Home » » TV Lokal, Globalisasi, Dan Glokalisasi

TV Lokal, Globalisasi, Dan Glokalisasi

Oleh: Syarif Hidayat Santoso*
Menonton televisi (tv) nasional ibaratnya seperti menonton Jakarta yang dijadikan sentral pop culture Indonesia. Ketika menonton tv nasional terjadi pula transaksi teks visual dengan budaya lokal publik. Proses inilah yang disebut fetisisme komoditas, di mana nilai-nilai kearifan lokal dipertukarkan dengan teks global justru dalam rupa lokal content oriental.
Sajian reality show yang menabrak budaya paling privat seperti relasi percintaan antar individu, infotainment yang melabrak norma agama karena memperdagangkan ghibah (gosip), aneka kontes menyanyi serta sajian lainnya yang sejenis telah menunjukkan proses pertukaran ini. Kultur lokal yang melekat secara transendental dalam memori publik dihunjam seribu satu serangan amerikanisasi dalam bentuk kampung global media serta multipolaritas budaya yang menyajikan berbagai pilihan mode hidup primordial.
Ketika tv nasional dianggap semakin sulit untuk akrab dengan lokalitas, maka mengemukalah gagasan tv lokal, meskipun hal itu bukanlah sebab primer. Sebab utama justru komersialisasi ala unit usaha pada umumnya. Sejumlah kota dari Medan sampai Menado beranjak mendirikan tv lokal. Kehadiran tv-tv ini sedikit banyak membawa harapan untuk kontinyuitas kultur lokal yang redup karena terpaan balkanisasi kultur global.
Menjadikan tv sebagai sentral pertahanan mode hidup lokal memang kerja kreatif para praktisi budaya lokal akhir-akhir ini. Mereka melihat bahwa trend setter tv lokal dapat dihadirkan sebagai modus kreatifitas pembendungan globalisasi budaya yang dilakukan tv nasional. Tv lokal memainkan jurus glokalisasi guna melawan turisme media ini. Maka berbagai acara tradisi mulai bermunculan di tv lokal. Di sinilah terjadi glokalisasi. Ide global dalam kancah visual diubah untuk menjadi lebih ramah terhadap content lokal. Praktisi kesenian lokal dapat tampil sebagai selebriti domestik dalam ruang audio visual yang dulu hampir tidak pernah mereka impikan.
Kegiatan penyanjungan budaya lokal melalui ruang audio visual sendiri sebenarnya berpotensi menimbulkan masyarakat serba tertutup, non diakronis dan absolut-sektarian. Apalagi ketika ruang batiniah masih dikuasai globalisasi secara lebar. Maka, glokalisasi yang dilahirkan untuk melawan globalisasi hanyalah nisbi semata karena globalisasi tak pernah ditundukkan secara total. Glokalisasi hanya memproses purifikasi budaya yang monoton. Menjadikan glokalisasi sebagai prinsip industri kebudayaan tv lokal justru akan bermasalah karena sifat mendasar dari globalisasi yang didomestifikasi tetaplah binary oppotition. Jika pada globalisasi, oposisi binernya adalah kultur dunia ketiga, maka pada glokalisasi oposisi binernya adalah kultur lokal lain. Penyanjungan budaya lokal dalam glokalisasi akan eksis justru karena unsur yang saling bertolak belakang dapat ditepis yaitu globalisasi budaya dan pluralisasi budaya. Di masa depan ketika tv lokal benar-benar menjadi pusat referensi glokalisasi, maka pemurnian ini justru semakin memperkuat otonomi satu kebudayaan untuk tidak dipenetrasi kultur lain. Sebuah kultur yang dibina secara monoton dan monosemi oleh industri audio visual akan menjadi counterfit yang cenderung bebas dari realitas kultur lain karena pengaturannya berdasar mekanisme ekonomi.
Purifikasi budaya oleh struktur audio visual tanpa semangat multikulturalisme transformatif akan dilematis. Pasalnya, kecenderungan kultur lokal primordial masih tetap berada dalam iklim global yang hanya menyisakan ruang sepetak bagi kultur lokal untuk bernafas. Penguatan sentimen kedaerahan karena potensi sumber daya alam dalam lingkup otonomisasi dan desentralisasi yang disuport modernitas akan menjadikan spirit absolutisme dan penghakikian budaya lokal sebagai mainstream utama.
Ketika kebudayaan unilateral ini terbentuk, ruang audio visual akan ditafsirkan sebagai pengabsah monoteisme kultural, dimana kebudayaan lokal hanya berhak disembah secara tunggal. Padahal, kebudayaan di masa depan justru membutuhkan sebuah dialogisme tekstual dimana terjadi saling silang antar kebudayaan yang dibutuhkan untuk melawan kolonialisasi budaya. Prinsip pertukaran ini hanya dapat dilakukan jika antar kultur lokal dapat bertemu satu sama lain dalam tontonan publik dan tidak memilih areanya sendiri.
Ironisnya, jangkaun tv lokal justru hanya sebatas area regionalnya semata. Contohnya, tv Madura hanya dapat diakses di wilayah Madura dan dimengerti orang Madura, sedangkan komunitas Madura di pulau Jawa justru tidak merasa memiliki khazanah kemaduraan yang disajikan tv madura. Komunitas Madura di Bondowoso atau Situbondo cenderung tidak familiar dengan tv Madura, karena mereka tidak pernah dilibatkan dalam perjalanan visual tontonan tv Madura. Pasalnya, bagi orang Madura di eks keresidenan Basuki , kemaduraan tidaklah mesti sama dengan kemaduraan di pulau madura. Karenanya, mereka heran ketika menonton tv Madura yang menyiarkan kulturalisme bukan dalam wujud jiwa pendalungan sebagaimana mereka miliki.
Karenanya tv lokal harus menjauhi prinsip de fakto berdasar regionalitas ini. Tv dapat saja memperkuat basis kultur audio visualnya dengan saling mempertukarkan kultur primordial masing-masing. Maka otonomisasi kultur lokal tidak akan dilandasi prinsip pengagungan kultur sendiri namun tetap mengerti bahwa telah terjadi sebuah persinggungan yang manis dengan kultur lain. Jika dasar kultur lokal dalam tv lokal adalah etnisitas, maka harus disadari bahwa ekologi etnisitas sendiri telah banyak mengakomodasi kultur lain sebagaimana telah terjadi dalam realitas.
*) Pengamat masalah sosial dan alumnus Hubungan Internasional FISIP Uiversitas Jember.
KPO/EDISI 162/NOVEMBER 2008
Thanks for reading TV Lokal, Globalisasi, Dan Glokalisasi

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar