Home » » Pertanian Indonesia, Bukan Sekadar ”Dongeng”

Pertanian Indonesia, Bukan Sekadar ”Dongeng”

OLEH: SULIS STYAWAN*
”Agriculture is the mother and nourishes of all other arts.” Pertanian adalah ibu dan mengayomi semua budaya lainnya. Ini dinyatakan oleh filsuf dan sejarawan Yunani, Xenophon (427–355 SM). “Manakala pertanian berjalan baik, seantero budaya lainnya raharja, manakala dia diterlantarkan, maka semua budaya lainnya rusak”.
Pernyataan berusia lebih dari dua milenium itu senyatanya masih terngiang sampai sekarang. Pejabat teras FAO sering memetiknya untuk pidato. Para ilmuwan IPB suka mengungkitkannya kembali. Pun, di banyak negara, dalil itu masih dipegang, termasuk di negara-negara yang industrinya sudah demikian berkembang.
Pertanian memang tetap menjadi sumber utama makanan sehari-hari. Ketersediaan pangan menjamin stabilitas sosial dan politik. Keamanan pangan menjamin ketahanan bangsa dan negara. Ia membuka lapangan kerja dan memberikan devisa.
Pertahanan ekonomi Indonesia di tahun sengsara 1998 ditopang oleh pertanian. Pertanian adalah satu-satunya sektor yang menggeliat di bawah himpitan krisis politik ekonomi yang demikian berat. Ekspor produk pertanian menyelamatkan ekonomi Indonesia dengan pemasukan cukup besar oleh melambungnya nilai dolar AS.
Dalam sejarah, tatkala dunia pada dasawarsa 1930 dilanda krisis ekonomi dan di ambang perang, ekspor pertanian Indonesia tetap menjadi bintang. Selepas Perang Dunia II, saat kas kerajaan Belanda bangkrut, tentaranya di Indonesia disuruh melancarkan agresi untuk merebut daerah-daerah pertanian yang subur di Jawa Barat dan Jawa Timur. Agresi militer pertama Belanda terhadap RI yang baru diproklamasikan itu pun diberi nama sandi Operatie Produkt, yakni menguasai daerah-daerah pertanian produktif.
Mantan Menteri Pertanian, Prof. Bungaran Saragih, menjernihkan persepsi tentang pertanian kita yang dinilai sebagai terbelakang. Menurut dia, pertanian kita menjadi terbelakang karena sektor-sektor lain, seperti infrastruktur, transportasi, pendidikan, perbankan, energi tidak berkembang. Mereka tidak bisa sinergi dengan sektor pertanian, bahkan menjadi beban.
Harap disadari, sekitar 70 persen kegiatan usaha dan sistem agribisnis itu berada di luar pertanian. Jadi, pertanian sulit maju dalam lingkungan yang tidak maju dan tidak mendukung.
“Fabelhaft Reich”
Bungaran Saragih pun mengingatkan tidak ada sektor lain di Indonesia yang bisa menjadi world player, bahkan big player, seperti pertanian. Kelapa sawit kita sudah nomor wahid di segi produksi. Karet Indonesia nomor dua sesudah Thailand. Kakao kita nomor tiga bahkan bisa menjadi nomor dua dalam waktu dekat. Pala dan cengkeh, nomor satu.
Kita unggul di banyak komoditas pertanian. Sementara itu, apakah kita masih dipertimbangkan dalam sektor pertambangan secara global? Dulu Indonesia nomor satu sebagai produsen nikel, timah, batu bara, tapi sekarang nomor berapa? Sekarang bahkan kita sudah keluar dari OPEC karena sudah menjadi net importer.
Indonesia memang tidak ada duanya dalam aneka produk tanaman tropis. Sudah sejak ratusan tahun lalu pertanian dan kekayaan alam kita yang berlimpah menjadi benchmark untuk kancah dunia. Alfred Russel Wallace menyebutnya ”firdaus” di Timur. Ilmuwan Belanda, Dr. Pieter Honig menuturkan dalam bukunya Science and Scientist in the Netherlands Indies (Board for the Netherlands Indies, Surinam and Curacao, New York City, 1945) tentang banyaknya jenis tanaman yang diteliti di sini dan disumbangkan dengan tulus untuk kepentingan dunia.
Presiden Soekarno juga sering membangga-banggakan Indonesia dengan mengatakan “Wir sind reich, fabelhaft reich”. Kita kaya, seperti dalam cerita dongeng. Maka kita semua patut merenungkan kembali dan menggugah keyakinan bersama tentang karunia berlimpah dari Ibu Pertiwi dan posisi yang telah dan tetap bisa kita menangkan dengan produk dari “ibu segala budaya” itu.
Semua pemerintahan RI, sejak 63 tahun lalu, senantiasa menempatkan pertanian sebagai basis pembangunan. Pertanian jualah yang menjadi batu penjuru ketika pemerintah menggencarkan pembangunan industri demi mendapatkan nilai tambah dan berdikari. Berbicara pertanian di sini adalah pertanian tanaman pangan, hortikultura, peternakan, perkebunan, dan termasuk pula perikanan.
Tapi seperti yang kita saksikan —paling gamblang pada pemerintahan yang sedang berjalan ini— langkah dan kebijakan yang ditempuh menjauh dari strategi induk tadi. Dalam penyiasatan perang, strategi-taktik-teknik harus lurus, jelas, konsisten, garisnya.
Contingency plan boleh bila keadaan memaksa, tapi penyimpangan yang sering terjadi sekarang ini apakah memang oleh keadaan memaksa? Tak baik berpurbasangka. Mungkin inkosistensi dan deviasi yang terjadi karena kegamangan atau yang sering digunjingkan orang, tidak kompaknya kabinet!
Investasi dan Belanja Pemerintah
Imbauan yang disampaikan di sini adalah janganlah kita terus-menerus terombang-ambing. Segala ikhtiar pemerintah untuk membangun kesejahteraan rakyat fokuskanlah ke pertanian yang nyata teruji dan tangguh. Tidak usah lagi menengok ke kiri dan ke kanan.
Revitalisasi pertanian yang sesungguh-sungguhnya adalah manakala kita menggalakkan pembangunan prasarana, pembinaan sumber daya alam, dan manusia, serta penanaman modal, yang dijuruskan pada sektor pertanian, dari budidaya sampai ke industri dan bisnisnya, baik untuk dalam negeri maupun mancanegara.
Investasi pemerintah di bidang infrastruktur adalah yang berpadu langsung dengan kepentingan pertanian. Demi mengenyahkan kritik sinis tentang revitalisasi pertanian, “retorika atau nyata?”, bangunlah jaringan jalan untuk transportasi produk pertanian, bangunlah jaringan irigasi.
Bila kita berkunjung ke Malaysia, kita bisa dibuat jengah melihat jalan-jalan beraspal mulus sampai ke tepi kebun dan ladang. Bangunlah pelabuhan dan dermaga, serta cold storage. Bangunlah balai benih, balai kesehatan hewan, rawatlah pabrik-pabrik pupuk dan anti-hama, serta gencarkan riset dan penyuluhan.
Belanja pemerintah untuk sarana adalah untuk pabrik, mesin-mesin, dan peralatan lainnya yang memacu produktivitas pertanian dan perkebunan. Demikian pula regulasi di bidang perindustrian, perdagangan, dan keuangan adalah yang melindungi dan menggairahkan sektor pertanian. Kita juga harus menjajakan investasi untuk infrastruktur pertanian di forum-forum infrastruktur.
Percayalah, kalau semua bersatu padu memajukan pertanian, sektor lain juga akan terhela maju. Seperti kata Xenophon, “when agriculture is well conducted, all other arts prosper; when agriculture is neglected, all other arts decay”.
*) Pegiat Center for Education Urgency Studies (CEUS) FKIP Universitas Negeri Yogyakarta (UNY);
Koran Pak Oles/Edisi 168/1-15 Februari 2009

Thanks for reading Pertanian Indonesia, Bukan Sekadar ”Dongeng”

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar