Home » » Sekat Kebersamaan

Sekat Kebersamaan

Abad 21 disebut-sebut sebagai abad perayaan nilai-nilai demokrasi yang sudah diretas sejak zaman Yunani klasik. Memang benar. Institusi monarkhi dengan kekuasaan absolut di tangan raja atau kaisar mulai bertumbangan. Eksistensi kerajaan tetap dipertahankan sebagai warisan kebudayaan bukan lagi sebagai estafet kekuasaan.
Satu spirit demokrasi yang unggul ialah kebersamaan di atas perbedaan. Ada interaksi lintas kebudayaan tanpa topeng dominasi atau hegemoni mayoritas terhadap minoritas. Namun keagungan demokrasi mulai ternoda oleh arus globalisasi yang ikut menularkan benih-benih kapitalisasi raya. Kebersamaan dan pertemanan lintas negara dibangun erat hanya bila ada persamaan kepentingan. Negara-negara Timur Tengah misalnya, membiarkan kejahatan kemanusiaan terjadi di negeri Palestina. Kepentingan ekonomi atau kenyamanan dalam “perlindungan sayap” Amerika Serikat menjadi target kebijakan politik luar negeri mereka.
Di sisi lain, berbagai media massa di Indonesia berlomba-lomba membangkitkan sentiman keagamaan atas tragedi agresi militer terhadap Palestina. Konflik perebutan tanah digiring menjadi konflik agama. Padahal rakyat Palestina ada yang Islam, Katolik, atau Kristen Maronit. Selain itu, ada sebagian warga dan tentara Israel yang menolak aksi kekerasan militer Israel jarang dipublikasikan. Sebuah bukti nyata bahwa kebersamaan masih dibangun dalam sekat-sekat keagamaan, kepentingan dan kesukuan.
Tantangan para pemimpin bangsa saat ini adalah merekatkan kebersamaan di atas perbedaan. Memang sulit. Tapi setidak-tidaknya kesadaran ini menjadi visi yang hidup di benak penghuni bumi ini. Tanpa paradigma baru “sekat kebersamaan” yang sejati, kita akan terus menyaksikan ketakutan primitif yang memborbardir manusia modern. Yaitu: ketakutan akan ancaman pembunuhan, pembantaian massal (genocide), bom bunuh diri, perampokan dan perang nuklir.
Beribu sayang, ketakutan massal yang kini mencengkram benak manusia modern tidak dapat dihapus dengan siraman rohani ataupun khotbah moral yang berapi-api. Toh, perangkat moral dan tatanan agama pun dieksploitasi dan diekplorasi sekehendak hati menjadi benteng pembenar rangkaian aksi brutal. Bagaimana, mantan Presiden AS George W Bush mengklaim dirinya ditempatkan Yesus Kristus di Gedung Putih. Lalu, ekspansi brutal ke Irak atas kehendak Tuhan? Kekerasan dan kebiadaban diciptakan manusia tetapi Tuhan ‘dipaksa’ untuk ikut bertanggung jawab? Apakah trend pigura 21 mencatat nafsu suci manusia menjadikan Tuhan sebagai manusia berbudi, karsa dan karya? Ataukah, manusia modern memformulasikan secara baru ke-tuhan-an versi Friedrich Nietzsche: Tuhan adalah Aku (Übermensch). Untuk konteks ter(aktual)isasikan: Bush menjadi tuhan dan Amerika adalah surganya??? Lembaga PBB adalah bala malaekatnya dan Israel (termasuk sekutu AS) adalah nabi yang diberi misi khusus menjaga ‘kehendak kudus’ tuhan Amerika di Bumi Timur Tengah dan Negara-negara miskin, termasuk Indonesia!?
Kita berdoa semoga Presiden AS yang baru Barack Obama yang disebut sebagai “orang baik” oleh Presiden Venezuela Hugo Chaves dapat memercikkan api kebersamaan di atas perbedaan. Obama tidak lagi mengulang kezaliman Bush di atas muka bumi ini. Dan, jangan lagi kita meletupkan kebersamaan dan persaudaraan hanya karena seiman, seagama atau sepersekutuan doa. Agama adalah inspirasi bagi manusia untuk hidup seturut kehendak Pencipta bukan alat untuk membangun kebersamaan politik semata.
Koran Pak Oles/Edisi 168/1-15 Februari 2009
Thanks for reading Sekat Kebersamaan

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar