatan yang tidak bermanfaat, bahkan citra buruk sempat melekat kepada perempuan dan ibu-ibu yang tinggal di sekitar perkampungan padat tersebut.
Masyarakat yang bermukim di kawasan ini merupakan campuran antara penduduk asli NTB dengan pendatang dari Pulau Bali yang sudah bermukim puluhan tahun. Namun, melalui pendekatan yang dilakukan para tokoh masyarakat bersama aparat pemerintah setempat kebiasaan buruk yang dilakukan masyarakat itu mulai berkurang, apalagi kini banyak perempuan dewasa dan remaja putri yang lebih memilih meningkatkan pengetahuan dan keterampilan melalui PKBM.
Pemilik PKBM Pandawa, Ni Nyoman Elly Setiwati, mengakui memang dulu ada kebiasaan buruk dari masyarakat sekitar dan ironisnya juga dilakukan oleh kaum perempuan. ‘’Berjudi mereka lakukan karena mereka tidak memiliki pekerjaan ditambah kondisi ekonomi yang pas-pasan. Di samping juga karena ada budaya tertentu yang kurang baik ditambah lagi rendahnya pendidikan masyarakat,’’ ujarnya.
Kegiatan PKBM Pandawa ini merupakan bagian dari kegiatan mereka belajar modul untuk paket A setara SD dan paket B setara SMP dan keaksaraan fungsional. Sebelum memulai belajr ketrampilan anyaman, ibu-ibu yang rata-rata berusia di atas 35 tahun belajar sebagian belajar membaca dan menulis dan berhitung dengan menggunakan bahasa pengantar bahasa Bali agar materi bahan ajar lebih cepat dapat dikuasai. ‘’Materi bahan ajar terkait dengan pelajaran dasar menulis dan membaca dalam tingkat sederhana dan divariasikan dengan cara menulis dan membaca bahan-bahan yang nantinya akan mereka pelajari dalam ketrampilan. Misalnya materi sederhana tentang bahan-bahan untuk membuat anyaman, kemudian hitungan jual dan beli satu kotak anyaman yang sudah jadi dan sebagainya," kata Elly.
Pembelajaran secara mandiri melalui PKBM merupakan salah satu potret dari kepedulian sekelompok masyarakat untuk mendorong pemberantasan buta aksara yang angkanya masih relatif tinggi di Indonesia. Buta aksara merupakan masalah yang sudah terjadi sejak lama. Kebutaaksaraan sangat terkait dengan beberapa masalah, seperti kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, serta ketidakberdayaan suatu masyarakat. Kebutaaksaraan juga sangat terkait dengan sejarah sebuah bangsa. Umumnya, negara-negara miskin dan korban jajahan oleh negara-negara lain memiliki penduduk dengan tingkat buta aksara yang tinggi.
Dalam acara peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional 2008 di Gedung Depdiknas, Jakarta, Sabbir Ahmed, Asisten Profesor Bidang Politik Universitas Dhaka Bangladesh mengatakan, pemberantasan buta aksara di negaranya dilakukan melalui jalur pendidikan nonformal. Targetnya, bagi anak-anak pribumi yang putus sekolah dan miskin. ’Mereka tidak menyelesaikan belajar, mereka putus sekolah karena tekanan ekonomi keluarga. Anggota keluarga menginginkan anaknya mencari uang.
Sabbir mengatakan, saat ini terdapat 14.289 pelajar pribumi belajar di 928 sekolah nonformal di seluruh Bangladesh. Adapun penduduk etnis minoritas di Bangladesh sebanyak 1,2 juta orang dari seluruh populasi penduduk sebanyak 150 juta orang. Kegiatan belajar yang dimulai sejak Oktober 2001 difasilitasi oleh lembaga swadaya masyarakat Bangladesh Rural Advancement Committee (BRAC).
Namun, buta aksara tidak hanya ada di negara-negara itu. Di negara-negara yang saat ini tergolong maju pun, dahulu masyarakatnya banyak yang tergolong buta aksara. Bedanya, saat ini mereka sudah terbebas, sementara negara-negara bekas jajahan mereka masih menjadi penyandang buta aksara yang besar.
Dirjen Pendidikan Nonformal dan Informal (PNFI) Depdiknas, Hamid Muhammad, dalam sebuah kesempatan mengatakan, saat ini jumlah penduduk buta aksara telah menurun cukup signifikan menjadi 10,1 juta orang. "Angka ini menurun drastis 1,7 juta orang dibanding pada tahun 2007 yang tercatat 11,8 juta orang dan Pemerintah menargetkan pada akhir 2009 jumlah penduduk buta aksara usia 15 tahun ke atas tersisa 7,7 juta orang," katanya.
Sejak tahun 1970-an pemberantasan buta aksara menunjukkan tingkat yang tidak terlalu stabil, meskipun begitu dari tahun ke tahun menunjukkan perkembangan yang semakin baik. Selama periode tahun 1971-1980, selama 9 tahun, tingkat pemberantasan buta aksara hanya 0,17 persen per tahun. Selama 10 tahun berikutnya naik menjadi 1,76 persen per tahun.
Tingkat pemberantasan buta aksara baru menunjukkan kenaikan yang cukup signifikan selama periode tahun 1990-1993 dan 1993-2000. Pada dua periode tersebut, pemberantasan buta aksara masing-masing naik sebesar 4,57 dan 6,29% per tahun.
Bahasa Ibu
Bahasa daerah (Bahasa ibu) memainkan peran sangat penting dalam proses pendidikan, mengingat bahasa daerah merupakan bahasa yang pertama dipelajari di lingkungan keluarga. Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran aksara untuk para penyandang buta aksara. Namun yang tak kalah penting, bahasa daerah bermanfaat sebagai sarana memberantas buta aksara.
Penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pengajaran sudah mulai digunakan pemerintah sebagai salah satu strategi untuk meningkatkan laju pemberantasan buta aksara. Ada kecenderungan penyandang buta aksara tidak menguasai bahasa Indonesia. Namun pada jenjang pembelajaran keaksaraan perlu diarahkan penggunaan bahasa pengantar bahasa Indonesia.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia-KBBI, Balai Pustaka, edisi ke-3, 2002, bahasa daerah dinyatakan sebagai bahasa yang lazim dipakai di suatu daerah atau bahasa suku bangsa. Berhubung cukup banyak masyarakat Indonesia yang menguasai bahasa daerah sejak awal hidup, --terjadi di pedesaan dan kota-kota kecil-- maka bahasa daerah menjadi bahasa ibu. Meski harus disadari, tidak setiap bahasa daerah serta merta menjadi bahasa ibu. Ada banyak bahasa daerah di seluruh tanah air.
Berdasarkan kamus bahasa online Ethnologue: Languages of the World, dari 7.000 bahasa di seluruh dunia, 742 bahasa (10,73 persen) di antaranya terdapat di Indonesia. Indonesia menjadi negara dengan jumlah bahasa daerah kedua terbesar setelah Papua Nugini yang memiliki 820 bahasa, namun mengalahkan India (427 bahasa), China (241 bahasa), Republik Kongo (216 bahasa), Meksiko (297 bahasa), Nigeria (516 bahasa), bahkan Amerika Serikat yang hanya memiliki 311 bahasa.
Menurut kamus tersebut, di Pulau Jawa dan Bali saja ada 20 macam bahasa, antara lain Sunda, Tengger, Madura, Betawi, Baduy, dan Bali. Demikian juga di Sumatera terdapat 49 bahasa, di Kalimantan 83 bahasa, di Sulawesi 114 bahasa, di Maluku 132 bahasa, di Nusa Tenggara 73 bahasa, serta di Papua 271 bahasa.
Sejak tahun 1951, untuk mendukung kegiatan belajar-mengajar, sebenarnya UNESCO telah mendukung digunakannya bahasa daerah, dengan pertimbangan bahasa daerah lebih dikuasai oleh para pengajar yang berada di daerah. Bahkan, dukungan ini dikuatkan dengan penetapan Hari Bahasa Ibu Internasional sejak tahun 2000, yang jatuh setiap 12 Februari, oleh lembaga tersebut.
Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, Arief Rachman, mengatakan, pada saat ini terdapat 6.000 bahasa yang ada di dunia dan dari jumlah tersebut 50% akan musnah. Untuk meningkatkan pelestarian bahasa ibu diharapkan agar setiap anak dapat belajar lebih dari satu bahasa. ‘’Selain itu dalam sistem pendidikan dapat diajarkan bahasa ibu, bahasa nasional dan bahasa asing,’’ kata Arief.
UNESCO sangat prihatin dengan ancaman kepunahan bahasa-bahasa ibu di dunia. Dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia, paparnya, terjadi penurunan jumlah bahasa ibu, seperti di Papua dari 273 bahasa menjadi 271 bahasa, di Sumatera dari 52 bahasa kini 49 bahasa dan di Sulawesi dari 116 bahasa turun menjadi 114 bahasa. Jika bahasa ibu punah maka punah pula budayanya. Hal yang lebih memprihatinkan, justru punahnya kemampuan bertutur dalam bahasa ibu yang ditopang dengan kemampuan membaca dan berbicara. ‘’Ketika bahasa ibu sudah tidak digunakan maka ancaman baru dihadapi masyarakat, yakni dalam waktu cepat atau lambat mereka akan kembali menjadi buta aksara,’’ tuturnya.
UNESCO sangat prihatin dengan kebijakan dan perhatian yang tidak sungguh-sungguh untuk mengatasi kepunahan itu karena generasi mendatang tidak memiliki lagi bahasa ibu. Dia menambahkan, UNESCO menjadikan tahun 2008 sebagai Peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional untuk membangkitkan kepedulian pemerintah dan masyarakat dunia melawan buta aksara.
Peran bahasa daerah juga menjadi sangat penting, seiring dengan era otonomi daerah. Ini dapat dilihat dari penjelasan Undang Undang No 20 Th 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang telah disahkan pada tanggal 8 Juli 2003, khususnya pasal 37 ayat (1) tentang butir bahasa. Dalam pasal tersebut dijelaskan, bahan kajian bahasa mencakup bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing.
Penggunaan bahasa daerah sebagai pengantar dalam pemberantasan buta aksara dapat diterjemahkan secara lebih luas, dengan memanfaatkan juga sumber-sumber tertulis serta tidak tertulis lainnya, seperti buku cerita rakyat berbahasa daerah, dongeng, serta pantun daerah. Penggunaan bahasa daerah untuk membantu memberantas penderita buta aksara sudah menuai hasil yang menggembirakan. Di kampung Cibago yang terletak di Kecamatan Cisalak, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, kegiatan ini sudah dilakukan sejak tahun 2002.
Kegiatan di Cibago ini diprakarsai oleh Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (BP-PLSP) Regional II Jayagiri yang berupaya mengembangkan pendekatan pemberantasan buta aksara dengan menggunakan bahasa ibu, yaitu bahasa Sunda. Yang menarik dari pedekatan pembelajaran di Cibago ini, tidak saja bahasa yang digunakan merupakan bahasa ibu, namun juga bahasa ibu tingkat tinggi, atau bahasa Sunda tingkat tinggi.
Pembelajaran di kampung Cibago ini mendapatkan apresiasi yang tinggi dari UNESCO. Dalam beberapa forum internasional yang diselenggarakan UNESiCO, nama Cibago bahakan sering dijadikan contoh sebagai contoh untuk kegiatan pemberantasan buta aksara. Bahasa dalam pembelajaran yang dilakukan terhadap masyarakat kampung Cibago ini, sama dengan bahasa yang mereka pakai untuk berkomunikasi sehari-hari.
Warga tidak perlu lagi menghafal makna kata-kata baru, karena semua sudah mereka ketahui sebelumnya. Karena itu, masyarakat menjadi lebih mudah untuk belajar membaca, menulis dan berhitung. Penggunaan bahasa Sunda ini berdampak luar biasa. Masyarakat yang sebelumnya berperilaku tertutup, berubah menjadi lebih terbuka. Mereka jadi lebih percaya diri, karena pengetahuannya bertambah. Masyarakat menjadi berani berkomunikasi, tidak saja dengan penduduk sekitar tetapi juga pendatang.
Di Jawa Tengah, sejak tahun 2007 pemberantasan buta aksara sudah dilakukan dengan menggunakan bahasa Jawa. Pelopornya, Universitas Gadjah Mada (UGM) melalui penyelenggaraan Kuliah Kerja Nyata (KKN) bertema pemberatasan buta aksara. Program ini dikembangkan oleh Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (PPM) UGM. Titik beratnya adalah metode pengajaran baca-tulis dalam dua waktu bulan.
Metode ini dikembangkan bersamaan dengan program KKN Pemberantasan Buta Aksara. Program ini dilakukan sejak tahun 2007, dan hingga saat ini telah diikuti oleh lebih dari 50 universitas di seluruh Indonesia.
‘’KKN memang menjadi karakteristik UGM yang tidak bisa dipisahkan,’’ ujar penanggung jawab KKN Pemberantasan Buta Aksara, Prof Retno Sunarminingsih, yang tak lain istri Mendiknas Bambang Sudibyo.
Menurut Koordinator Program KKN PBA Wiwin Widyawati M.Hum, pelaksanaan program ini meliputi tahap pengenalan baca tulis dengan bahasa ibu dan Bahasa Indonesia, pengenalan aspek berhitung, serta ujian keaksaraan. Setelah lulus, para peserta akan mendapat sertifikat dari Depdiknas.
Menurut Wiwin, tingkat keberhasilan program mencapai 86%. Penggunaaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pemberantasan buta aksara sudah dilakukan di Pulau Madura melalui program KKN yang dilakukan mahasiswa UGM. Para mahasiswa menggunakan cara jemput bola. Penggunaan berbagai bahasa daerah yang memiliki jumlah pengguna yang besar di setiap daerah diharapkan dapat lebih mempercepat laju pemberantasan buta aksara, terutama di daerah-daerah yang memiliki penderita buta aksara yang tinggi.
Di Nusa Tenggara Barat (NTB), misalnya, bahasa Sasak diperkirakan digunakan lebih 2,1 juta penduduk serta bahasa Uab Meto dan bahasa Bima yang dipakai 500-an ribu penduduk NTB, dapat dijadikan sebagai bahasa pengantar pengajaran. Di Sulawesi Selatan, yang memiliki jumlah penderita buta aksara yang cukup tinggi, penggunaan bahasa Bugis, bahasa Konjo, bahasa Mamasa serta bahasa Mamuju diharapkan dapat mempercepat pemberantasan buta aksara. (Anspek)
KPO/EDISI 162/NOVEMBER 2008
Thanks for reading Peran Bahasa Ibu Memberantas Buta Aksara

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar