Home » » Film “Wakil Rakyat” Bisa Dijadikan Obat

Film “Wakil Rakyat” Bisa Dijadikan Obat

Oleh: Indiwan Seto Wahju W
Pesta demokrasi untuk legislatif sudah usai, kemenangan dan kekalahan sudah mulai tergambar dengan jelas. Sementara sejumlah calon legislatif banyak terkena serangan stroke ringan, stres dan mulai berpikir-pikir bagaimana nanti membayar pinjaman modal.
Nasib naas yang dialami Putu Lilik Heliawati (42), caleg Partai Hanura untuk DPRD Buleleng. Lilik dikabarkan meninggal Kamis 9 April, pukul 23.00 Wita. "Dia lemas setelah mendapat laporan hasil penghitungan suara," kata Ketua Partai Hanura DPD Bali Gede Ngurah Wididana, Jumat (10/4/2009).
Sebelum meninggal, Lilik sempat memantau sejumlah TPS. Namun pukul 22.00 Wita, caleg nomor tiga dapil Busungsbiu, Buleleng, ini tiba-tiba pingsan setelah menerima telpon dari salah satu tim suksesnya.
Saat tiba di RSUD Singaraja pukul 23.00 Wita, nyawa Lilik tidak tertolong. "Kata dokter, dia meninggal akibat serangan jantung. Kemungkinan karena mendengar hasil penghitungan suara," imbuh Wididana.
Bukan rahasia lagi untuk menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi serta DPRD Kabupaten/Kota dibutuhkan waktu, tenaga dan uang yang cukup banyak dan besar.
Menurut Maman (bukan sebenarnya) caleg sebuah partai di kawasan Jakarta selatan untuk menjadi calon anggota DPRD Kabupaten/Kota sedikitnya seseorang harus mengeluarkan uang sampai Rp 50 juta rupiah. Dan jika ingin jadi, harus mengeluarkan uang sedikitnya Rp 300 juta.
Semakin hebat posisi maka biayanya akan semekin hebat pula. Untuk calon anggota DPRD Provinsi, jumlah uang yang harus dikeluarkan lebih banyak lagi. Sebab, setiap calon harus mampu mengakomodasi sejumlah orang yang diharapkan memilihnya, sebagaimana persyaratan yang diatur dalam UU tentang Pemilu.
Dan untuk ini uang atau dana yang harus dikeluarkan setiap calon sedikitnya Rp 100 juta dan jika berambisi menangkan Pileg, si calon harus merogoh kantong lebih dalam lagi. Untuk kota-kota besar paling tidak dibutuhkan dana Rp 700 juta sampai Rp 1 miliar. "Semuanya ada biayanya," ujat Jonny yang mengaku sebagai "pengumpul" massa demi kepentingan caleg tertentu di kawasan Kota Tangerang dan kabupaten Tangerang.
"Untuk kepentingan kampanye keliling, minimal kita harus sediakan bensin, rokok dan uang saku kalau tidak mana ada yang mau," ujarnya.
Bagi calon anggota DPR-RI dan DPD, tentu uang yang dibutuhkan jauh lebih banyak lagi karena si calon harus mampu meraih dukungan yang lebih luas daripada calon anggota legislatif provinsi.
Itu kalau menang, kalau kalah maka muncullah segala penyakit yang terkait dengan stres seperti tidak bisa tidur, tak bisa konsentrasi, pusing yang tak mau hilang dan masuk rumah sakit jiwa. Mungkin lebih nyaman kalau sebelum stres si caleg nonton film "Wakil Rakyat", sebagai usaha menertawakan diri sendiri.
Caleg Bagyo
Kisah film "Wakil Rakyat" berangkat dari ide yang dicetuskan oleh Chand Parwez tentang realita sehari-hari orang Indonesia menghadapi Pemilu. Film yang shootingnya mengambil lokasi di Jakarta dan Bantul, Yogyakarta ini, diakui produser Chand Parwez, idenya diangkat dari realita sehari-hari bangsa ini, terlebih menjelang masa pemilu 2009.
Chand terusik melihat sepak terjang para wakil rakyat yang datang dari beragam latar belakang dan motivasi.
Chand Parwez merasakan suatu kebutuhan untuk merenungkannya secara jenaka dalam tontonan sebuah film. Sehingga apabila di gedung DPR banyak penjual cermin mestinya film ini juga jadi `cermin` bagi calon wakil rakyat maupun yang memilihnya.
Film ini berawal ketika Bagyo (Tora Sudiro) harus kehilangan pekerjaannya, lantaran kelalaiannya pada acara rakernas sebuah partai besar.
Seekor kucing tiba-tiba menyerang ketua partai yang baru saja berorasi di depan massanya. Bagyo kena damprat. Ia dipecat hingga membuat rencana pernikahannya dengan Ani (Revalina S. Temat) terancam gagal.
Dari sana, duka rupanya belum beranjak darinya. Bertubi-tubi musibah datang. Kali ini, uang untuk membiayai ongkos orangtuanya datang melamar ke Jakarta dicuri sekawanan maling.
Dendam pun terbalaskan, ketika Bagyo mendapati para pencuri itu tengah beraksi merampok seorang artis terkenal bernama Atika (Wiwid Gunawan). Bagyo muncul bak pahlawan. Ia menghajar kawanan perampok dan membuat Atika terpesona. Keberaniannya menjadi berita besar. Namanya langsung jadi buah bibir, ketika media memberitakan kehebatannya.
Bagyo melejit bak selebritas. Ketenarannya kemudian dimanfaatkan oleh sebuah partai politik untuk menggaet dukungan massa dalam pemilihan legislatif. Awalnya menolak, tapi Bagyo akhirnya menyetujui rencana itu dan dia adi caleg dadakan.
Pada tataran lainnya, film yang juga dibintangi Tarsan, Jaja Miharja, dan Joe P-Project, seakan mengingatkan para calon wakil rakyat di negeri ini agar tak cuma mampu membual dengan janji-janji kosong.
Film ini tak sebatas cuma memberikan tontonan yang menghibur, tapi mengajak penontonnya agar cerdas memilih para wakilnya. Inilah yang dihadirkan lewat sosok Bagyo.
Saat berkampanye di sebuah kampung miskin, Bagyo menyadari bahwa nama besarnya dan popularitas, bukanlah hal yang dibutuhkan masyarakat. Bagyo pada akhirnya tersadarkan. Vincent, pembetot bas ClubEighties, yang tampil memerankan tokoh Jereng, asisten Bagyo, tampil memukau. Aktingnya, cukup natural dan mengundang gelak tawa. Vincent, berhasil memberi roh untuk sebuah film komedi. Ditambah lagi, kehadiran Jaja Miharja, Tarsan, hingga Dwi Sasono.
Maknanya dalam
Bila dikaji secara semiotik, yakni kajian yang melihat ada apa di balik sebuah tontonan, ada makna konotatif yang muncul dalam film yang bisa menjadi pelajaran berharga bagi siapa saja , bahkan seorang caleg gagal sekalipun.
Semiotika sebagaimana pendapat Roland Barthes (1984) memungkinkan semua pihak memahami sebuah penciptaan citra, dan bagaimana pencipta sebuah citra membuatnya bermakna sesuatu dan bagaimana pembaca mendapatkan maknanya.
Analisis semiotika dalam sebuah film akan menguraikan tanda-tanda terutama tanda-tanda visual dalam film baik berupa rangkaian adegan lewat interpretasi tertentu yang disebut makna.
Makna yang mendalam bisa dikaji menjadi dua yakni makna denotatif yaitu makna sesuai apa yang terlihat oleh panca indera dan makna konotatif yang mencoba melihat sesuatu yang ada dibalik sesuatu yang lain atau makna yang tersirat, yang tak muncul secara langsung dalam sebuah gambar. Makna konotatif akan muncul sesuai dengan tafsiran si pembaca atau penonton dan akan mengaitkannya dengan sudut pandang, pemahaman internal, konvensi yang berlaku di tengah masyarakat serta konteks dimana film itu ditampilkan.
KORAN PAK OLES/EDISI 173/16-30 APRIL 2009
Thanks for reading Film “Wakil Rakyat” Bisa Dijadikan Obat

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar