Home » » Bahasa Tionghoa Dan Kemilau Emas Itu…

Bahasa Tionghoa Dan Kemilau Emas Itu…

Oleh: Teguh Imam Wibowo
Penggunaan sehari-hari Bahasa Indonesia oleh masyarakat mungkin tidak dilakukan dengan sepatutnya sesuai kaidah yang berlaku. Banyak serapan maupun ucapan yang dipengaruhi bahasa asing atau budaya lokal yang akhirnya membuat penutur Bahasa Indonesia oleh bangsa Indonesia amat bervariatif.
Salah satu bagian sejarah yang berperan penting dalam perkembangan budaya Indonesia adalah kedatangan masyarakat Tionghoa ke nusantara berabad-abad silam. Beragam interaksi yang berlangsung sejak beratus tahun itu ikut memengaruhi kosakata Bahasa Indonesia sebagai salah satu ikon persatuan bangsa.
Cukup banyak kosakata yang dibawa masyarakat Tionghoa yang mungkin oleh masyarakat awam dianggap sebagai bahasa asli Bahasa Indonesia. Misalnya saja tahu (tau hu), toko (tho kho), tukang (toa kang), tongkang (tong kang), tong (tong), teko (te ko), teh (te), sampan (sam pan) atau lonceng (loan cheng).
Menurut peneliti dari Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Barat, Dedy Ari Asfar, sebagai sebuah bahasa, Bahasa Indonesia memang bersifat ?cair? dan terbuka terhadap kosakata asing dan daerah. ‘’Namun, tentunya tetap harus patuh dalam kaidah penyerapan Bahasa Indonesia,’’ kata Dedy yang kini tengah menempuh pendidikan Strata 2 di Malaysia itu.
Dalam kasus Bahasa Cina yang terserap ke dalam Bahasa Indonesia, masyarakat Tionghoa secara langsung dan tidak langsung membawa budaya baru kepada masyarakat lokal dengan memperkenalkan istilah-istilah baru. Mulanya memang asing, tetapi lama-lama istilah itu membumi dalam masyarakat.
Dari beragam contoh kata serapan tersebut, ada kosakata makanan, perdagangan, aktivitas pekerjaan, dan benda-benda tertentu. Selanjutnya kosa kata itu sudah menjadi tata ucap orang Kalimantan Barat maupun Indonesia.
Kaidah Penyerapan
Dalam konteks kontak antarpenutur di Indonesia, Dedy menyatakan bahwa sesungguhnya terjadi saling melengkapi. Artinya, bahasa asing mewarnai dan menambah kosakata bahasa nasional. Kemudian bahasa nasional melengkapi bahasa daerah dan bahasa daerah memperkaya perbendaharaan kosakata bahasa Indonesia.
Kaidah penyerapan yang berlaku dalam Bahasa Indonesia yakni berupa penyesuaian ejaan dan lafal (1), penyesuaian ejaan tanpa penyesuaian lafal (2), tanpa penyesuaian ejaan tetapi dengan penyesuaian lafal (3), dan tanpa penyesuaian ejaan dan lafal (4). Untuk kaidah pertama, ia mencontohkan systeem menjadi sistem. Kaidah kedua, science menjadi sains. Kaidah ketiga, nasal menjadi nasal. Dan kaidah keempat, internet menjadi internet.
Dedy Ari Asfar menambahkan, pada masa lalu bahasa Melayu menjadi lingua franca namun kosa kata dari bahasa Cina tetap banyak digunakan penduduk lokal. Karena padanan dalam bahasa daerah belum ada. Kontak bahasa Indonesia lalu disisipi istilah tertentu dari bahasa Cina," katanya.
Mulanya Emas
Dedy menjelaskan, kemilaunya emas menjadi salah satu kisah bagaimana bahasa China bisa kontak dengan penutur (orang-orang) di Kalbar. Hal ini bermula dengan ditemukannya tambang emas pada pertengahan abad ke-18. Panembahan di Kerajaan Mempawah, mengundang sekelompok kecil orang Tionghoa dari Brunei untuk bekerja di tambang emas di Kecamatan Sungai Duri, Kabupaten Bengkayang pada tahun 1740-an.
Bahkan, populasi warga Tionghoa dan perusahaan emas berkembang dengan pesat. Pada tahun 1812, jumlah penambang emas dari warga Tionghoa di Kota Sambas, sekitar 140 kilometer sebelah utara Kecamatan Sungai Duri, sudah meningkat menjadi 30.000 orang.
Di Kecamatan Selakau (Kabupaten Sambas), terdapat sekitar 20.000 penambang dari warga Tionghoa. Kemudian di di Montrado (Kabupaten Bengkayang), terdapat sekitar 50.000 orang. Kondisi itu terlihat di berbagai daerah tambang emas tradisional di berbagai wilayah di Kalbar. Malah, banyak kongsi dari Tionghoa pada abad ke-18 yang mendeklarasikan diri untuk lepas dari kekuasaan Kerajaan Melayu.
Menurut Dedy, dapat dikatakan gabungan kongsi ini membentuk negara dengan tata pemerintahan sendiri di Kalbar yang akhirnya memicu perang besar di Montrado. Namun, sejak akhir abad ke-19, aktivitas pertambangan mulai pasif. Dampaknya, orang Tionghoa di Kalbar mulai melirik aktivitas baru dalam bidang pertanian dan perdagangan hingga hari ini. ‘’Oleh karena itulah kosakata jual-beli pun membumi dan masuk ke dalam kosakata Indonesia,’’ ujarnya.
Menteri Dalam Negeri menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) 40 tahun 2007 tentang Pedoman Bagi Kepala Daerah dalam Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Negara dan Bahasa Daerah. Namun, kata Kepala Balai Bahasa Provinsi Kalbar, Firman Susilo, aturan itu belum efektif dilaksanakan para kepala daerah. Penggunaan bahasa asing pun terkesan salah kaprah dan mengabaikan Permendagri 40 tahun 2007. ‘’Banyak yang akhirnya mengabaikan bahasa Indonesia,’’ kata Firman Susilo.
Ia mencontohkan pemberian nama gedung yang dibangun dari dana APBD menggunakan bahasa Inggris seperti Pontianak Convention Center. Kalau diganti dengan Balai Pertemuan Pontianak misalnya, apakah mengurangi nilai jual gedung?.
Penggunaan tulisan Mandarin untuk penamaan unit usaha atau toko juga terlihat marak di berbagai kota seperti Singkawang dan Pontianak. Penamaan itu umumnya diselingi dengan penggunaan Bahasa Indonesia. Meski Bahasa Indonesia bersifat cair dan terbuka, bukan berarti dengan mudah bahasa asing diaplikasikan karena ada kaidah tata bahasa yang harus dipenuhi.
Ia sepakat, bahasa merupakan identitas suatu bangsa atau negara. Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan ke wilayah Malaysia salah satunya karena faktor bahasa Indonesia sudah tidak lagi menjadi bahasa utama di pulau itu melainkan bahasa Malaysia. (Anspek)
KPO/EDISI 162/NOVEMBER 2008
Thanks for reading Bahasa Tionghoa Dan Kemilau Emas Itu…

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar