Perwakilan RI di Tokyo dan Osaka kini sedang identifikasi kesulitan pelaksanaan program pengiriman perawat dan caregivers (perawat kaum lanjut usia) asal Indonesia ke Jepang. Hal itu disampaikan pejabat KBRI Tokyo dan Konsulat Jenderal RI di Osaka tentang perkembangan perawat dan caregivers Indonesia yang sedang bekerja di berbagai rumah sakit dan panti jompo di Negeri Sakura. ‘’Kami sudah menerima berbagai masukan, yang intinya perlu dibicarakan lebih lanjut di tingkat kementerian kedua negara terutama yang menyangkut soal pelaksanaan ujian nasional untuk memperoleh sertifikasi keperawatan dan caregivers bagi perawat Indonesia,’’ kata Kepala Fungsi Ekonomi KBRI Tokyo M. Abas Ridwan.
Menurut Abas, yang baru saja mengikuti kegiatan temu wicara dengan para caregivers Indonesia, para perawat dan careivers mengakui sulit untuk memperoleh sertifikasi karena bahasa yang digunakan dalam ujian tersebut adalah bahasa Jepang dengan huruf kanji. Materi yang diujikan memang sebetulnya hanya menyangkut pelaksanaan teknis yang sudah dipahami tenaga kerja Indonesia, tapi ternyata sulit juga.
Pada acara yang digelar di Nihon Seinen Keikan Hotel, Shinjuku, Tokyo, Abas menanyakan kepada para caregivers tentang persoalan yang dihadapi. Abas meminta caregivers dan pihak Jepang untuk tidak segan-segan memberikan masukan.
Acara yang dibuka Wakil Menteri Dalam Negeri dan Komunikasi Jepang Hirohiko Nakamura itu sebagai upaya pemerintah Jepang membangun komunikasi dengan pekerja asing. Penerimaan perawat Indonesia sebagai bagian dari kerja sama strategis Indonesia-Jepang di bawah payung Economic Partnership Agreement (EPA).
Nakamura mengemukakan berbagai masukan memang diperlukan guna menghindari salah pengertian dan demi suksesnya program penerimaan perawat di Jepang. Jepang sangat membutuhkan tenaga perawat asing mengingat lonjakan kelompok masyarakat lanjut usia yang kian membengkak. Dari 127, 5 juta populasi Jepang, sekitar 25% merupakan lanjut usia. Keadaan ini menjungkirbalikan komposisi kependudukan Jepang seperti piramida terbalik karena kelompok usia kerja produktif dan anak-anak kian menurun.
Persoalan sulitnya ujian nasional juga diakui oleh pihak Konsulat Jenderal (KJRI) Osaka yang juga aktif mengumpulkan data-data mengenai keberadaan perawat Indonesia. Konsul Penerangan KJRI Osaka Masni Eriza mengatakan, pihaknya memang membentuk tim monitoring yang bertugas mencegah timbulnya kesalahpahaman dalam program ini. ‘’Jauh sebelum kedatangan para perawat kami sudah mengidentifikasi kemungkian persoalan yang muncul yang diperoleh dari sejumah kalangan, termasuk mahasiswa Indonesia dan perguruan tinggi di wilayah Kansai,’’ kata Masni Eriza.
Menurut salah seorang caregivers Indonesia, Yani Oktafyani, ujian nasional menggunakan huruf Kanji Jepang memang menyulitkan, padahal sebetulnya substansi pekerjaan sudah sangat kami kuasai. "Kalau bisa diganti ke huruf hiragana dan juga dalam bahasa Ingris kami merasa lebih mudah untuk menjawab soal-soal, sehingga kesempatan meraih sertifikat internasional (Jepang, red) bisa kami peroleh dengan mudah juga,’’ kata Yani. Hal serupa pernah dikemukakan salah satu pimpinan RS di Yokohama yang merasa perlu dilakukan penyesuaian agar program ini bisa berlangsung terus karena Jepang sangat membutuhkan perawat asing.
KORAN PAK OLES/EDISI 175/16-31 MEI 2009
Menurut Abas, yang baru saja mengikuti kegiatan temu wicara dengan para caregivers Indonesia, para perawat dan careivers mengakui sulit untuk memperoleh sertifikasi karena bahasa yang digunakan dalam ujian tersebut adalah bahasa Jepang dengan huruf kanji. Materi yang diujikan memang sebetulnya hanya menyangkut pelaksanaan teknis yang sudah dipahami tenaga kerja Indonesia, tapi ternyata sulit juga.
Pada acara yang digelar di Nihon Seinen Keikan Hotel, Shinjuku, Tokyo, Abas menanyakan kepada para caregivers tentang persoalan yang dihadapi. Abas meminta caregivers dan pihak Jepang untuk tidak segan-segan memberikan masukan.
Acara yang dibuka Wakil Menteri Dalam Negeri dan Komunikasi Jepang Hirohiko Nakamura itu sebagai upaya pemerintah Jepang membangun komunikasi dengan pekerja asing. Penerimaan perawat Indonesia sebagai bagian dari kerja sama strategis Indonesia-Jepang di bawah payung Economic Partnership Agreement (EPA).
Nakamura mengemukakan berbagai masukan memang diperlukan guna menghindari salah pengertian dan demi suksesnya program penerimaan perawat di Jepang. Jepang sangat membutuhkan tenaga perawat asing mengingat lonjakan kelompok masyarakat lanjut usia yang kian membengkak. Dari 127, 5 juta populasi Jepang, sekitar 25% merupakan lanjut usia. Keadaan ini menjungkirbalikan komposisi kependudukan Jepang seperti piramida terbalik karena kelompok usia kerja produktif dan anak-anak kian menurun.
Persoalan sulitnya ujian nasional juga diakui oleh pihak Konsulat Jenderal (KJRI) Osaka yang juga aktif mengumpulkan data-data mengenai keberadaan perawat Indonesia. Konsul Penerangan KJRI Osaka Masni Eriza mengatakan, pihaknya memang membentuk tim monitoring yang bertugas mencegah timbulnya kesalahpahaman dalam program ini. ‘’Jauh sebelum kedatangan para perawat kami sudah mengidentifikasi kemungkian persoalan yang muncul yang diperoleh dari sejumah kalangan, termasuk mahasiswa Indonesia dan perguruan tinggi di wilayah Kansai,’’ kata Masni Eriza.
Menurut salah seorang caregivers Indonesia, Yani Oktafyani, ujian nasional menggunakan huruf Kanji Jepang memang menyulitkan, padahal sebetulnya substansi pekerjaan sudah sangat kami kuasai. "Kalau bisa diganti ke huruf hiragana dan juga dalam bahasa Ingris kami merasa lebih mudah untuk menjawab soal-soal, sehingga kesempatan meraih sertifikat internasional (Jepang, red) bisa kami peroleh dengan mudah juga,’’ kata Yani. Hal serupa pernah dikemukakan salah satu pimpinan RS di Yokohama yang merasa perlu dilakukan penyesuaian agar program ini bisa berlangsung terus karena Jepang sangat membutuhkan perawat asing.
KORAN PAK OLES/EDISI 175/16-31 MEI 2009


0 komentar:
Posting Komentar