Home » » Wianta Diteropong Penulis Muda

Wianta Diteropong Penulis Muda

OLEH: INDAH WULANDARI
Siapa bilang anak muda hanya tahu hal-hal bersifat budaya pop, gaul, dan funky? Seraya menyimak penjelasan lugas dan tuturan apik dari empat gadis belia dalam Bedah Proses Kreatif Penulis dan Peluncuran Buku Waktu Tuhan (Wianta) di Balai Bahasa Denpasar dan Toko Buku Togamas, Denpasar Selasa lalu (13/5), pikiran serta asumsi tadi akan berbalik 360 derajat.
Ni Made Purnamasari (mahasiswi Antropologi UNUD), Ni Putu Rastiti (mahasiswi FK UNUD), Ni Made Frischa Aswarini (siswi SMAN 7 Denpasar), dan Ni Ketut Sudiani (mahasiswi Sastra Inggris UNUD) sebelumnya tak pernah mempunyai rencana untuk membukukan catatan-catatan kecil hasil diskusi bareng seniman terkemuka Bali Made Wianta. Keempatnya yang tergabung dalam Komunitas Sahaja, sebuah perkumpulan diskusi seni anak muda Denpasar rutin menggelar diskusi dengan sastrawan maupun seniman seperti Sapardi Djoko Darmono dan Hamsad Rangkuti untuk mengasah serta menimba pengalaman dalam berkesenian, khususnya kepenulisan karya sastra. Bola bergulir dari Wianta. Seniman asal Apuan, Tabanan ini membuka kesempatan berdialog April tahun lalu. Setelah melewati sekitar 10 kali pertemuan, Wianta menantang anak-anak muda ini untuk membuat karya yang serius dari catatan-catatan tadi. Dari sembilan anggota komunitas yang terlibat diskusi, terpilihlah keempat gadis tersebut. Masing-masing mempunyai sub-sub topik yang bervariasi hasil eksplorasi wawancaranya yang disajikan dalam bentuk feature.
Purnamadewi melihat sosok pribadi Wianta yang unik. ’’Beliau seorang yang kritis dan kreatif sehingga ia seakan bisa menyaksikan detil sesuatu kejadian atau benda. Ia orang Bali yang berani mengkritisi Bali,“ ujar gadis berkacamata ini. Sedangkan eksplorasi Rastiti terfokus pada sisi pergaulan yang dilalui Wianta. Gadis ini belajar dari fase hidup Wianta yang berasal dari sebuah desa yang tak mengenal kasta (egaliter) dan akrab dengan kesenian. Wianta belajar kedinamisan hidup di kota Denpasar, kemudian mengasah intelektualitasnya di kota Gudeg Jogja. Berlayar ke Belgia sekaligus melatihnya dalam etos kerja disiplin tinggi. Rastiti berhasil menangkap kunci keberhasilan seniman ini dengan pengelolaan aspek modern globalisasi yang mengubahnya jadi sosok kritis. Lain lagi dengan Frischa yang menjadikan Wianta sebagai sebuah studi kasus dan role modelnya dalam memandang Bali. Ia disadarkan ucapan Wianta agar memandang Bali dari peta. Bali hanyalah sebuah noktah kecil. Maka, sebut Frischa, masyarakat Bali jangan terlena dengan berbagai pujian. Seharusnya masyarakat asli Bali, khususnya remaja bisa memposisikan diri di tengah pergaulan internasional tanpa mengesampingkan kearifan lokal dengan menangkap peluang yang ada.
Sedangkan Sudiani menilik proses berkesenian Wianta yang dirintis sedari kecil dan pentingnya sebuah perencanaan hidup. Letak keunikan buku ke-15 Wianta terlihat dari profil para penulisnya yang terlahir dari ketegangan budaya lokal dan global. Sehingga kalimatnya terlahir cerdas, kreatif, dan memiliki kedekatan dengan pengalaman para pembaca. Buku biografi yang dicetak 1000 eksemplar ini terkesan unik dan memakai tata bahasa serta koherensi paragaraf yang baik. Pasalnya, keempat penulisnya mempunyai background ilmu jurnalistik dan karya-karyanya telah dimuat di beberapa media nasional dan lokal.
Diskusi yang merupakan kelanjutan acara peluncuran buku perjalanan kreatif Wianta di tiga kota, Malang (19/3), Surabaya (22/3), Jogja (25/3) ini juga berupaya membangkitkan animo para penulis muda untuk berkarya.
Thanks for reading Wianta Diteropong Penulis Muda

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar