Home » » Gerakan Kebangkitan Kakao Indonesia

Gerakan Kebangkitan Kakao Indonesia

Oleh: Zaenal Abidin
Pemuda berusia 28 tahun itu giat merawat pohon kakao di kebun miliknya yang seluas satu hektare di Kecamatan Kalukku, Mamuju, Sulawesi Barat. Kebun itu merupakan sumber penghidupan keluarganya, serta mampu menghadirkan rumah milik dan sebuah kendaraan bermotor. Yusuf, nama pemuda itu, setiap dua pekan biasa panen buah kakao matang di kebun miliknya.
Hasilnya sangat menyenangkan dia, kini dia bisa mendapatkan penghasilan kotor sekitar Rp 8 juta per bulan dari jualan biji kakao itu. ‘’Saya suka menjadi petani kakao ini. Selepas SMA, saya memang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, tapi tetap di sini menjadi petani kakao. Hasilnya bisa menghidupi keluarga saya,’’ kata ayah dua anak itu.
Tidak hanya Yusuf, banyak petani lain yang tersebar di pulau Sulawesi merasakan nikmatnya hasil jualan kakao selama ini. Bahan baku camilan coklat itu telah meningkatkan kesejahteraan para petani. Tapi, perhatian pemerintah sebelumnya terhadap komoditas perkebunan ini ala kadarnya dibanding kelapa sawit dan karet. Padahal kakao benar-benar tanaman rakyat. Sekitar 90% perkebunan kakao nasional seluas 915.000 ha dimiliki rakyat.
Tidak ada kepemilikan korporat yang sangat luas seperti di komoditas kelapa sawit atau karet. ‘’Petani kakao di sini tidak menggantungkan bantuan pemerintah. Kalau menggantungkan diri pada pemerintah, kami sudah mati dari dulu-dulu. Kami berkebun ini dengan upaya keras,’’ kata Abdul Fatah, rekan Yusuf.
Maksud Fatah, selama ini petani kakao berupaya sendiri merawat tanaman dengan pengetahuan terbatas dan modal sendiri atau dari tengkulak, termasuk soal penjualan. Sekitar dua tahun terakhir ini pemerintah mulai perhatikan tanaman kakao, tentu saja disambut senang Abdul Fatah, Yusuf dan sekitar 900 ribu petani kakao lain se-Indonesia. Masih banyak permasalahan yang melilit kalangan petani kakao seperti teknis budidaya, mengatasi serangan hama, permodalan terbatas, pemasaran dan transparansi harga.
Gernas kakao
Diawali Gerakan Pembaharuan Kakao (GPK) Juli 2007, keluarlah SK Menteri Pertanian 1643/2008 untuk mendirikan Gerakan Nasional (Gernas) Kakao di 40 kabupaten di sembilan provinsi. Gerakan itu berlangsung di Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan , Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Bali, Maluku, Irian Jaya Barat, dan Papua. ‘’Gerakan ini dalam rangka membangkitkan kembali produksi kakao rakyat yang menurun, yang salah satunya akibat serangan penyakit penggerek buah kakao serta penyakit mati pucuk belakangan ini,’’ kata Dirjen Perkebunan Departemen Pertanian Achmad Mangga Barani.
Menurut Dirjen yang sangat memahami seluk-beluk Sulawesi itu, akibat serangan kedua penyakit tersebut, produksi kakao rakyat turun dari 1.100 kg per hektar jadi 680 kg. Gernas Kakao dalam dua tahun terakhir ini diawali dengan melaksanakan sosialisasi dan pengembangan kelembagaan, sedangkan pengembangan fisik dan produksi baru dimulai pada 2009. Program pengembangan kakao dari 2009 hingga 2011 meliputi peremajaan, rehabilitasi dengan teknik sambung samping, dan intensifikasi pada tanaman muda.
Rehabilitasi tanaman kakao menggunakan teknik sambung samping dengan "entries" yang sudah disertifikasi (S-1 dan S-2). Sedangkan peremajaan menggunakan bibit "embriogenesis somatic" (SE) dari Pusat Penelitian Kakao Jember, yang perbanyakannya menggunakan kultur jaringan. Dalam gerakan ini, sertifikasi lahan kakao diberikan secara gratis. "Diharapkan dengan lahan kakao yang bersertifikat, petani dapat memanfaatkan pinjaman ke bank secara mandiri," kata Menteri Pertanian Anton Apriyantono saat kunjungan ke Mamuju, Sulbar.
Para kepala daerah, baik gubernur maupun bupati di provinsi Sulawesi menyambut hangat kegiatan Gernas Kakao tersebut. Di Sulbar misalnya, Gubernur Anwar Adnan Saleh menyatakan sangat mendorong berdirinya pusat informasi kakao Sulawesi Barat yang dapat diakses melalui internet. Di sini petani dan penyuluh serta masyarakat lainnya dapat mengakses berbagai informasi tentang kakao, mulai teknologi budidaya, penanganan penyakit, pemasaran, dan perkembangan harga di tingkat petani, nasional, dan internasional. "Jadi para petani bisa melihat harga di pasar saat ini melalui internet, atau sms yang dikirim kelompok taninya. Semakin hilang tengkulak yang mempermainkan harga," kata Anwar Adnan saleh.
Di Kabupaten Parigi Moutong Sulteng, Wakil Bupati Samsurizal Tombolotutu mendorong peningkatan nilai tambah kakao dengan pengolahan buah kakao menjadi biji kakao skala kecil di kecamatan Kasimbar. Kapasitas yang bisa dihasilkan baru 500 kg per hari. Namun hal itu, menurut Wakil Bupati, sudah mempercepat produksi, dan penghasilan yang didapat petani menjadi lebih daripada menjual dalam bentuk buah.
Di Bali, kata Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Bali Gede Ardhana menyambut Gernas Kakao dengan akan menggarap sisa potensi yang dimilikinya untuk pengembangan tanaman kakao seluas 12.000 hektare. "Sebanyak 8.000 hektare di antaranya digarap dalam tiga tahun ke depan dengan dukungan dana pemerintah pusat lewat Departemen Pertanian," kata Ardhana.
Pemerintah Provinsi Sulsel, melalui Pemerintah Kabupaten Gowa, akan membangun industri kakao terbesar di Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang nantinya dipusatkan di Kawasan Industri Gowa, Kecamatan Pattalassang. Industri yang akan menempati lahan seluas 3,5 hektare yang disediakan Pemkab Gowa, dan dana pembangunan dari pemerintah pusat dan provinsi itu, menurut Kadisperindag dan Penanaman Modal Kahar Lawa Atjo, akan menjadi salah satu industri terbesar di luar Jawa. Di industri itu akan menampung hasil panen kakao dari Sulsel khususnya dan KTI pada umumnya, untuk diolah menjadi bahan jadi yang langsung bisa dikonsumsi masyarakat.
Produsen Utama
Secara nasional, kata Dirjen Perkebunan Achmad Mangga Barani, Indonesia masih memiliki lahan potensial yang cukup besar untuk pengembangan kakao, yaitu lebih dari 6,2 juta ha, terutama tersebar di Sulteng, Sultra, Irian Jaya, Kalimantan Timur dan Maluku. Kebun yang telah dibangun masih bisa ditingkatkan karena produktivitas secara rata-rata kurang dari 50%.
Kondisi pasar dunia untuk perkakaoan dalam beberapa tahun terakhir dan di masa datang diperkirakan masih akan berkembang, karena dunia masih mengalami defisit, sehingga harga kakao dunia diperkirakan relatif stabil pada tingkat yang tinggi.
Menurut Achmad, kondisi ini merupakan suatu peluang yang baik untuk segera dimanfaatkan dan peningkatan produksi kakao mempunyai arti yang strategis karena pasar ekspor biji kakao Indonesia masih sangat terbuka dan pasar domestik masih belum tergarap. ‘’Pasar tujuan ekspor kini tidak hanya di Uni Eropa dan AS, tetapi terus berkembang seperti dalam dua tahun belakangan ini ada permintaan dari Singapura, Malaysia dan lainnya,’’ katanya.
Menurut Anton Apriyantono, dukungan untuk membangkitkan kembali kakao harus berkesinambungan, karena ini benar-benar tanaman rakyat. Kebijakan pemerintah tidak hanya bisa dari sudut Departemen Pertanian, tapi depertemen lainnya yang terkait. Menurut dia, beberapa kebijakan pemerintah yang terus diusahakan dalam pengembangan agribisnis kakao dalam lima sampai 20 tahun ke depan, antara lain penghapusan pajak penjualan dan berbagai pungutan, aktif mengatasi hambatan ekspor dan melakukan lobi untuk menghapuskan potongan harga, mendukung upaya pengendalian hama kakao dan perbaikan mutu produksi, serta menyediakan fasilitas pendukungnya secara memadai.
Dengan serius memperbaiki dan memperluas perkebunan rakyat ini, Gernas diperkirakan bisa meningkatkan hasil produksi 730 ribu ton biji kakao per tahun, dari tahun 2008 sekitar 451 ribu ton atau tahun 2007 sekitar 504 ribu ton. Dalam skala dunia, produksi kakao Indonesia yang saat ini masih di tempat kedua setelah Pantai Gading dan sempat di posisi ketiga setelah Ghana pada 2003, diharapkan mampu meningkat menjadi produsen utama dunia. Melalui program Gernas Kakao yang akan menelan anggaran sekitar Rp 986 miliar itu menurut Mentan, impian menjadi produsen nomor wahid bukanlah mimpi.
Untuk itu, berbagai permasalahan utama yang dihadapi perkebunan kakao harus dapat diatasi dan agribisnis kakao dikembangkan dan dikelola secara baik. Pada 2025, sasaran untuk menjadi produsen utama kakao dunia akan bisa menjadi kenyataan karena pada tahun tersebut total areal perkebunan kakao Indonesia diperkirakan mencapai 1,35juta ha dan mampu menghasilkan 1,3 juta ton biji kakao per tahun. (Anspek)
KORAN PAK OLES/EDISI 174/1-15 MEI 2009
Thanks for reading Gerakan Kebangkitan Kakao Indonesia

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar