Home » » BLT Plus Kesengsaraan

BLT Plus Kesengsaraan

Oleh: Lukman Santoso Az*
Tidak ada satu pihak pun yang dulu meramalkan bahwa harga minyak dunia akan menembus level diatas 100 dolar AS per barel sehingga pemerintah terkesan tidak siap mengantisipasinya. Sehingga, ketika harga minyak dunia melampaui 100 dolar AS per barel, beban subsidi yang ditanggung pemerintah makin membesar. Menaikkan harga BBM bersubsidi sebagai salah satu dari 86 opsi yang tersedia dianggap paling efektif oleh pemerintah dibanding opsi-opsi lain untuk menyehatkan APBN 2008. Karena hitung-hitungannya jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Masalahnya, kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi berpotensi menurunkan popularitas pemerintah, lebih-lebih saat pesta demokrasi sudah mengahadang di depan mata. Ini sebenarnya sudah ditengarai sejak beberapa waktu lalu, yakni sejak pemerintah mulai melakukan imbauan kepada seluruh masyarakat dan dunia usaha untuk terus menerus meningkatkan efisiensi terutama dalam penggunaan BBM dan energi.
Jika kita mau menengok pengalaman kenaikan BBM pada Oktober 2005, bahwa inflasi pada bulan itu mencapai 8,7 persen sehingga mendorong laju inflasi tahun kalender (Januari-Oktober 2005) sebesar 15,65 persen. Inflasi setahunnya (Oktober 2005 terhadap Oktober 2004) mencapai 17,89 persen. Itu merupakan laju inflasi tertinggi dalam empat tahun sebelumnya. Inflasi mencerminkan kenaikan harga kebutuhan pokok, menekan daya beli masyarakat, jauh di luar perkiraan. Dari realitas itu, tentu kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kenaikan BBM merupakan problem yang sangat berat, sehingga pertama-tama dan lebih dini selayaknya kita mengingatkan pemerintah terhadap pentingnya perhitungan yang benar-benar akurat dan matang mengenai dampak ekonomi kebijakan menaikkan harga, terutama bagi golongan masyarakat yang paling rentan.
Pendataan dan pemetaan yang akurat tentang penerima bantuan (BLT Plus) juga tak kalah pentingnya supaya bantuan benar-benar efektif. Efektif dalam arti tepat sasaran, tepat waktu, dan tepat jumlah. Berapa banyak orang miskin, di mana saja mereka, bagaimana menyalurkan dan mengawasinya, merupakan sederet persoalan yang selama ini tidak begitu mudah dijawab. Apalagi data rakyat miskin yang digunakan untuk pemberian bantuan itu adalah data dari BPS tahun 2005 yang sejatinya tidak sesuai dengan jumlah rakyat miskin saat ini yang sudah tiga lali lipatnya dari jumlah itu. Selain juga, selama ini tentu kita tahu bahwa banyak program pemerintah yang telah dijalankan sebelumnya masih bermasalah dalam pelaksanaannya. Misalnya, jaminan kesehatan, bantuan sekolah, dan terakhir bantuan paket kompor dan tabung gas terkait program konversi minyak tanah ke gas, yang hingga kini masih menuai begitu banyak persoalan, amburadul dan menyusahkan masyarakat.
Semua itu terjadi antara lain karena lemahnya data sehingga asumsi meleset, perencanaan yang tidak matang, implementasi yang kacau, plus lemahnya pengawasan. Ditambah mentalitas aparat pelaksana yang enggan bekerja keras, tak mau menanggung risiko, asal program jalan di atas kertas, tanpa memikirkan efektivitas di lapangan. Peringatan ini dalam pandangan penulis sangat penting untuk digulirkan kembali. Jangan sampai kita berulang terjerembab pada lubang yang sama. Jangan sampai BLT plus itu kelak akan menjadi ”plus kesengsaraan” bagi rakyat. Jangan sampai maksud baik itu justru menimbulkan masalah baru yang semakin runyam. Sehingga, tekanan psikologis masyarakat akibat beban ekonomi yang kian berat ini bisa menimbulkan tindakan yang di luar batas kewajaran dan tidak manusiawi.
Berdasarkan realitas tersebut, alternatif dari empat skenario opsi kebijakan yang bisa ditempuh pemerintah, yakni dengan menaikkan lifting minyak di atas 927.000 barel/hari, memperbesar defisit menjadi 2,5% (tambahan Rp 20 triliun), menyetop BBM bersubsidi di batas 35,5 juta kiloliter/tahun (hemat Rp 4,1 triliun), dan/atau menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar rata-rata 20%-30% (hemat Rp 20 triliun-Rp 25 triliun), setidaknya benar-benar ditempuh secara cermat dan penuh pertimbangan. Karena jika tidak memilih alternatif yang benar-benar bijak, maka resiko inflasi bisa mencapai 13,2% (APBNP 2008 6,5%) dan angka kemiskinan mencapai 19,5% (target Bappenas 14%) benar-benar terjadi. Sehingga, menjadi penting kiranya ketika apa pun kebijakannya, pemerintah wajib menurunkan angka kemiskinan di bawah 14% dan pengangguran di bawah 8%, agar kesengsaraan masyarakat tidak semakin meningkat. Karena hingga detik ini, tidak ada anggaran tambahan yang disiapkan pemerintah dalam rangka menekan angka kemiskinan dan pengangguran, menjaga stabilitas makro ekonomi dan memperbaiki level kesejahtaraan rakyat.
Akhirnya, di sinilah sebenarnya kecerdikan dan kejelian pemerintahan SBY diuji. Lebih memilih menyelamatkan keuangan negara dan rakyat banyak dengan langkah yang solutif atau lebih memilih menyelamatkan karir politiknya dengan menempuh kebijakan populis. Memang keputusan yang serba sulit. Serba sulit bagi pemerintahan SBY, juga semakin sengsara bagi rakyat. Namun, sangat ideal bila pilihannya adalah bagaimana keuangan negara tidak babak belur, tapi rakyat juga tidak semakin sengsara karena kenaikan BBM. Bagaimana itu bisa terjadi? Tidak lain, harus ada terobosan luar biasa yang dilakukan pemerintah. Tapi, terobosan tersebut tentu bukanlah perkara mudah. Namun yang harus tetap menjadi catatan adalah, mampu meminimalisir dampak global yang lebih nyata, yakni pengangguran dan kemiskinan. Misalnya saja dengan program-program sosial dari pemerintah untuk membantu masyarakat bawah harus ditingkatkan dan diefektifkan sebagai kompensasinya. Jika kita benar-benar berharap ingin menjadi bangsa yang sejahtera ke depan.
*) Ketua Tanfidziyah pada PPM Hasyim Asy’arie Yogyakarta dan general Chief pada Lembaga Studi Agama dan Negara (LeSAN) Yogyakarta.
Thanks for reading BLT Plus Kesengsaraan

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar