Home » » Parodi Kantin Ke(tidak)jujuran

Parodi Kantin Ke(tidak)jujuran

OLEH: Abd. Sidiq Notonegoro*
Tersiar kabar, “Kantin Kejujuran” yang tersebar pada beberapa sekolah yang menjadi pilot project budaya antikorupsi mengalami kebangkrutan. Tidak kurang dari 65 kantin kejujuran di sekolah-sekolah yang ada di Jawa Timur mengalami kondisi ini. Di Kabupaten Tulungagung misalnya, dari 11 sekolah yang mendirikan kantin kejujuran, 10 sekolah di antaranya yang mengalami kerugian setelah 20 hari buka. Kebangkrutan serupa juga menimpa kantin kejujuran yang ada di SMAN 1 Kediri. Padahal secara nasional, tidak kurang dari 3.000 kantin kejujuran didirikan di sekolah-sekolah di Tanah Air ini. Sangat mungkin, puluhan atau bahkan ratusan kanting kejujuran mengalami kondisi yang sama.
Realitas tersebut merupakan fakta nyata bahwa “budaya korupsi” pun telah merasuki lingkungan pendidikan. Korupsi nyata-nyata telah mengakar ke seluruh sendi kehidupan. Bahkan generasi muda (pelajar) yang diharapkan sebagai kelompok usia yang steril dari praktek korupsi pun turut tercemari. Adanya “kantin kejujuran” justru dimanfaatkan untuk melampiaskan syahwat ‘maling’nya secara semena-mena.
Memperhatikan kenyataan itu, satu sisi kita patut mengelus dada dan merasa prihatin. Impian lahirnya generasi muda yang kelak diharapkan sebagai pewaris negeri yang bertanggungjawab terpaksa --paling tidak untuk sementara-- ditangguhkan. Namun, disisi yang lain kita patut menjadikannya sebagai pelajaran yang sangat berharga bahwa secara nyata gerakan pemberantasan korupsi sedang menghadapi tantangan yang sangat terjal.
Tidak Sekedar Gagal
Namun bila kita renungkan lebih dalam, bangkrutnya kantin kejujuran di beberapa sekolah tersebut tidak semata-mata sebagai bentuk “kegagalan” sekolah dalam menanamkan budaya jujur dikalangan anak didiknya. Lebih dari itu juga merupakan sebuah “kebodohan” sekolah yang tidak mampu membaca mental dan kepribadian anak didiknya. Idealnya, sebelum mendirikan kantin kejujuran, pihak sekolah telah melakukan riset terhadap kebiasaan peserta didiknya terkait dengan aspek kejujuran.
Sesungguhnya banyak media yang bisa dimanfaatkan untuk mengukur tingkat kejujuran siswa. Misalnya, sejauh mana siswa dalam menghadapi ulangan (tes) dan atau tugas-tugas yang diberikan oleh guru. Apakah siswa cenderung menyontek, menggantungkan kepada orang lain (teman) untuk mengerjakannya atau bekerja sendiri secara optimal. Dengan berbagai metode tes, semestinya guru dan pihak sekolah bisa mengukur tingkat kejujuran siswa yang didiknya.
Harus diakui bahwa “kantin kejujuran” yang menjual barang tanpa pengawasan tidak lebih dari dagelan saja. Setiap orang berkesempatan untuk bisa mengambil barang semaunya dan sekaligus membayar semaunya. Kondisi seperti itu sama artinya memberikan kesempatan seseorang yang semula tidak punya niat untuk “korupsi”, tapi karena ada kesempatan maka dia pun ingin mencoba melakukannya. Kucing mana yang tidak tertarik dengan ikan asin di meja makan yang tanpa tudung?
Andaipun riset menyimpulkan bahwa semua siswa merupakan pribadi yang jujur. Boleh jadi sumber kebangkrutan justru terletak pada pengelola kantin itu sendiri, tapi siswa kemudian dijadikan ‘kambing hitam’nya.
Ganti Model
Eksperimen melalui model “kantin kejujuran” telah mendapatkan jawaban, bahwa mental “korupsi dan tidak jujur” telah benar-benar menggurita ke semua lini. Bila pangkal persoalannya ada pada siswa, seyogyanya pendidikan “kejujuran dan anti korupsi” menggunakan model lain yang tidak terlalu beresiko tetapi efektif.
Selain itu, “kantin kejujuran” yang nyata-nyata tidak efektif untuk mendidik siswa sebagai pribadi yang jujur, disisi yang lain justru menumbuhkan budaya konsumtif yang tidak baik bagi siswa. Ini karena yang dijual dikantin tersebut semuanya adalah barang-barang konsumtif (baca: makanan). Seyogyanya sekolah mendidik dengan pola makan yang sehat dan teratur. Yaitu dengan menganjurkan siswa untuk makan di rumah atau membawa bekal makanan dari rumah.
Dengan lebih memilih makan di rumah atau membawa bekal dari rumah, paling tidak ada 2 manfaat yang bisa dipetik. Yaitu 1) anak lebih bisa menghormati dan menghargai masakan yang dibuat oleh orangtuanya sendiri, dan 2) mendidik untuk berpola hidup hemat. Karena sejatinya, antara budaya korupsi dan budaya konsumtif ibaratnya dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan.
Mental Akademis
Bila insan pendidikan sudi berpikir jernih, sesungguhnya budaya ilmiah dalam panggung pendidikan itu sendiri telah mengajarkan budaya antikorupsi dan budaya jujur. Masalahnya, sudahkah hal itu diterapkan dan diteladankan oleh para pendidiknya sendiri? Mentalitas akademis yang menekankan rasionalitas (logis) dan obyektifitas (jujur) dengan meletakkan kebenaran atas dasar pengetahuan (ilmu) merupakan salah satu cara ideal untuk menegakkan mental antikorupsi.
Penghargaan terhadap kebenaran ilmu pengetahuan, sangat mungkin untuk membantu mengkristalkan budaya jujur dan antikorupsi terhadap siswa. Karena hampir menjadi fenomena umum bahwa semakin tinggi penghargaan seseorang terhadap ilmu pengetahuan, semakin tinggi pula jaminan atas kejujuran dirinya. Semakin besar hasrat seseorang bergelut dengan dunia ilmu, semakin menjauhkan dirinya dari fatamorgana material.
Akhirnya, mungkin tidak ada cara yang efektif untuk menegakkan mental antikorupsi kecuali dengan mengembangkan “budaya cinta ilmu”. Karena hanya orang-orang yang memiliki ‘ilmu’ yang tinggi yang mampu memberikan jaminan kejujuran, baik dalam pengajaran ataupun keteladanan. Dan hanya sekolah tempat sarang koruptor sajalah yang tidak akan mampu meraih prestasi akademis yang optimal.
BI
Thanks for reading Parodi Kantin Ke(tidak)jujuran

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar