Home » » Lestarikan Bahasa Ibu

Lestarikan Bahasa Ibu

Oleh: Zita Meirina
Beberapa orang tua murid di sebuah sekolah dasar (SD) swasta di Bekasi Selatan dalam kesempatan pertemuan orang tua dengan pihak sekolah di awal tahun pelajaran menyampaikan usulan agar mata pelajaran bahasa Sunda dihapuskan dari kurikulum sekolah.
Alasannya, pengajaran bahasa Sunda dinilai kurang bermanfaat dalam implementasi dan menjadi mata pelajaran yang menakutkan bagi sebagian besar siswa. Ibu Maya, orang tua murid kelas 3, mengeluhkan bagaimana dirinya selalu dibuat uring-uringan setiap kali Dita (10), putrinya, mendapat pekerjaan rumah mata pelajaran bahasa Sunda. ‘’Keluarga kami dari suku di Sumatera sehingga sulit bagi saya membantu anak untuk menjelaskan pekerjaan rumah pelajaran bahasa Sunda. Buku pelajaran Bahasa Sunda seluruhnya menggunakan pengantar bahasa Sunda sehingga kami sering bertanya kepada tetangga yang bisa berbahasa itu,’’ katanya.
Sementara orang tua murid lain, Ibu Santi mengharapkan agar sekolah bisa mempertimbangkan mata pelajaran bahasa Sunda sebagai bagian dari ekstra kulikuler saja tidak dimasukan sebagai mata pelajaran utama sehingga tidak terlalu berpengaruh pada nilai rapor.
Sedangkan, ibu Rian mengharapkan agar mata pelajaran bahasa Sunda lebih banyak diimplementasikan dalam bentuk praktek ketimbang teori sehingga murid tidak hanya semata-mata menghafal mata pelajaran tetapi juga melaksanakan dalam kegiatan sehari-hari, misalnya dalam bentuk tugas kelompok percakapan bahasa Sunda, seni tari dan musik Sunda.
‘’Saya berharap mata pelajaran ini tidak dihapus atau dihilangkan sebab siapa lagi yang mau melestarikan seni dan budaya Sunda kalau bukan kita. Memang banyak anak-anak mengeluh sulit mempelajari bahasa Sunda apalagi kita ini tinggal di Bekasi daerah penyangga dengan penduduk yang heterogen dan tidak lagi menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari,’’ ungkap ibu Rian yang juga dosen di salah satu perguruan tinggi di Jakarta.
Dilematis penggunaan bahasa ibu atau bahasa daerah sebagai muatan lokal dalam mata pelajaran di sekolah memang sangat dirasakan oleh siswa siswi dan orang tua yang bermukim di kota-kota di kawasan penyangga baik di Jakarta seperti Bekasi, Depok dan Tangerang maupun kota besar lainnya di Tanah Air.
Menanggapi usulan dan keluhan orang tua murid tentang mata pelajaran bahasa daerah tersebut, pihak sekolah menyatakan mata pelajaran bahasa daerah wajib dimasukan dalam kurikulum sekolah sebagai upaya pelestarian nilai dan budaya setempat dari ancaman kepunahan. ‘’Kalau kita pendatang artinya kita yang harus bisa menyesuaikan dengan budaya lokal. Wilayah Bekasi ini meski bisa dikatakan mayoritas penduduknya adalah kaum pendatang namun secara geografis masuk wilayah Propinsi Jawa Barat sehingga ada pepatah ‘’Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung’’, kata Samid guru mata pelajaran bahasa Sunda di sekolah itu.
Samid mengatakan, mata pelajaran bahasa Sunda sebagai muatan lokal yang harus dimasukan dalam kurikulum sekolah untuk menonjolkan keunggulan yang dimiliki setiap daerah. Tidak serta merta karena mata pelajaran bahasa Sunda tidak aplikatif dalam kehidupan sehari-hari seperti di kota Bekasi ini lalu tidak kita perkenalan kepada siswa.
Manfaatnya tetap banyak kalau kita berkunjung ke kota-kota lain di Jawa Barat tentu akan terasa manfaatnya untuk menumbuhkan komunikasi lebih akrab dalam bertegur sapa atau menawar dagangan. ‘’Secara psikologis kalau kita bertegur sapa dalam bahasa setempat akan memberi dampak yang berbeda dalam membangun keakraban dan kepercayaan orang yang kita ajak bicara. Misalnya dalam tawar menawar saat berbelanja, biasanya kalau kita menggunakan bahasa lokal bisa mendapatkan harga lebih murah, apalagi bila ia tahu kita orang luar daerah artinya kita menghoramati bahasa mereka,’’ katanya.
Penggunaan bahasa Bali sebagai muatan lokal demikian pula masih digunakan di sekolah-sekolah dasar negeri di Bali. ‘’Meski Bali sudah menjadi wilayah yang dikenal secara internasional, namun soal pelestarian adat istiadat dan budaya lokal masih sangat kami junjung tinggi, termasuk penggunaan bahasa Bali di sekolah,’’ kata seorang Pengawas Tk/SD Dinas Pendidikan Kota Pemprov Bali, AA Ayu Ketut Agung.
Ayu Ketut Agung memang tidak menampik kuatnya arus budaya asing yang masuk ke Bali telah menjadikan sebagian generasi muda khususnya di perkotaan dan daerah wisata banyak yang sudah tidak lagi bertutur dalam bahasa Bali. ‘’Tetapi saya jamin SD Negeri di Bali seluruhnya masih memasukan mata pelajaran bahasa daerah Bali satu minggu sekali dalam jam pelajaran di sekolah untuk siswa kelas 1 sampai kelas 6 sekolah dasar (SD), supaya mereka tidak menjadi warga asing di tempat kelahiran sendiri,’’ tambah penggiat seni tari dan tata rias tradisional Bali ini.
Terancam Punah
Ancaman terhadap kepunahan bahasa ibu (bahasa daerah) semakin dirasakan seiring derasnya arus globalisasi di kota-kota besar telah mendorong Pusat Bahasa Depdiknas melakukan kerja sama dengan pemerintah daerah untuk inventarisir kosa kata dan tata bahasa daerah agar dijadikan kamus dan materi buku pelajaran bahasa daerah yang dipakai sebagai bahan ajar di sekolah. ‘’Generasi mudah sekarang banyak yang merasa gengsi bila berbicara dengan bahasa daerah apalagi di kota-kota dengan penduduk heterogen maka bahasa daerah sama sekali tidak digunakan, kecuali dalam komunitas satu daerah dan hanya menggunakan bahasa Indonesia yang tidak selalu baik dan benar,’’ kata Kepala Pusat Bahasa Depdiknas, Dr Dendy Sugono.
Pusat bahasa sudah melakukan penelitian mengenai bahasa daerah antara tahun 1974-1989. Setelah ada UU Otonomi urusan bahasa dan sastra daerah menjadi tanggung jawab daerah. Bahasa dan sastra Indonesia menjadi urusan pusat. ‘’Namun kita tidak melepas begitu saja, Pusat Bahasa tetap bekerja sama dengan daerah untuk mencari kaidah-kaidah bahasa dengan cara merumuskan kaidah-kaidah bahasa daerah yang bersangkutan kemudian dijadikan menjadi bahan ajar sekaligus kamus, lalu itulah yang menjadi harus dipelajari peserta didik di daerah, sebab kalau generasi muda tidak belajar bahasa ibu, bahasa itu menjadi punah,’’ ujarnya.
Bahasa ibu di sekolah-sekolah harus dijadikan sebagai bagian muatan lokal dalam kurikulum untuk melestarikan kekayaan budaya dari ancaman kepunahan. Di Indonesia ada 742 bahasa ibu, namun dari tahun ke tahun jumlahnya terus berkurang. Bahasa ibu di Indonesia paling banyak yang punah.
Bahasa daerah memang sebaiknya hanya diperkenalkan pada tingkat dasar saja cukup di sekolah dasar saja sebab tidak mungkin bahasa daerah menjadi bahasa pengantar dalam proses pendidikan hingga bangku perguruan tinggi. Karena kemampuan bahasa daerah misalnya bahasa Jawa yang memiliki penutur 75 juta orang terbukti tidak mampu menjadi bahasa pengantar pendidikan. ‘’Upaya promosi dan pelestarian bahasa ibu atau bahasa daerah di Indonesia perlu digalakkan pada level pemerintah daerah, dalam hal ini pemerintah kabupaten/kota sebab kewenangan berada pada pemerintah daerah untuk mengembangkannya hingga pada masyarakat setempat,’’ katanya.
Langkah yang perlu dilakukan adalah merevitalisasi bahasa daerah dengan budaya yang ada pada daerah setempat. ‘’Misalnya, pemda di daerah Jawa dapat membudayakan lagi budaya Macapatan atau budaya pantun untuk daerah Melayu,’’ ujarnya.
Daerah-daerah lain yang sangat peduli dengan bahasa daerahnya masih cukup banyak, sebut saja di Kabupaten Karanganyar pemerintah setempat mempertahankan bahas ibu dengan menyediakan satu hari dalam satu minggu menjadikan bahasa jawa sebagai bahasa resmi.
Selain itu pengembangan bahasa daerah sebagai bahasa ibu di Indonesia juga dapat dilakukan dengan mengenalkan bahasa daerah kepada anak-anak sejak dini. ‘’Dalam hal ini, keluarga dan lingkungan masyarakat daerah setempat memiliki peran agar bahasa daerah setempat tidak punah,’’ katanya.
Anggota Komisi X DPR RI Cyprianus Aoer menilai banyaknya sekolah-sekolah swasta di kota-kota besar saat ini tidak lagi memperkenalkan bahasa daerah setempat sebagai mata pelajaran yang wajib dikenalkan kepad peserta didik. Sekarang setiap sekolah berlomba-lomba promosikan diri sebagai sekolah internasional yang menggunakan bahasa pengantar pelajaran dalam bahasa Inggris. Sedangkan Bahasa Indonesia hanya sebagai pelengkap. ‘’Lalu di mana posisi bahasa daerah ditempatkan?,’’ ungkapnya.
Pemerintah pusat dan daerah memiliki tanggung jawab untuk mengawasi dan membina sekolah-sekolah dengan memperhatikan kurikulum yang diterapkan, meskipun saat ini sekolah sudah diberikan kebebasan untuk menyusun kurikulumnya sendiri melalui kebijakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), namun muatan lokal di mana sekolah itu berada harus tetap mendapatkan perhatian, ujar anggota Fraksi PDI Perjuangan itu. ‘’Bahasa daerah seharusnya menjadi perekat budaya nasional, artinya pengembangan bahasa daerah harus ditempatkan dalam kerangka memperkaya bahasa nasional dan tidak boleh saling mengabaikan,’’ katanya.
Kurikulum muatan lokal harus diajarkan untuk memperkuat bahasa nasional dan sebaliknya untuk menjaga kelestarian bahasa ibu, namun demikian pengenalan bahasa ibu jangan sampai menimbulkan fanastisme berlebihan sehingga tidak memberikan ruang yang cukup pada adanya keragaman suku di tanah air dan suku bangsa, ujarnya.
Idealnya anak Indonesia harus mampu menguasai bahasa ibu, bahasa Indonesia dengan baik dan benar sebagai bahasa nasional serta bahasa asing di tengah era globalisasi ini. Karena itu bahasa yang dipelajari di sekolah harus ketiganya. Semua harus dipraktekkan tidak hanya dimengerti, dan terutama sebagai alat berkomunikasi dengan masyarakat sekitar. (Anspek)
KPO/EDISI 162/NOVEMBER 2008
Thanks for reading Lestarikan Bahasa Ibu

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

1 komentar:

  1. Bahasa sunda tetap harus dipertahankan di sekoleh-sekolah, agar tetap lestari.

    BalasHapus